Cerita ini terinspirasi dari status teman saya sejak sekolah dasar di dinding Facebook (FB) miliknya. Dia menulis begini "Bulan lalu ditanya kapan bukber eh sekarang ditanya lagi kapan hbh. Cuma bisa nyengir onta menghadapi pertanyaan spt itu".
Tidak selesai di situ, dia pun mengomentari soal bukber dan HBH dengan menulis "Sesungguhnya keduanya penting sbg bagian dari silaturahmi/silaturahim sesama teman dan kerabat, namun kepentingan itu sering mengalah demi kepentingan lainnya.
Kepentingan lain itu dulu dinamai kesibukan, kalaupun bisa hadir sekedarnya saja yg biasa disebut setor muka. Sekarang namanya lebih beragam, mulai dari mobilitas terbatas, aksebilitas berkurang dan banyak -tas lainnya. Namun demikian, masih ada juga yg mengatasnamakan kesibukan sbg alasan utama. Basi banget".
Teman kecil saya ini memang dikenal pintar dan kuliahnya pun mengambil jurusan yang sama dengan Presiden RI Joko Widodo, walau beda perguruan tinggi
Kepintarannya kerap tampak saat berkomentar atau menanggapi postingan teman-temannya di group WA. Hampir semua hal bisa dijelaskan dengan baik, walau kadang menjengkelkan beberapa teman yang postingannya "diluruskan" olehnya. Karena hampir semua hal bisa dijelaskan dengan baik, bahkan ada yang menyebutnya "google" berjalan.
Nah kembali ke status yang dia tuliskan di FB, dia gak mau menjawabnya soal pertanyaan "kapan bukber?" atau "Kapan HBH?".
Teman saya tersebut beralasan "Saya tdk mau menjawabnya karena nanti ada yg berteriak, "Ah elo sendiri paling sering gak hadir malah bikin status"
Saya tersenyum membaca komentarnya yang terakhir. Karena komentar tersebut sebenarnya datang dari saya. Saya termasuk kerap mengkritiknya, termasuk kritik terhadap sikapnya untuk sering keluar group WA dan bahkan lama tidak mau bergabung di group WA. Alasannya tidak merasa nyaman.
Lho kok jadi ngeghibahin teman saya sendiri sih, bukan ngomongin soal bukber dan HBH?
Baiklah sekarang kita cerita soal bukber dan HBH saja sesuai judul tulisan ini. Untuk teman saya, kalau baca tulisan ini, sorry ya bro.
Tradisi bukber di Indonesia sendiri, menurut sepemahaman saya baru populer di sekitar tahun 2000an ketika Generasi Baby Boomer (mereka yang lahir sebelum 1964) dan Generasi X (mereka yang lahir setelah 1965) berada pada usia mapan dan sukses dalam karir. Mereka yang kemudian kangen dengan teman-teman masa mudanya inilah yang mulai menginisiasi acara kumpul-kumpul dengan teman-teman sekolahnya, terutama saat bulan Ramadan. Mereka membuat acara berbuka puasa bersama.
Ketika FB semakin banyak yang menggunakan dan keberadaan teman-teman lainnya terlacak di situs pertemanan ini, bukber atas nama reuni pun semakin sering dilakukan dan dilanjutkan dengan menyelenggarakan HBH (lagi-lagi atas nama reuni).
HBH merupakan tradisi bermaaf-maafan setelah Ramadan yang dimulai pada tahun 1948. Pada saat itu, kondisi perpolitikan pasca kemerdekaan mengalami gonjang ganjing dan para tokoh politik saling berkonflik. Kondisi yang apabila dibiarkan dap[at mengancam persatuan dan kesatuan bangsa yang baru saja diproklamasikan kemerdekaannya. Oleh karena itu, Presiden Sukarno meminta masukan agar mereka yang berseteru dapat berkumpul dan bersatu kembali.
Maka kemudian datanglah usulan HBH dari KH Abdul Wahab Hasbullah, seorang ulama pendiri Nahdatul Ulama, kepada Sukarno.. KH Wahab memperkenalkan istilah HBH pada Sukarno sebagai bentuk cara silaturahmi antar-pemimpin politik yang pada saat itu masih memiliki konflik.
Atas saran KH Wahab, pada Hari Raya Idul Fitri di tahun 1948, Sukarno mengundang seluruh tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturahim yang diberi judul 'HBH' Melalui HBH, para tokoh politik akhirnya bertemu dan sling bermaafan tanpa gengsi.
Setelah saling bermaafan, para tokoh politik tersebut pun sepakat untuk membangun  kekuatan dan persatuan bangsa ke depan secara bersama-sama. Sejak saat itu, berbagai instansi pemerintah di masa pemerintahan Sukarno menyelenggarakan HBH.
HBH kemudian diikuti masyarakat Indonesia secara luas, terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama. Hingga kini HBH menjadi tradisi di Indonesia, yamg tidak hanya dilakukan oleh para politisi, tetapi juga seluruh anggota masyarakat, bak HBH keluarga ataupun HBH dengan sesama teman semasa sekolah.
"Tapi inisiasi HBH kan mestinya dilakukan oleh pengurus WAG Taklim," tulis seorang teman dalam percakapan di sebuah WAG alumni sebuah sekolah, dimana selain terdapat WAG alumni sekolah terdapat pula WAG Taklim atau WAG lain sesuai hobby, misalnya WAG Olahraga.
"Lho siapa yang mengharuskan HBH diselenggarakan oleh pengurus WAG Taklim"," tulis yang lain
"Pengurus WAG Taklim memang bisa saja menyelenggarakan HBH. Tapi dalam konteks yang lebih luas, misalnya untuk anggota group WA keseluruhan misalnya WAG alumni teman-teman SMA, maka yang menyelenggarakan adalah pengurus ikatan alumni SMA. Kan gak semua anggota WAG alumni teman-teman SMA adalah juga anggota WAG Taklim," tulis yang lain menengahi.
"Benar juga, jadi kapan kita HBH?," tulis seorang anggota WAG alumni yang tampaknya sudah gak sabar untuk bersilahturahmi dengan teman-temanya.
"Sabar, kalau untuk bersilahturahmi kan tidak harus pakai nama HBH. Elo undang aja teman-teman di acara ultah lo. Kan elo ultah bulan ini," tulis seseorang.
"Ha ha ha, bukan begitu cara mainnya bro, ..." jawab teman yang berultah bulan ini.
WAG pun kemudian sepi agak lama, hingga akhirnya muncul topik pembicaraan lain di group dan pembicaraan pun berlanjut dengan topik lain.