Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money Pilihan

Blusukan ke Kawasan Pertanian di Tiongkok

4 Juni 2014   20:25 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:21 269 4
Pertama saya mohon maaf kalau gaya berpakaian dan berfoto saya mirip salah satu capres ketika mengunjungi petani di salah satu desa di Indonesia. Mohon maaf juga jika gara-gara saya niru gaya berpakaian beliau, kemudian beliau berganti motif pakaiannya, kembali ke kotak-kotak (hahahaha Ge Er banget ya saya ini). Baiklah, tanpa berpanjang lebar, perkenankan saya berbagi cerita mengenai kunjungan saya ke kawasan pertanian di salah satu kota di Tiongkok. Semoga bermanfaat. Tanggal 26-27 Mei 2014 lalu untuk kesekian kalinya saya berkunjung ke Chengdu, ibu kota Provinsi Sichuan, yang terletak di barat daya Tiongkok atau sekitar 2 jam 40 menit penerbangan dari Beijing. Kunjungan kali ini dilakukan bersama dengan KPH Haryo Wiroguno dari Yogyakarta, Sekretaris Daerah Kabupaten Kulon Progo dan beberapa pengusaha Indonesia untuk melaksanakan promosi pertanian dan peninjauan ke distrik Chenzhou guna melihat pengelolaan pertanian modern yang dilakukan para petani di Chengdu. Dipilihnya Chengdu sebagai daerah kunjungan tidak terlepas dari peran penting kota tersebut dalam pengembangan industri pertanian terbesar di Tiongkok. Di kota yang terkenal dengan pandanya ini dikembangkan antara lain tanaman padi, sayur-sayuran, buah-buahan, ternak, teh hijau, jamur, tanaman herbal, ikan air tawar dan bambu. Selain itu, dikembangkan pula pertanian berwawasan lingkungan (eco-agriculture), dan wisata pertanian. Di Chenzhou saya kembali bertemu Luo Dong, seorang pemuda berusia sekitar 30 tahunan. Dari penampilannya, Luo terlihat tidak berbeda dengan para pemuda seusianya yang bergaya modis dengan celana jins dan jaket melekat di tubuh. Yang membedakan adalah profesinya sebagai petani. Bukan hanya itu, ia pun adalah adalah seoang ketua kelompok tani yang dipilih dari sekitar puluhan petani yang ada di kelompoknya. Di tengah pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi Tiongkok yang sedemikian pesat dan mendorong kaum muda berlomba-lomba mencari pekerjaan di kota-kota besar, pilihan Luo untuk berprofesi sebagai petani tentu saja menarik. Ketika pertama kali bertemu dengan Luo pada sekitar Nopember 2013, saya sempat menanyakan alasannya untuk menjadi petani dan tidak bekerja di kota seperti kebanyakan pemuda lainnya, jawabannya sederhana saja “saya lulusan sekolah pertanian, jadi saya mesti menerapkan pengetahuan yang didapat selama sekolah. Lagi pula, kalau saya ikut arus bekerja di kota, terus siapa yang akan mengurus lahan pertanian di desa, Orang tua saya sudah semakin tua” “Tidak merasa malu dan gengsi harus terjun ke sawah dan belepotan lumpur” “Kenapa mesti malu, dengan bertani saya juga bisa mendapatkan penghasilan yang layak dan besarnya tidak kalah dengan pendapatan atau gaji yang diterima teman-teman saya yang bekerja di kota besar” “Memangnya berapa luas lahan yang dikelola dan berapa besar pendapatan yang dihasilkan?” “Kelompok tani saya memiliki sekitar 100 hektar sawah dengan tingkat produksi sekitar 12-15 ton per hektar per musim tanam dan dalam setahun bisa dua kali musim tanam. Dengan asumsi rata-rata produksi 12 ton per hektar saja, akan diperoleh sekitar 12 kwintal per musim tanam. Jika satu ton dijual dengan harga sekitar 2400 renminbi maka akan didapat sekitar 2.88 juta renmibi atau Rp. 5.7 milyar. Setelah dikurangi biaya produksi, upah pekerja dan sewa lahan, cukup lah untuk dibagi ke seluruh anggota sesuai dengan porsinya masing-masing”. “Ya kami memang mendorong pengelolaan pertanian secara modern dengan antara lain mendorong otomatisasi dan mekanisasi peralatan pertanian sehingga produksi pertanian tetap tinggi tanpa harus menggunakan tenaga kerja yang besar. Selain untuk meningkatkan produksi, mekanisasi pertanian juga penting guna mengatasi semakin