Leo, kepergianmu satu dari banyak luka yang berhasil kutata hingga sakitnya berhasilĀ mereda. Kau menetap jauh dalam hati, membentuk guratan pelangi sebagai kenangan indah dalam memori. Dulu, ketika kau benar-benar pergi, aku menahan sakit dalam diam, menahan perihnya sayatan kehilangan dengan bungkam. Bertingkah biasa saja padahal di dalam tengah retak tak tertahankan. Dalam sikapku yang wajar ada isak tangis tapi aku memilih sok tegar. Kau tahu sendiri, kan? Babumu ini gengsi sekali memperlihatkan kesedihan di hadapan orang lain, seolah-olah menangis adalah hal payah sekaligus memalukan.
KEMBALI KE ARTIKEL