Meski datang sebagai seorang menteri, namun status Prabowo sebagai Presiden terpilih Indonesia tidak dapat dipandang sebagai kunjungan biasa. Terdapat sinyal kuat dari Beijing untuk memperkuat kerjasama dengan Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Prabowo nantinya.
Sinyal kuat Beijing untuk memperkuat hubungan kerjasama dengan Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara lainnya juga ditunjukkan dengan kehadiran para pejabat tinggi dari Vietnam, Laos dan Timor Leste dalam waktu berdekatan.
Selang beberapa hari setelah kunjungan Prabowo, Menlu Vietnam Bui Thanh Son, Menlu Laos Saleumxay Kommasith dan Menlu Timor-Leste Bendito dos Santos Freitas bertemu dengan Menlu Tiongkok Wang Yi di Beijing pada 5 April 2024. Berikutnya pada 4-10 April 2024 Putri Maha Chakri Sirindhorn dari Thailand juga berkunjung ke Tiongkok.
Upaya Tiongkok untuk semakin memperkuat hubungannya dengan negara-negara di Asia Tenggara sesungguhnya tidak terlepas dari kebijakan "good neighbourhood" yang diterapkan sejak tahun 1990-an. Tujuannya adalah menjadikan Asia Tenggara sebagai model strategi "peaceful rise" (kebangkitan China yang damai).
Pada saat bersamaan, upaya tersebut juga merupakan bagian dari  penerapan strategi "Constructive engagement" terhadap negara-negara di Asia Tenggara dan pengadopsian diplomasi "Soft power" oleh Tiongkok untuk menepis persepsi tentang Tiongkok sebagai ancaman
Selain itu, sebagai kekuatan ekonomi dunia baru dan untuk menjaga roda industri agar terus berjalan, Tiongkok membutuhkan banyak pasokan energi berupa batubara dan minyak dari Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Oleh karena itu, Asia Tenggara yang kerap disebut sebagai 'halaman belakang' Tiongkok memiliki peran strategis dan menjadi kawasan yang paling terpengaruh dari kebijakan luar negeri asertif yang dilakukan Presiden Xi Jinping.
Memperhatikan peran strategis negara-negara di Asia Tenggara tersebut dan mempertimbangkan pengaruh Tiongkok yang semakin kuat, terutama dalam masalah politik dan keamanan kawasan, di bawah kepemimpinan  Xi Jinping, Tiongkok tidak lagi menyembunyikan kekuatannya.
Tiongkok memperlihatkan kekuatan ekonomi dan militernya untuk meningkatkan pengaruhnya di Asia Tenggara, membuat hanya sedikit negara yang berani menghadapinya secara terbuka. Negara-negara di Asia Tenggara seperti Vietnam pun, yang memiliki perbatasan darat dan laut yang panjang, sangat berhati-hati ketika berhadapan dengan tetangga raksasanya. Terlebih, Tiongkok merupakan mitra dagang terbesar Vietnam dan mata rantai penting dalam rantai pasokan, yang membuat ekspornya mengalahkan dunia.
Dengan kekuatan ekonominya, Tiongkok secara efektif berhasil melemahkan persatuan ASEAN dengan menjadikan negara-negara yang lebih kecil, seperti Laos dan Kamboja, menjadi sangat bergantung pada bantuan Beijing.
Hal itu membuat kedua negara tersebut, bergantung secara ekonomi, politik, dan kemiliteran kepada Tiongkok.
Dalam hal pengelolaan konflik di Laut Tiongkok Selatan (LTS),  Tiongkok pun semakin intensif melakukan pendudukan dan pembangunan militer di pulau-pulau karang di LTS.  Langkah tersebut telah membawanya ke dalam konflik langsung dengan negara-negara Asia Tenggara yang menjadi claimants di  kawasan itu, khususnya Vietnam dan Filipina.
Upaya negara-negara di Asia Tenggara yang menjadi claimants di LTS untuk membawa Tiongkok menyepakati "kode etik di LTS" pun tidak berhasil. Bahkan pada tahun 2016 Beijing telah menolak putusan pengadilan internasional yang mengatakan bahwa klaim Tiongkok atas kawasan itu tidak valid. Beijing pun kemudian menghentikan negosiasi yang telah berjalan selama 20 tahun.
Menyikapi ini semua, semua negara di Asia Tenggara mau tidak mau menerima kenyataan bahwa Tiongkok akan menjadi kekuatan dominan di kawasan. Sesuai tingkat kepentingan masing-masing, negara-negara di Asia Tenggara sulit membuat konsesi dengan mempertaruhkan kepentingannya sendiri.