Rini baru berusia 20 tahun, baru lulus D3 jurusan periklanan. Tak lama setelah seremonial wisuda, Rini menikah dengan Aldi, teman kuliahnya. Keduanya sama-sama belum bekerja.
"Aku menikah muda sebab Ibuku melarangku pacaran," kata Rini.
Praktis, setelah menikah, untuk sementara kebutuhan hidup Rini dan Aldi ditanggung keluarga.
Setelah menikah, keduanya membangun karier. Aldi mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan hingga mendapat predikat sebagai karyawan. Demikian juga halnya dengan Rini.
Enam tahun kemudian, Rini dan Aldi punya anak dua. Aldi masih bekerja di perusahaan orang, kariernya lumayan bagus, memulai dari tangga staf paling bawah kemudian naik ke level menengah, membawahi belasan anak buah. Sedangkan Rini sudah tidak lagi bekerja di perusahaan orang. Rini membuka salon kecantikan khusus untuk perempuan.
"Setelah menikah itu hatiku lebih tenang. Dan kemudian aku lebih fokus membangun karier," kenang Rini.
Perempuan lain yang memilih menikah muda adalah Lili. Saat menikah, Lili masih berstatus mahasiswa, demikian juga dengan suaminya.
Setelah menikah, Lili dan suami kuliah seperti biasa.
"Karena masih kuliah, untuk sementara kami mengikuti program KB. Karena, kan, biaya hidup dan kuliah kami masih disubsidi orang tua. Begitu lulus kuliah dan kami sudah mendapat penghasilan sendiri, barulah kami lepas program KB. Setelah punya penghasilan sendiri, kami siap merencanakan punya anak," kenang Lili.
Lima tahun kemudian, Lili berstatus sebagai Ibu bagi anak sematawayangnya. Lili yang waktu kuliah mengambil jurusan fashion design kini mempunyai butik, bekerja sama dengan dua temannya, memasarkan busana hasil rancangannya sendiri.
Lili dengan mata berbinar bercerita sedang hamil 2 bulan. "Saya dan suami bekerja keras. Kami sedang mempersiapkan diri menyambut anak kedua kami," tutur Lili.
Sama seperti Rini dan Lili, Fifi juga memilih menikah terlebih dulu untuk kemudian membangun karier.
"Aku takut terlalu lama pacaran lalu terjerumus pada perbuatan dosa. Karena tidak kuat menahan diri, lebih baik menikah. Aku dan pacarku saling cinta, saling percaya, saling membutuhkan, tak ada alasan buat menunda pernikahan," kenang Fifi.
Setelah menikah, Fifi dan suaminya mencari pekerjaan supaya mendapat penghasilan untuk membangun rumah tangganya secara mandiri.
Dari cerita Rini, Lili dan Fifi, terdapat pola yang sama, bahwa mereka mendapat dukungan yang baik dari orang tuanya. Orang tuanya tidak mau mengambil risiko anaknya terlena lalu melakukan seks bebas. Jadi, begitu mengetahui anaknya dekat dengan pacarnya, mereka mendorong anaknya dan pacarnya itu segera menikah.
Rini, Lili dan Fifi memberikan contoh, bahwa ternyata menikah dulu untuk kemudian membangun karier bukan pilihan buruk. Bisa jadi, justru pilihan baik. Setidaknya itu sudah ditunjukkan oleh Rini, Lili dan Fifi.
Bukan berarti, yang memilih membangun karier terlebih dahulu untuk kemudian menikah lantas serta merta pasti melakukan seks bebas di masa lajangnya. Masing-masing pribadi memiliki daya tahan berbeda dalam urusan ini.
Rini, Lili dan Fifi membawa pesan :
"Masing-masing pribadi seharusnya mengetahui kelemahan dan kelebihan dirinya sendiri. Masing-masing pribadi seharusnya tahu apa yang terbaik untuk dirinya sendiri. Masing-masing pribadi seharusnya tahu apa yang harus dilakukan untuk menjaga dirinya sendiri."
"Kedekatan emosional dan keterbukaan antara orang tua dan anak, dalam banyak hal, terbukti menyelamatkan anak ketika berhadapan dengan situasi-situasi rawan."
"Segala sesuatu yang dimulai dengan baik, direncanakan secara baik, ke depannya juga akan menjadi baik. Tugas berikutnya adalah menjaga supaya sesuatu yang baik itu terus terjaga baik selamanya."