Dalam pengantarnya, Ir. H Ibnu M Bilaludin selaku narasumber pertama menyampaikan bahwa Ummat Islam, terkhusus lagi warga Muhammadiyah merupakan pemilik saham berdirinya NKRI, oleh sebab itu maka adalah kewajiban kita bersama untuk merawat dan menjaga keberlangsungan Republik Indonesia. Pancasila, sebagai dasar negara kita yang telah disepakati bersama menjadi dasar negara juga merupakan hasil permusyawaratan para founding fathers, yang mayoritasnya juga merupakan wakil dari ummat Islam, salah satunya adalah Kahar Muzakir, tokoh Muhammadiyah dari Yogyakarta. Pun juga saat krusial ketika kesepakatan untuk mencoret 7 kata di sila pertama Piagam Jakarta demi persatuan dan kesatuan NKRI juga adalah karena kebesaran hati dari tokoh-tokoh Islam, diantaranya Moh Hasan, Kasman Singodimejo dan Ki Bagus Hadikusumo. Sehingga memang tidak ada alasan lagi bagi kita sebagai generasi saat ini untuk tidak turut serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa yang telah dicontohkan oleh para tokoh Islam pendahulu kita.
Selanjutnya, narasumber kedua, Agung Mabruri Asori, dalam paparannya menyampaikan bahwa realitas adanya kemajemukan dalam tubuh bangsa Indonesia merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari. Sejarahnya sejak jaman Majapahit pun sudah dirumuskan tentang persatuan dalam kebhinekaan yang saat ini kita pakai sebagai semboyan negara, Bhinneka Tunggal Ika, berbeda beda tetapi satu jua.
Sungguhpun demikian, dalam negara merdeka pasca mengalami penjajahan sekian lama, maka merumuskan kembali semangat persatuan itu bukan sesuatu yang mudah. Apalagi saat ini ada begitu banyak persoalan yang membelit bangsa ini, diantaranya : intoleransi berbasis agama, politik identitas, korupsi, radikalisme dan ekstremisme, individualistik dan materialistik.
Sungguhpun demikian, berbagai upaya untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa terus dilakukan, antara lain dengan membangun jiwa dan semangat nasionalisme yang dicontohkan oleh saudara kita kalangan nahdliyin dengan semboyan hubbul wathon minnal iman, kemudian di kalangan kita, warga persyarikatan dengan mengusung semangat Darul Ahdli wa Syahadah.
Langkah lain yang dilakukan adalah dengan membangun budaya atau semangat toleransi, kemudian juga dengan menggelorakan sikap ta'awun (saling menolong) di antara sesama anak bangsa. Dan tak lupa adalah menggali nilai-nilai kearifan lokal seperti semangat gotong royong, tepo seliro, yang sesungguhnya adalah pengejawantahan dari nilai-nilai budaya adiluhung bangsa kita.
Terakhir, tentu saja untuk membumikan Pancasila dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan NKRI, diperlukan keteladanan dari para elit untuk bisa menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan atau golongannya. Hal ini sangat penting, karena satu teladan itu lebih bermakna daripada seribu retorika yang kosong belaka. Karena seperti pepatah, ikan itu busuk dari kepalanya.
Acara yang dihadiri oleh sekitar 150 orang peserta dari kecamatan Girimulyo, Nanggulan dan sekitarnya tersebut kemudian diakhiri dengan doa penutup pada sekitar pkl 15.00 WIB.