Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Merayakan Keragaman di Era Global

19 Oktober 2010   03:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:18 504 0
Bagi anak-anak muda tahun 1990-an, nama Maribeth Pascua tentunya bukanlah nama yang asing di Indonesia. Lewat tembang “Denpasar Moon” yang dirilis pada tahun 1993, nama Maribeth melejit dan populer di Indonesia. Sejak itu ia pun lebih banyak menetap di Indonesia dan berkeinginan menjadikan negeri ini sebagai tanah airnya yang baru. Setiap tahun ia memperpanjang izin tinggalnya dan tanpa terasa sudah lebih dari 20 tahun ia tinggal di Indonesia. Sementara itu penyanyi kelahiran Indonesia Anggun C. Sasmi yang terkenal dengan lagunya “Tua-tua Keladi”, pada usia muda telah melanglang buana ke Eropa dan tinggal di Perancis untuk mengejar mimpinya menjadi penyanyi internasional. Anggun telah berhasil meraih mimpinya dan sekarang lebih banyak tinggal di Perancis untuk terus mengembangkan karirnya. Maribeth dan Anggun pastinya tidak pernah janjian untuk sama-sama mengembangkan karir di luar tanah airnya. Tapi ada kesamaan di antara keduanya yaitu sama-sama menjadi penduduk dan warga global dengan keragaman bahasa, budaya, suku bangsa dan tempat kelahiran. Aktivitas dan mobilitas keduanya telah menembus tapal batas negara dan memperlihatkan betapa dunia ini semakin kecil, dapat dijangkau secara langsung maupun melalui media tevisi dan internet serta menyajikan fakta sosial bahwa keragaman itu suatu kenyataan yang tak terbantahkan. Keragaman sudah ada sejak kita memulai aktivitas keseharian. Saat mandi pagi, kita bertemu dengan beragam peralatan mandi mulai dari pasta gigi, shampoo, sabun, gayung atau pancuran dengan berbagai merk yang menyatu sebagai bagian dari perlengkapan kamar mandi. Ketika sarapan pagi, misalnya sarapan nasi goreng, kita akan bertemu dengan beragam unsur yang menyatu di dalam piring. Begitupun ketika berangkat ke kantor dan menumpang kendaraan umum, kita akan bertemu dengan beragam penumpang yang berasal dari berbagai suku dan profesi. tua dan muda Singkat kata, dunia sekitar kita selalu menyajikan realitas yang penuh warna dan beragam. Di dunia maya, keragaman juga terjadi, bahkan tidak lagi mengenal batasan wilayah secara fisik seperti di dunia nyata. Berawal dari saat membeli dan menggunakan komputer, kita sudah dihadapkan pada pemilihan penggunaan sistem operasi yang beragam, apakah berbasis windows atau open source seperti Linux. Begitu terhubung dengan internet, kita pun dihadapkan pada keragaman perambah (browser) untuk menjelajah dunia maya seperti Internet Explorer, Firefox, Flock dan sebagainya. Ketika sudah berada di dunia maya, keragaman lebih terasakan lagi karena kita bisa menemukan jutaan situs dan milyaran informasi yang berserakan di sana sini. Lewat internet kita bisa berkomunikasi dengan banyak orang dari berbagai penjuru dunia tanpa mengenal batasan ruang dan waktu. Kita yang berada di Indonesia bisa menyapa dan berdiskusi dengan seseorang yang berada di belahan bumi lain tanpa harus meninggalkan tempat. Semua ini memperlihatkan bahwa globalisasi telah menghapuskan batasan geografis dan pada saat bersamaan menyatukan masyarakat yang sebelumnya terpencar-pencar dan terisolasi kedalam saling ketergantungan dan persatuan dunia. Karenanya sikap seseorang atau sekelompok orang yang merasa terganggu dengan dengan adanya keragaman dan karenanya berupaya untuk memberlakukan penyeragaman dan menghindari kemajemukan dalam kehidupan sehari-hari akan menjadi tindakan yang sia-sia dan melelahkan diri sendiri. Memunculkan