Sejak di umumkan pertama kali pada tanggal 2 Maret-23 Mei 2020, setidaknya sudah 20.796 orang terbaring sakit (positif), 5.079 lainnya berhasil diselamatkan (sembuh). Namun 1.326 tak dapat diselamatkan (meninggal dunia). Belum dipastkan kapan bencana ini akan segera berakhir.
Tetapi kasus tersebut akan semakin bertambah jika pemerintah dan semua pihak tidak disiplin mematuhi protokol kesehatan. Hal itu ditegaskan oleh Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan bahwa akan ada gelombang kedua.
Melihat jumlah kasus di atas yang makin memprihatinkan, jurnal Melbourne Asia Review menilai bahwa Indonesia merupakan Negara terburuk se-Asia Tenggara dalam penanganan Covid-19.
Worldometers mengumumkan, sudah lebih dari 5 juta (5.188.656) pasien positif yang terkonfirmasi per Jum'at 22 Mei 2020. Akibat ganasnya wabah mematikan ini, ekonomi suatu Negara menjadi lumpuh yang sulit dikendalikan, tak peduli Negara miskin, berkembang, bahkan Negara super power sekaliber Amerika Serikat sekali pun kewalahan mengahadapi darurat pandemi ini. Semua keok tak berkutit.
Pun demikian dengan Indonesia kini tengah mengalami kesulitan ekonomi, bahkan akibat darurat Covid-19 ini sebagian kalangan menilai melebihi krisis moneter tahun 1998 silam.
Akibatnya PHK massal menjadi pilihan terburuk bagi perusahaan swasta, baik berskala nasional maupun multi nasional hingga menyebabkan kelaparan. Sebagai upaya untuk penyelematan ekonomi nasional, pemerintah telah menggelontorkan anggaran yang cukup fantastis, yaitu sebesar 405 triliun.
Meski demikian, Kementerian Tenaga Kerja menyebutkan per 20 April 2020, lebih dari 2 juta buruh (2.084.593) di sektor formal terpaksa harus menelan pil pahit akibat PHK massal yang terdiri dari 116.370 perusahaan. Kemudian setidaknya 528.385 buruh di sektor informal terdiri dari 31.444 UMKM mengalami nasib yang sama.
Alih-alih ingin menggalang donasi lewat acara konser amal yang ditayangkan secara virtual (live) melalui TVRI dan direlay oleh sejumlah stasiun televisi tanah air, malah berujung mengecewakan sekaligus menertawakan. Kocak, semua tertawa terbelalak setelah diketahui pemenang lelang motor listrik "Gesits" yang dibubuhi tanda tangan presiden RI Joko Widodo itu tak kunjung dibayar.
Usust punya usut, ternyata M. Nuh, sang pemenang lelang bukanlah seorang pengusaha sebagaimana di umumkan oleh panitia acara. Namun faktanya seorang pria paruh baya asal Jambi itu hanyalah seorang pekerja serabutan alias buruh harian lepas, sehingga tidak memungkinkan untuk membayar motor impian yang nilainya cukup fantastis tersebut, yakni senilai 2,55 milyar.
Bagaikan parody, yang membuat sejumlah orang tak bisa menahan tawa, karena pria 43 tahun itu tidak mengetahui motor itu adalah lelang. Tetapi justru M. Nuh mengira bahwa motor tersebut merupakan hadiah untuk dirinya. Padahal dalam kesempatan itu, presenter Wanda Hamidah selaku panitia acara memastikan bahwa identitas pemenang sudah melalui verifikasi berulang-ulang. Kok bisa kecolongan gitu ya, acara yang diselenggarakan oleh lembaga negera sekelas BPIP-MPR.
Tidak hanya itu, kelucuan lainnya karena M. Nuh mengeliminasi orang-orang hebat, bahkan berhasil melampaui politisi dari partai penguasa Maruar Sirait meski kini setelah diadakan pelelangan ulang, motor tersebut dimenangkan oleh Warren Tanoe Soedibjo atau putra bungsu konglomerat (bos MNC Group) Hary Tanoe Soedibjo yang membayar sesuai harga lelang.
