Selama 4 hari Sidang BPUPK tersebut, anggota Sidang yang berjumlah 60 orang dan tiga orang Ketua Sidang berdiskusi untuk menjawab agenda sidang tentang usulan dasar negara Indonesia merdeka.
Dari arsip denah tempat duduk selama persidangan BPUPK yang didapat dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), diketahui bahwa terdapat 60 meja dan kursi yang saling berhadapan. Ke-60 meja kursi ini digunakan anggota Sidang. Sementara itu terdapat 3 meja kursi untuk pimpinan Sidang.
Bung Karno sendiri duduk di kursi nomor 1, tepat di depan Pimpinan Sidang yang terdiri dari tiga orang yaitu dr. Radjiman Wediodiningrat (Ketua Muda), Itjibangase Yosie (Ketua) dan R.P Soeroso (Ketua Muda).
Duduk di sebelah kanan Bung Karno adalah Mohammad Yamin (meja nomor 2) dan disebelah Yamin adalah Dr. R. Kusumatmadja (meja nomor 3). Adapun di belakang Bung Karno adalah Ki Bagoes Hadikoesoemo (meja nomor 7), sementara di depan Bung Karno adalah Mr. Boentaran Martoatmodjo (meja nomor 31).
Membayangkan suasana Sidang BPUPK seperti tersebut di atas, saya kemudian mencoba membuat sebuah gambar imajiner dengan menggunakan bantuan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence).
Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan melakukan login ke sebuah aplikasi AI berbasis web yaitu image.bing. Lalu memasukan narasi (prompt) mengenai gambar imajiner yang ingin kita buat. Penulis sendiri kemudian menggunakan narasi "Gambarkan suasana sidang BPUPK tahun 1945 dimana seorang pria berpeci hitam khas Indonesia sedang berpidato dan di kiri kanannya terdapat beberapa tokoh".
Salah satu hasilnya adalah sebuah gambar yang memperlihatkan sosok seorang pria berpeci hitam tinggi, mengenakan jas hitam, mengacungkan jari telunjuk kanannya, berpidato di atas podium, di ruangan luas menyerupai hangar pesawat. Di sekitarnya terdapat para perserta sidang mengenakan jas hitam dan beropeci hitam pula sedang serius menyimak pidato.
Karena sudah pernah melihat foto Bung Karno berpidato pada 1 Juni 1945, gambar yang dihasilkan tersebut tentu saja tidak memenuhi imajinasi saya. Misalnya saja, sosok pria yang tampil berpidato sama sekali tidak mencerminkan gambaran seorang Bung Karno. Begitu pun ruangan yang digunakan.
Adapun salah satu penyebab hal tersebut terjadi, saya menduga karena tidak diperbolehkannya menggunakan yang menyebut nama orang. Kita tidak boleh menyebutkan nama seseorang, hanya boleh menyebutkan gambaran umum. Kita tidak boleh menyebutkan narasi "Gambar Sidang BPUPK tahun 1945 dimana Bung Karno sedang berpidato". Yang diperbolehkan hanya "Gambarkan suasana sidang BPUPK tahun 1945 dimana seorang pria bla bla bla ...".
Jadi bagaimana dong kalau kita ingin mengetahui gambaran yang sebenarnya tentang suatu peristiwa? Tidak ada cara lain, kita tidak boleh meninggalkan sejarah. Seperti kata Bung Karno pada pidato tanggal 17 Agustus 1966, "Kita jangan sekali-kali meninggalkan sejarah" atau biasa disebut jas merah.
Untuk itu, guna memahami sejarah, kita mesti meningkatkan literasi tentang sejarah Indonesia dengan banyak membaca, menelusuri fakta-fakta sejarahnya, baik berupa buku, dokumen, foto, tempat peristiwa dan lain sebagainya.