Tetapi dengan perkembangan teknologi sekarang, ada satu hal yang berubah. Kini sajian program televisi yang hadir di masing-masing layar kaca pemirsa bisa berbeda-beda walaupun pada stasiun televisi dan waktu yang sama. Teknologi IP-TV salah satunya, mempunyai fitur TV on Demand, memungkinkan pelanggannya untuk memilih menonton acara yang disukainya pada waktu yang ditentukan sendiri. Teknologi siaran televisi digital yang saat ini sedang trial di Jakarta, juga mempunyai fasilitas merekam siaran yang dipilih dengan cara sangat mudah. Kondisi ini menyebabkan prime time semakin kurang efektif. Lunturnya kesaktian prime time pada media broadcast ini juga diakui oleh Presiden CNN Jon Klein pada waktu itu : “ …. it’s hard to say there’s one particular daypart or hour of the day that matters more”.
Berkembangnya “new media” seperti online social media (facebook, twitter, friendster, hi5, dll) semakin membuat media broadcast tradisional semakin kehilangan kesaktiannya. Bagi kita yang belajar marketing sudah banyak membaca artikel atau buku yang menyajikan studi kasus mengenai kesaktian social media tersebut dalam membangkitkan buzz atau words of mouth. Dalam konsep new wave marketing dari Hermawan Kartajaya, dikenal dengan istilah many to many marketing atau era horizontal marketing. Kemudahan dalam mengakses online social media di manapun kita berada dengan semakin menjamurnya Blackberry, iPhone atau smartphone yang lainnya semakin membuat banyak pemirsa televisi yang beralih ke media baru (baca artikel sebelumnya Kebut-kebutan Blackberry vs iPhone. Tumbuh pesatnya smartphone ini juga dipicu oleh kompetisi yang semakin ketat, seperti diungkap pada artikel Blackberry Baru 500 ribu-an, Tertarik?.
Fenomena ini juga diikuti dengan mulai lunturnya kesaktian rating. Content dengan rating tinggi tidak lagi bisa mendominasi seperti dahulu. Chris Anderson dalam bukunya “The Long Tail” menunjukkan kepada kita bahwa beberapa produk atau content dengan demand yang rendah atau mempunyai volume penjualan yang rendah, secara kolektif bisa bersaing atau bahkan melampaui market share dari produk atau content best seller atau box office. Kondisi ini tentunya dipicu antara lain oleh berkembangnya media yang lebih interakti, terutama yang berbasis internet.
Hasil riset The Nielsen Company pada tahun 2009 menunjukkan bahwa game console PlayStation 3 dan Xbox 360 pun berperan mengurangi jam menonton televisi, termasuk pada prime time. Dari hasil survey, para gamers lebih banyak menggunakan waktunya untuk bermain game daripada menonton televisi pada prime time. Survey Nielsen pada bulan Mei 2008 juga menemukan bahwa 6 juta pemirsa televisi di Amerika Serikat pada prime time telah beralih ke media lain. Sebagian dari 6 juta pemirsa tersebut masih menonton acara yang sama tetapi telah memilih waktunya sendiri melalui TiVo atau digital video recorder lainnya, streaming video di internet atau cable video on demand.
Kondisi ini semakin menambah keyakinan perlunya mulai fokus pada mengelola “conversation” dalam istilah New Wave Marketing-nya Hermawan Kartajaya. Dalam conversation, peran social media dan komunitas menjadi penting, dibandingkan media vertikal yang pada era sebelumnya mendominasi pengelolaan promosi. Bagaimana mengelola conversation? Sekarang telah cukup banyak referensi dan buku marketing yang membahasnya, atau Anda sudah membaca atau mengimplementasikannya? Please share with us, atau ada pendapat lain? Share your marketing ideas di http://kopicoklat.com dan belajar marketing bersama di blog ini.