sikap pemahaman yang berbeda menyangkut keragaman dalam kehidupan bermasyarakat tidak akan mengubah keadaan. Keragaman di era global dewasa ini akan terasa indah kalau saja kita bisa menikmati dan merayakannya dengan disertai sikap saling menghargai, saling belajar, dan semuanya memiliki ketulusan dan kesungguhan untuk selalu menegakkan kebaikan, keadilan, dan kasih sayang. Maribeth dan Anggun menikmati keragaman dengan antara lain bersikap saling menghargai dan belajar bahasa, adat istiadat dan budaya setempat serta menghormati dan mematuhi peraturan dimana mereka tinggal. Maribeth misalnya, meski permohonannya untuk menjadi WNI belum disetujui, ia tetap rajin mempelajari bahasa-bahasa daerah yang dikunjunginya selain tentu saja mempelajari bahasa Indonesia. Ia sekarang sudah cukup mahir berbahasa Indonesia meski terkadang masih sering dicampur dengan bahasa Inggris. Sementara Anggun selain mempelajari bahasa Inggris, ia juga belajar bahasa dan budaya Perancis dengan sungguh-sungguh. Hasilnya bisa dilihat dimana ia kini fasih berbahasa Inggris dan Perancis. Selain itu Anggun juga aktif bergaul dengan masyarakat sekitarnya dan tidak melupakan identitas keindonesiannya. Dari sisi professional, keduanya terus melatih kemampuannya sebagai penyanyi dan berkompetisi untuk tetap bertahan di dunia hiburan internasional dengan cara yang jujur. Keduanya memiliki kesamaan komitmen untuk mematuhi peraturan, menghibur penonton, dan menunjukkan penampilan terbaiknya. Mereka bersikap pluralis dengan menumbuhkan dan membiasakan dalam diri seseorang untuk bisa menerima kehadiran yang lain serta menghargai. Demikianlah, keragamaan di era global dimaknai dengan kerendahan hati sehingga keragamaan budaya, bahasa, dan agama lalu menjadi sebuah festival yang dirayakan bersama tanpa kehilangan gairah dan kegigihan untuk selalu menemukan dan mengalami kebenaran demi kebenaran. Semangat merayakan keragaman semacam ini bukan semata domain orang-orang yang ingin go internasional tetapi mestinya merupakan domain semua orang, termasuk blogger. Bahkan bagi seorang blogger, semangat merayakan keragaman di era global sudah merupakan keharusan. Bukankah ketika bersilancar di dunia maya dan menuliskan opini-opininya di blog, blogger telah menjadi warga global. Tidak ada lagi sekat-sekat bahasa, budaya atau letak geografis yang membatasi seorang blogger. Apa yang dituliskan seorang blogger dan dipublikasikan, maka akan menjadi domain publik yang siap dibaca kapan pun. Dengan semangat keragaman seperti tersebut di atas, maka spirit merayakan keragaman dalam Pesta Blogger ke-4 yang akan berlangsung pada tanggal 30 Oktober 2010 di Jakarta, hendaknya diikuti dengan kerendahan hati dan menghilangkan sekat-sekat perbedaan. Makna Pesta Blogger hendaknya bukan sekedar semangat untuk menjadikannya sebagai sebuah ajang kopi darat (kopdar) besar-besaran dengan melibatkan beragam komunitas online, Pesta Blogger hendaknya justru dijadikan sebagai upaya untuk memelihara semangat peduli dan berbagi lewat blog. Dengan semangat merayakan keragaman, semangat ngeblog hendaknya tetap terpelihara dan syukur-syukur bisa menular ke anggota masyarakat lainnya. Apa yang dituliskan seorang blogger yang hadir di Pesta Blogger hendaknya bukan sekedar tentang pesta itu sendiri, tetapi lebih luas dari itu, menularkan semangat keragaman ke lingkungan di sekitarnya. Akhirnya, walau tidak ada larangan, sebaiknya jangan ngaku blogger kalau tidak pernah lagi peduli dan berbagi lewat blog dan secara berkala memperbarui blognya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun