Pemilihan legislatif 2014 baru saja usai, meski terhitung lancar, namun boleh dikatakan terbilang lambat dalam hal informasi hasilnya. sampai h+6, belum nampak informasi real count yang disajikan oleh pihak yang berwenang, dalam hal ini kpu. satu-satunya yang menjadi pijakan sejak hari pertama seusai pemilihan dilaksanakan adalah hasil quick count, yang bersifat nasional. padahal, tentu masyarakat juga pengin mengetahui hasil pemilihan di tingkat local, maka akhirnya informasi yang bersumber dari partai peserta pemilu lah yang menjadi jujugan, namun tentu saja tak semua anggota masyarakat mempnyai akses ke partai politik yang ada.
di Yogyakarta, pelaksanaan pemilihan tahun ini boleh dikatakan agak berantakan, sehingga bawaslu lewat ketuanya, Muhammad, menyatakan bahwa pelaksanaan pemilu di Yogyakarta paling amburadul. banyaknya surat suara yang tertukar daerah, surat suara yang kurang di berbagai tps menjadi fenomena yang tidak banyak kita temuai di di pemilu-pemilu sebelumnya, di pemilu kali ini sedemikian banyak terjadi. sehingga beberapa tps akhirnya terpaksa melaksanakan pemilihan ulang pada minggu kemarin karena surat suara yang tertukar.
dari penelusuran terhadap hasil pemilihan yang dilaksanakan 9 april yang lalu, berdasar real count sementara salah satu partai, dapat kita ketahui munculnya beberapa kejutan yang mewarnai hasil pemilihan, meskipun tentu hasil akhirnya masih menunggu pleno kpud, namun paling tidak real count sementara itu bisa memberikan gambaran tentang fenomena yang terjadi di tengah masyarakat.
sebagai sebuah daerah yang yang kental dengan nuansa masa lalu, karena pengaruh kraton Yogyakarta yang masih eksis di kancah perpolitikan sampai saat ini, munculnya 2 mantu raja, yaitu wironegoro yang maju sebagai caleg dpr pusat dari gerindra dan purboningrat yang maju sebagai caleg propinsi dari pdip, adalah hal yang dinilai sebagai upaya kraton untuk terus memperlihatkan eksistensinya di kancah perpolitikan, selain tentunya kembali majunya istri raja, hemas, yang maju kembali sebagai calon DPD untuk yang ketiga kalinya.
namun ternyata, meski menyandang prediat mantu raja, serta didukung dengan gencarnya kampanye yang dilakukan, perolehan suara kedua mantu raja itu boleh dikatakan mengecewakan. Wironegoro terpaksa harus membuyarkan mimpinya untuk duduk di senayan, karena kalah jauh dari caleg nomer 4, andika pandu puragaya yang merupakan anak dari mantan petinggi militer, Joko Santosa. bahkan yang lebih mengenaskan adalah, di tpsnya sendiri, di panembahan, kraton, Wironegoro tidak memperolah kemenangan, dia dengan telak dikalahkan oleh Hanafi Rais, caleg dari PAN. pun demikian dengan Purbodingingrat, musti mengubur impiannya untuk menduduki kursi dewan propinsi, karena perolehan suaranya tertinggal jauh dari Joko Purnomo, yang mantan ketua PDIP bantul.
selain tersingkirnya dua pangeran kraton itu, pemilu kali ini kembali menampilkan kejutan, yaitu tersingkirnya jagoan PDIP, Sidharto Danusubroto, yang notabene adalah ketua MPR, yang maju sebagai calon DPD dari dapil Yogyakarta, ternyata meski menduduki jabatan bergengsi, dan didukung sepenuhnya oleh struktur partai pdip, suara sidarto tertinggal jauh dari 4 incumben yang maju kembali tahun ini.
selain sidarto, nama-nama lain yang musti tersingkir adalah Yoeke Samawi, keponakan ketua DPP PDIP, Idham Samawi, yang juga belum aman posisinya, karena masih bersaing ketat untuk memperoleh tiket ke senayan bersaing dengan esti wijayanti dan pulung agustanto. sementara Yoeke sepertinya tidak mampu mengalahkan dua srikandi banteng, Tustiyani dan Edi Sumarmi.
nama beken lain yang musti tersingkir dari peta persaingan menuju senayan adalah Titik Soeharto, yang merupakan caleg andalan dari partai Golkar. menyandang nama besar soeharto, dan gencar dengan kampanye “isih penak jamanku to?’ yang dilakukan selama setahun terakhir, ternyata tak mampu memikat rakyat untuk mendongkrak suara titik soeharto, masih belum mampu untuk mengalahkan calon incumben golkar, gandung pardiman.
dari fenomena di atas, memperlihatkan betapa masyarakat di Yogyakarta adalah masyarakat yang tidak mudah terpukau dengan nama besar atau gelar yang disandang oleh para caleg. kiprah nyata dan rekam jejak, adalah dua hal yang masih menjadi tolok ukur utama bagi masyarakat di Jogja dalam menjatuhkan pilihannya. hal ini tentu musti menjadi peringatan bagi siapapun yang punya keinginan untuk maju menjadi pengemban amanat rakyat, bahwa untuk terpilih, tidak lain dan tidak bukan musti memiliki kiprah yang nyata di tengah masyarakat, mengandalkan nama besar keluarga, gelar apalagi hanya semata mengandalkan dana berlimpah, namun tanpa disertai dengan kiprah nyata di tengah masyarakat maka dapat dipastikan mereka akan tersingkir.