1. Era Awal: Aturan Perang yang Tidak Tertulis
Pada masa awal, hukum perang bersifat adat dan tidak tertulis. Aturan perang lebih didasarkan pada norma lokal, agama, dan tradisi yang mengatur perilaku pihak-pihak yang berperang. Contohnya, dalam sejarah, berbagai perjanjian seperti Traktat Westphalia (1648) mulai mencerminkan kebutuhan untuk mengatur konflik, meskipun secara terbatas.
2. Periode Kodifikasi Awal: Konvensi Den Haag
Kodifikasi hukum internasional dimulai pada abad ke-19 melalui Konvensi Den Haag (1899 dan 1907). Konvensi ini memperkenalkan aturan mengenai perlakuan terhadap kombatan, perlindungan penduduk sipil, dan penggunaan senjata tertentu. Meskipun masih sederhana, langkah ini menjadi dasar bagi pengaturan kejahatan perang.
3. Penerapan Hukum Internasional Pasca-Perang Dunia II
Setelah Perang Dunia II, upaya mengatur kejahatan perang semakin ditekankan dengan pembentukan Mahkamah Militer Internasional di Nuremberg dan Tokyo. Pengadilan ini menghukum para pelaku kejahatan perang, termasuk genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Momen ini juga melahirkan konsep "kejahatan terhadap perdamaian" dan memperkenalkan prinsip pertanggungjawaban individu dalam hukum internasional.
4. Pembentukan Konvensi Jenewa
Konvensi Jenewa 1949 menjadi tonggak utama hukum humaniter internasional. Konvensi ini menetapkan perlindungan terhadap kelompok rentan seperti tawanan perang, warga sipil, dan tenaga medis. Konvensi ini juga menegaskan kewajiban negara untuk mencegah dan menghukum pelaku kejahatan perang.
5. Era Modern: Mahkamah Pidana Internasional (ICC)
Pada tahun 1998, Statuta Roma mendirikan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk mengadili pelaku kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida. ICC menjadi instrumen penting dalam memperluas yurisdiksi hukum internasional ke tingkat individu. Contoh kasus yang diadili ICC mencakup pelanggaran berat di Rwanda, Yugoslavia, dan Sudan.
6. Tantangan dan Prospek di Masa Depan
Meskipun evolusi hukum internasional telah membawa banyak kemajuan, tantangan tetap ada, seperti:
Kepatuhan Negara: Tidak semua negara anggota PBB meratifikasi Statuta Roma, sehingga yurisdiksi ICC terbatas.
Konflik Asimetris: Konflik modern yang melibatkan aktor non-negara sering kali melampaui kerangka tradisional hukum internasional.
Politisasi Keadilan: Penegakan hukum internasional kadang-kadang menghadapi kendala politik, sehingga keadilan sulit dicapai.
Di masa depan, hukum internasional perlu terus beradaptasi dengan realitas baru, seperti perang siber dan penggunaan teknologi militer modern. Melalui kolaborasi global, hukum internasional dapat memperkuat perlindungan terhadap korban perang dan memastikan akuntabilitas pelaku kejahatan.