Sederet pekerjaan rumah tangga selama ini menurut saya sudah membuktikan betapa tidak mudahnya menjadi seorang ibu rumah tangga. Ya memasak, mencuci, membersihkan rumah, melahirkan, merawat dan mendidik anak, serta berbagai tugas rumah lainnya, demikian gambaran pekerjaan para ibu rumah tangga yang terbesit di otak saya. Hingga akhirnya siang ini saya melihat sendiri sebuah antrian panjang para ibu yang hendak membeli, mita (minyak tanah). Nurani saya bergidik untuk mendekati antrian tersebut sekaligus mengambil beberapa jepretan gambar di lokasi tersebut.
Dari obrolan dengan para ibu tersebut saya mahfum bahwa harga minyak tanah yang dijual di luar pangkalan minyak sangat variatif dan tergolong mahal serta jumlahnya sangat terbatas. Pangkalan minyak tanah idealnya mendistribusikan minyak tanah kepada masyarakat seharga Rp. 3.200,- per liter namun dalam prakteknya dijual Rp. 3.500,- hingga Rp. 4.000,- per liternya. Terdesak karena kebutuhan hal hasil masyarakat tetap membeli minyak di pangkalan tersebut. Namun demikian, harga bukanlah satu-satunya bentuk penyelewengan dari pangkalan minyak tanah yang ada. Minyak tanah justru diprioritaskan bagi para pedagang minyak yang membeli minyak untuk kemudian diperjualbelikannya lagi kepada pihak lain tentunya dengan mengambil keuntungan. Untuk memenuhi kebutuhan para pedagang tersebut, maka masyarakat dijadikan second priority dimana masyarakat dibatasi dalam pembelian minyak tanah di pangkalan. Satu orang hanya dapat membeli maksimal 10 liter.
Minyak yang di distribusikan lewat agen resmi minyak tanah tersebut tidak pernah menunggu lama untuk berpindah tangan. Begitu tangki minyak dari pertamina datang dan menyalin minyak di pangkalan, masyarakat dan para pengencer minyak tanah langsung datang berbondong-bondong akan langsung menyerbu dan bisa dipastikan minyak tersebut akan habis dalam hitungan jam di hari yang sama.
Membeli minyak tanah di pangkalan ternyata tidaklah mudah. Diperlukan kesabaran dan kekuatan fisik. Mengapa? Antriannya panjang, tak jarang para ibu rumah tangga menghabiskan waktu lebih kurang satu jam. Warga yang antri tentu tidak semuanya disiplin, hal hasil ada yang suka menyelip di tengah antrian sehingga timbul aksi dorong antar sesama pengantri karena tak ingin didahului oleh yang lain. Di pangkalan tersebut minyak nyatanya didistribusikan di siang hari yang terik yakni antara pukul 13.00 WIB hingga pukul 14.00 WIB hingga selesai.Panasnya sengatan matahari membuat tubuhnya banjir keringat seperti orang sauna. Sungguh miris sekali menyaksikan kondisi ini.
Minyak tanah datang dengan jadwal yang tidak pasti sehingga para ibu harus siaga setiap waktu dan harus memasang antena kupingnya tinggi agar segera menangkap informasi manakala tangki minyak tanah datang mendekati pangkalan minyak. Tak mendapat informasi berarti beresiko tidak mendapatkan jatah minyak selama satu minggu dan terpaksa membeli minyak tanah di agen tak resmi dengan mengorek saku lebih dalam.
Kelangkaan gas elpiji serta ketakutan masyarakat akan resiko ledakan jika menggunakan bahan bakar gas membuat minyak tanah tetap menjadi pilihan tak tergantikan. Namun pilihan tersebut harus mereka bayar dengan antrian panjang dan harga yang mahal.
Saya sempat bertanya kepada salah seorang ibu yang sedang mengantri, apa pasal yang membuatnya rela antri membeli minyak tanah di pangkalan tersebut? Ternyata hampir tidak ada warung atau toko yang menjual minyak tanah di sekitar tempat tinggalnya, kalaupun minyak tanah akan dibandrol seharga Rp. 5.000 hingga Rp. 6.000,- per liternya. Wah, ternyata perjuangan para ibu rumah tangga itu tidak mudah, selain harus pandai memasak, mencuci, mendidik anak, dan berdandan, ternyata harus ahli pula mengatur pengeluaran serta piawai dalam membeli produk, termasuk membeli minyak tanah. Pasalnya, sulitnya mendapatkan minyak tanah membuat para ibu kian terjepit bahkan menjerit tak berdaya.
Fenomena ini kembali menambah rententan panjang masalah negeri ini yang tak kunjung usai. Di tengah kelangkaan minyak tanah ternyata masih saja ada oknum yang menangguk rupiah demi kepentingan pribadi dengan cara menimbun minyak tanah kemudian dijual ke propinsi tetangga dengan harga yang fantastis. Menurut hemat saya, hal ini terjadi tentu karena adanya kerjasama dengan beberapa pangkalan resmi minyak tanah.
Pangkalan minyak tanah yang nakal bukan tidak pernah dipublikasikan, setiap pemberitaan akan membuat pangkalan menjadi sorotan namun sanksi yang diberikan sungguh tidak sepadan, mereka hanya diberi sanksi tidak mendapatkan pasokan minyak tanah selama satu priode alias satu kali jadwal reguler. Seandainya para petinggi negeri ini mampu bertindak tegas, tentu hal ini tidak akan membudaya.