Kemudian, sesungguhnya kerisauan tentang maraknya dinasti politik tersebut membuat negara pada suatu ketika pernah mengatur pembatasan terkait dengan politik dinasti, yakni dalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang berbunyi sebagai berikut :
"Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
r. tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Penjelasan pasal tersebut menyebutkan yang dimaksud "tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana" yakni tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan.
Namun sayangnya, aturan indah tentang pembatasan/larangan dinasti politik yang tercantum dalam Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tersebut kemudian dibatalkan oleh Putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015 yang dibacakan pada Rabu 8 Juli 2015 saat MK dipimpin oleh Ketua MK Arif Hidayat.
Padahal sesungguhnya jika aturan tentang pembatasan/larangan dinasti politik di Pilkada itu tetap berlaku, maka dapat dipastikan aturan larangan serupa juga bakal diterapkan pada pemilihan presiden serta juga pada pemilihan lurah desa. Dengan begitu, maka berbagai klan politik yang ada di berbagai daerah dan di partai politik tidak bisa memiliki keistimewaan melanggengkan kekuasaannya karena ada aturan pembatasan tersebut.
Namun, sayangnya aturan yang bagus tersebut dianggap melanggar konstitusi oleh MK sehingga harus dibatalkan dan otomatis membuka kran bagi berbagai klan politik di daerah dan partai, untuk melanggengkan kuasanya. Satu contoh saja misal di Gowa, sejak puluhan tahun silam, salah satu kabupaten di Sulsel tersebut dikuasai oleh klan Yasin Limpo. Contoh lain di Klaten misalnya, klan Haryanto dan Sunarno secara bergantian duduk di kursi kekuasaan. Kemudian yang legendaris tentu saja di Banten dengan klan Ratu Atut-nya.
Maka, seperti pernah ditulis di postingan terdahulu, dengan realita bahwa berbagai klan politik tumbuh subur tanpa adanya pembatasan di dunia perpolitikan tanah air, hanya tinggal menunggu waktu saja model dinasti politik yang menyeruak di berbagai pilkada akan juga terjadi di ajang pilpres.