Suami-istri ini tinggal di rumah kontrakan. Keduanya bekerja. Istri bekerja sebagai kasir di pusat perbelanjaan. Suami bekerja di pabrik pembuatan mobil. Mereka punya satu anak laki-laki berusia lima tahun yang dititipkan pada budenya (bude suami). Mereka menengok anaknya seminggu sekali. Dari rumahnya ke rumah budenya, kurang lebih satu jam perjalanan akan sampai.
"Rasanya aku ingin berganti suami. Aku nggak tahan lagi dengannya," kata istri.
"Mentang-mentang aku kerja, dia nggak mau kasih uang ke aku. Tabungan juga nggak punya. Utangnya banyak mungkin di koperasi kantornya," lanjutnya.
"Kerjaannya tidur saja. Nggak mau bantu cuci baju. Ini sudah sebulan nggak menengok anaknya. Ah, kesal sekali aku," katanya, lagi.
"Gimana ya. Kalau aku meninggalkan dia, takutnya nanti dia frustasi. Tapi, ah mungkin aku terlalu memikirkan dia saja," kata istri itu, lagi dan lagi.
Yang tampak di matanya saat ini adalah sederet keburukan suami.
Sang istri ini bercerita sedang punya teman dekat seorang pria. Si teman dekat ini tampaknya membuatnya membanding-bandingkan. Hingga deretan kekecewaan pada suaminya pun bertambah panjang.
"Dia nggak perhatian banget. Bisa dong sekali-kali jemput aku sepulang kerja. Ini tidak pernah," katanya.
Ketika menceritakan itu semua, sebetulnya sang istri ini meminta dukungan untuk mengambil langkah cerai untuk selanjutnya berganti suami.
.
> Haruskah cerai menjadi jalan keluar?
> Ketika terlintas pikiran cerai, sebetulnya posisi anak berada di prioritas ke berapa?
> Mengapa karakter pasangan baru diketahui setelah pernikahan jalan sekian tahun?
> Apakah karakter pasangan tidak bisa dibaca ketika masa pacaran dulu?
> Pernikahan adalah keputusan yang dibuat sendiri. Lalu ketika dalam perjalanan menemui banyak kerikil tajam, haruskah mudah berkata cerai? Sementara ada anak yang menjadi tanggung jawab bersama, yang membutuhkan kasih sayang utuh Ibu-Bapaknya?