Jika ditotal secara keseluruhan, jumlah dana yang terkumpul kurang dari 5 milyar, padahal acara meriah yang melibatkan sejumlah artis papan atas tanah air itu dikabarkan memakan biaya yang jauh lebih fantastis dari dana yang dikumpulkan, yaitu mencapai 6,7 milyar.
Setelah kabar tentang dirinya viral, beragam komentar dari netizen bermunculan. Ada yang menilai bahwa itu merupakan azab, sebab ditengah umat islam sedang memburu malam "Lailatul Qadar" tetapi atas nama disiplin protokol kesehatan (social distancing), pemerintah melarang agar tidak shalat berjamaah, sementara konser yang melanggar protokol kesehatan justru diijinkan. Ini dirasa sungguh tidak adil.
Yang lebih menohok, bahkan sebagian netizen menganggap aksi kocak itu merupakan prank karena sejumlah kebijakan pemerintah di nilai tak lebih dari seorang youtuber yang memerankan aksi prank. Sebagaimana  diketahui bahwa pemerintah kerap membuat kebijakan yang inkonsisten, baru dinyatakan sah (mulai berlaku) nya suatu kebijakan, namun beberapa saat kemudian muncul klarifikasi alias diralat, dan sebagainya.
Entah lah. Mungkin kejadian itu di sengaja atukah itu sebagai hukum alam, karena kejadian tak lazim tersebut merupakan cerminan dari seorang rakyat biasa yang mengikuti suri tauladannya, sehingga tak berlebihan jika kita asumsikan sebagai apa yang dilakukan oleh pemimpinnya itu jua lah yang dilakukan rakyatnya.
Artinya jika terbiasa prank, maka suatu waktu akan kena prank. Kali ini Lord Nuh Year of the Prank berhasil mengalahkan King of the Prank. Itulah julukan netizen. Sudah tekor karena dana yang terkumpul tak sebanding dengan pengeluaran, kena prank pula. Apes! Akan tetapi, semoga dengan kejadian ini pemerintah lebih teliti dan berhati-hati lagi agar mempertimbangkan suatu kebijakan secara matang sebelum diputuskan.
Kebijakan Naik, Ekonomi Lesu, Daya Kritis Ikut Menurun
Ditengah situasi yang serba sulit seperti sekarang ini, sesungguhnya kita sedang dihadapkan dengan posisi yang ambivalen, karena di satu sisi pemerintah mengakui daya beli masyarakat menurun.
Hal itu disampaikan langsung oleh presiden Jokowi dalam arahannya kepada seluruh gubernur se-Indonesia lewat telekonferensi pada Selasa, 24 Maret lalu. Pada kesempatan yang lain dalam rapat terbatas virtual, Rabu 13 Mei 2020, presiden Jokowi mengaku daya beli menurun.
Namun disisi lain kebijakan yang diambil pemerintah justru menjadi naik. Hal demikian di nilai asimetris dengan kondisi yang ada, bahkan sebagian kalangan menilai kebijakan tersebut dianggap kurang tepat karena bagaimana mungkin rakyat mampu membayar iuran BPJS, untuk kebutuhan sehari-hari saja sangat sulit. Ini sungguh diluar logika akal sehat. Dibalik kebijakan kontroversial itu, setidaknya ada dua isu strategis yang di naikkan:
Pertama, di tataran kebijakan, yaitu iuran BPJS telah resmi dinaikkan yang awalnya Rp. 25.000 menjadi Rp. 42.000 untuk kelas III, Rp. 51.000 menjadi Rp. 110.000 untuk kelas II, dan Rp. Rp. 80.000 menjadi 160.000 untuk kelas I, padahal sebelumnya kebijakan itu pernah di tolak oleh Mahkamah Agung (MA) atau MA mengembalikan iuran BPJS ke posisi semula.
Meski MA menolak, namun presiden Jokowi tetap keukeh menaikkan iuran BPJS melalui Perpres No. 64 tahun 2020 atau perubahan kedua Perpres No. 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres tersebut mulai berlaku per 1 Juli 2020 mendatang.
Kedua, ditataran regulasi yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Covid-19 naik status menjadi UU No. 2 tahun 2020. Ini yang tak kalah mengherankan.