minimnya minat generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian” ujar seorang anggota komisi pertanian Chengdu yang ikut mendampingi kunjungan kami. “Pemerintah Tiongkok juga mengembangkan industri peralatan pertanian dan membangun Pusat Demonstrasi Pertanian yang didanai pemerintah. Di Pusat Demonstrasi Pertanian ini disiapkan program yang bersifat ‘one-stop service’ yang mencakup penyediaan peralatan, penyiapan lahan, penanaman bibit, pemeliharaan, pengendalian hama, penanganan panen dan paska-panen. Selain itu, para petani diberikan pelatihan guna meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan mengelola lahan pertanian”. Apa yang disampaikan anggota komisi pertanian Chengdu tersebut kami lihat sendiri di Pusat Demontrasi Pertanian yang berada dibawah binaan pemerintah kota bekerjasama dengan perusahaan penyedia peralatan pertanian Gifore Agriculture Machinery Co, Ltd. Pemerintah membangun infrastruktur pertanian antara lain jalan raya, jaringan irigasi, lampu penerangan bertenaga surya dan balai desa tempat petani berkumpul serta memberikan subsidi dan keringan pajak. Sementara Gifore antara lain menyiapkan peralatan pertanian yang dibutuhkan para petani dan bibit padi. Lahan pertanian yang dikelola kelompok tani Luo Dong sendiri terletak di pinggir jalan selebar 4 meter dengan saluran air di kiri kanannya. Saat kami melakukan peninjauan, sawah milik kelompok Luo tengah digarap menggunakan mesin traktor, bukan lagi kerbau seperti yang lazim kita jumpai di Indonesia. Sementara di lahan persawahan lainnya seorang petani tengah menanamkan bibit padi menggunakan mesin penanam padi. Dengan otomatisasi dan mekanisasi peralatan pertanian tersebut, waktu tanam pun menjadi jauh lebih singkat yaitu hanya sekitar 1 jam untuk lahan sekitar 1 hektar dan presisi penanaman antara satu bibit dengan bibit lainnya pun lebih tepat, serta cukup dikerjakan oleh 2-3 orang petani saja. Menyusuri tegalan di lahan persawahan di distrik Chengzhou dan melihat rumah-rumah penduduk di sekitarnya, ingatan saya melayang jauh ke desa-desa di Indonesia. Rumah-rumah penduduk terlihat sederhana terbuat dari dinding bata dan atap genteng serta tembok yang mengelilinginya. Para petani, yang rata-rata sudah berusia lanjut terlihat tengah membantu proses penanaman padi, sementara yang sedang menganggur duduk santai di halaman rumah dan beberapa di antaranya terlihat tengah bermain mahyong Dari kunjungan singkat ke lahan pertanian di distrik Chengzhou, terdapat beberapa hal yang kiranya dapat dijadikan bahan pembelajaran yaitu: Pertama, Pemerintah Tiongkok melihat bahwa pertanian merupakan hal yang sangat esensial dalam menjaga kesiapan dan ketahanan pangan. Pemerintah Tiongkok menyadari sepenuhnya slogan yang mengatakan bahwa negara akan kuat apabila pertaniannya kuat. Kedua, untuk menciptakan pertanian yang kuat, Pemerintah Tiongkok membentuk desa yang kuat dengan memanfaatkan teknologi pertanian. Masyarakjat desa didorong melakukan transisi pola pertaniannya dari yang sebelumnya secara tradisional menjadi ke pertanian modern. Ketiga, melalui Pusat Demonstrasi Pertanian, Pemerintah Tiongkok membangun kelembagaan petani yang dapat mengelola lahan pertanian secara terpadu dan kolektif. Langkah ini tidak terlalu sulit mengingat masyarakat Tiongkok pada dasarnya telah modal kebersamaan dan kebiasaan untuk bekerja kelompok. Keempat, membangun jejaring pasar antar desa/distrik dan kelompk tani guna memperlancar penjualan produk pertanian yang pada gilirannya akan menghasikan korporasi produsen kecil, agen kecil dan konsumen. Ketika jejaring yang dibangun mencapai tahap nasional dan kuat dalam perdagangannya, maka produk yang dihasilkan bisa menembus pasar nasional dan internasional. Langkah ini yang mungkin bisa menjelaskan mengapa produk-produk pertanian Tiongkok mampu menembus pasar global.

Related Posts:

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun