Atau hanya cara orangtua membuat anaknya agar tidak berada di luar rumah ketika senja tiba. Atau karena anak hanya akan nurut jika ditakut-takuti. Dan salah satu yang paling dianggap menakutkan adalah cerita tentang mahluk halus.
Bagi yang takut gelap, takut gerimis senja, dan bulu kudung sering berdiri tanpa alasan yang jelas sebaiknya tidak usah melanjutkan membaca artikel ini. Saya tidak bertanggung jawab jika ketakutan itu akan membuat siksa dalam kehidupanmu selanjutnya.
Di sebuah sekolah (agar tak membuat takut mereka yang kebetulan berada dekat dengan sekolah itu, maka nama sekolahnya sengaja saya sembunyikan) yang berdiri tahun 1984 itu dikelilingi oleh pohon-pohon besar.
Malam benar-benar sepi. Desa terisolir yang hanya bisa dijangkau menggunakan 'ketinting' perahu motor dengan mesin dan roda di ujung galah panjang.
Kala itu memang penduduk di desa itu sangat jarang. Hingga siswa yang sekolah di sana berasal dari desa di kecamatan itu.
Jarak yang jauh memaksa sebagian dari mereka terpaksa ikut kos di ruang sekolah yang masih kosong. Ada juga yang menyekat gudang sekolah, lab IPA dan perpustakaan.
Tidak hanya siswa yang numpang tinggal di sekolah itu. Sebagian guru pun ada yang menetap di sana. Minimal untuk mengawasi keselamatan dan menjaga perilaku siswa ketika malam hari.
Maklumlah ketika itu, tahun 1997 listrik masuk desa belum sepenuhnya bisa sempurna. Hanya disel khusus untuk satu desa saja. Menyalana pun terbatas dari pukul 6 sore hingga pukul 10 malam. Selebihnya hanya menggunakan lampu minyak.
Jangankan televisi, radio saja hampir tak terdengar. Paling satu atau dua orang yang punya. Karena harga baterai termasuk mahal dan langka. Penghematan mungkin. Jadi hanya wakti tertentu saja dinyalakan. Malam benar-benar sepi.
Orang mungkin akan mengira kalau siswa yang menetap di sekolah itu yang bakal ditemui oleh mahluk halus penunggu sekolah itu. Nyatanya tidak!
Sampai suatu ketika, anak perempuan guru selalu sakit bila malam tiba. Panas tubuhnya naik. Sering kejang-kejang. Pada saat petugas puksesmas datang dan diperiksa, katanya kena demam flu. Maka diberikanlah obat flu sirup.
Lucunya begitu dokter puskesmas datang anak itu diam dan seperti sakit biasa. Namun pada saat dokternya pulang, kejang-kejang dan meranyaunya kumat. Kami semua tak menyangka kalau anak itu kerasukan.
Biar pun awam soal mahluk halus, saya termasuk mampu membedakan mana anak yang kerasukan dan yang sakit betulan.
Jari kaki orang yang kerasukan biasanya 'mungker' dan kaku. Jika tidak berarti jika pun dianggap kerasukan maka kerasukannya pura-pura, hanya untuk menarik perhatian saja.
Maka dikisahkan anak perempuan guru tersebut apabila mandi sore hari selalu melihat kakek-kakek duduk di atas menara tong air. Kata si anak, kakek itu selalu melambai-lambaikan tangan dan tersenyum ke arahnya.
Kata orangtuanya, jika sehabis bercerita begitu maka malam harinya pasti anak tersebut kejang-kejang.
Beberapa orang pinter pernah dimintai air untuk diminum dan dimandikan ke anak itu. Tak satu pun yang berhasil.
Kejadian ini berlangsung bertahun-tahun, kata orangtuanya. Lucunya tak ada siswa yang ikut menginap di sekolah itu melihat kakek tersebut. Orangtua mereka juga tak pernah melihat.
Pada suatu ketika, karena lembur menyelesaikan stensilan soal ulangan semesteran guru dan TU bekerja di ruang kantor. Saat itu cetak dan fotokopi belum ada. Hanya mesin stensil manual perlembar. Jadi agar tepat waktu ulangannya terpaksa dilembur cetak setensilannya.
Menjelang pagi, katanya sekitar pukul tiga dini hari tiga orang yang tersisa dalam ruang kantor itu mendengar suara kursi terbanting. Maklum, karena hanya menggunakan lampu minyak. Sekeliling kantor gelap. Hanya ruang yang digunakan rada terang.
Mereka saling pandang. Jangan-jangan ada kucing hutan. Saat itu hampir tidak pernah terlihat ada kucing liar (kampung) berkeliaran. Maka saling tunjuk untuk memeriksa. Rupa-rupanya masing-masing merasa takut.
Sebelum mereka beranjak memeriksa ruangan di mana kursi terbanting berbunyi. Terdengar lagi suara meja terbalik. Lebih nyaring tentunya. Mereka serentak berteriak, "Siapa!"
Katanya jika itu suara kucing pasti akan terdengar suara 'ngeong' balasan dari kucing. Tak ada tanda-tanda suara balasan. Mereka bertiga menghentikan pekerjaannya.
Pastilah bulu kuduk ketiganya berdiri. Setengah takut saja kadang bulu kuduk sudah berdiri. Apalagi jika benar-benar takut.
Merasa suasana tidak kondusif untuk melanjutkan pekerjaan mereka sepakat pulang. Tentu saja dalam kondisi yang sangat ngantuk.
Esok paginya cerita itu gempar dari mulut ke mulut guru yang ada di sekolah itu. Masing-masing mengolok-olok. Dan sebagian besar tak percaya pada cerita ke tiga orang tadi.
Waktu pun berlalu, sampai ketika saya datang dan bertugas di tempat itu belum mengerti apa-apa. Soal hantu, meskipun berani tatap saja ketakutan kadang menyelimuti. Apalagi berhadapan dengsn mahluk tak kasat mata. Mau dilawan bagaimana melawnnya. Mau dihindari bagaimana menghindarinya.
Pernah suatu malam, listrik PLN sudah ada setiap sekolah mendapatkan SSB untuk komunikasi jarak jauh ketika itu, sekitar tahun 1998.
Saking inginnya berhibur diri hanya SSB lah salah satu yang bisa dijadikan sarana komunikasi. Saya tak mengenal telepon seluler. Telepon rumah dan telepon umum pun tak pernah menggunakannya.
Saking asyiknya berbagi cerita, tiba-tiba bau bangai menyengat hadir tanpa diundang. Seperti bau mayat tertiup angin. Sebentar kemudian rasany aingin muntah. Maka microfon SSB pun saya lepaskan. Jangan-jangan ada binatang mati kemudian tertiup angin. Tapi malam-malam begini bagaimana menemukannya?
Sebentar kemudian bau menyengat hilang. Saya sedang seorang diri saat itu. Tetap di tempat di mana cerita tiga orang guru yang mendengar suara meja dan kursi terbanting beberapa tahun silam. Cerita itu saya anggap cerita dongengan mereka jasa.
Tiba-tiba dari atas plafon ada suara gemeretak. Oh ini mungkin suara tikus, saya pikir. Tapi bulu kuduk saya perlahan berdiri. Lampu ruang yang mulanya saya matikan kini saya nyalakan. Hantu tidak akan senang dengan cahaya terang, begitu pikir saja.
Suara obrolan SSB tiba-tiba berhenti. Teman ngobrol seakan mati. Hanya suara seperti angin saja. Berulangkali cannel SSB saya pindah. Tetap sama, tidak ada suara. Jangan-jangan kabel antena putus. Saya pun menaiki meja menuju antena router tak jauh dari tempat saya duduk.
Entah karena takut yang sengaja saya berani-beranikan. Atau rasa takut di alam bawah sadar yang sudah terpatri sejak kecil karena sering ditakuti oleh orangtua, atau teman-teman. Tetap saja bulu kuduk tegak sembilan puluh derajat. Tengkuk merasa dingin banget.
Antena router pun saya periksa. Tak ada tanda-tanda label lepas. Suara SSB tetap seperti tiupan angin berdesis. Hampir setengah jam SSB itu saya otak-atik namun tak berhasil.
Karena tidak menunjukkan akan ada perbaikan, saya pikir mungkin signal dari pusatnya sedang terganggu. Maka saya pun memutuskan pulang. Kemudian mesin SSB saya matikan.
Begitu listrik yang mengarah ke SSB saya lepaskan tiba-tiba terdengar suara di balik pintu tepat di mana nanti saya menuju pulang.
Padahal lampu ruang menyala. Ini suara apa? Gemetar tak terkira. Saya terjebak tidak ada jalan keluar lainnya. Masak harus meloncat lewat jendela!
Suara auman keras! Setengah mengaum, setengah merintih. Aduhai. Saat menceritakan ini bulu kuduk saya benar-benar berdiri. Jika ingat perirtiwa itu, pasti bergidik sendiri.
Bau bangkai menyengat tiba-tiba datang lagi. Saya belum sempat berpikir normal. Suara dan bau datang bersamaan. Lutut rasanya lemas. Tak kuasa melangkah. Mau lari menerjang pintu, jangan-jangan ada seseorang yang memiliki wajah dan bertaring. Mata menyala dengan air luar berbau bangkai. Aduhai....
Mau minta tolong ke mana minta tolong? Tanpa saya sadar mulut komat kamit membaca ayak kursi. Suara dan bau tak juga pergi.
Keringat dingin mengucur. Saya harus bagaimana? Berteriak kencang? Siapa juga yang akan mendengar? Ruang kantor jauh dari penginapan siswa dan guru. Minta tolong ke masyarakat sekitar? Boro-boro! Lahan sekolah saja satu herktar luasnya. Kantor ada di tengah-tengahnya.
Harusnya ada senjata tajam untuk tindakan membela diri, jika sesuatu terjadi. Di kantor mana ada pisau atau parang. Yang ada paling penggars. Maka penggaris saya ambil. Sambil saya pukul-pukulkan ke meja di dekat saya. Siapa tau suara dan baunya ilang. Tapi teta bau menyengat dan suara mengaum makin nyaring.
Berkali-kali saya menginjak-injak lantai agar suara itu hilang. Tetap tak bergeming.
Dalam puncak ketakutan, saya nedak ke luar kantor menuju pintu tempat suara berasal. Langkah seribu. Pokoknya bisa keluar dengan selamat. Hanya itu yang ada di dalam pikiran.
Dengan keringat dingin saya pergi meninggalkan kantor. Lupa mengunci pintu, jangan-jangan juga lupa menutup pintu luarnya.
Bukan tempat gelap, bukan tempat sepi, bukan juga rintik hujan. Suara dan bau bangkai menyengat datang juga ternyata. Yang jelas waktu itu memang malam hari dan sudah lewat tengah malam.
Semalaman saya tak bisa tidur. Alamat tai bisa bermain SSB lagi. Malam-malam sepi akan kembali menyelimuti. Ketakutan memang sebuah siksaan tanpa ada obatnya.
Keesokan harinya, begitu datang ke kantor tak satu patah kata pun terucap dar mulut saya. Jangan-jangan ketika saya cerita nanti akan terulang kisah ketika tiga orang yang terpaksa menghentikan lemburannya karena mendengar suara meja dan kursi terbanting itu, tak seorang pun akan percaya.
Namun rasa penasaran akan suara dan bau bangkai itu tetap melekat kuat di kepala saya. Padahal sudah pagi, padahal para guru dan sfat sudah hadir, mengapa bau itu masih ada?
Pertanyaan itu akhirnya terjawab ketika guru olahraga dan siswa yang sedang berolahraga pagi itu terpaksa mengambil bola volli yang masuk ke kolong ruang kantor. Kantor memang tidak terbuat dari beton. Bangunan hanya terdiri dari kayu ulin. Jadi masih ada kolong di bawahnya setinggi kira 40 cm.
Mereka ribut karena menemukan bangkai anak anjing dan induknya. Oh! Rupanya suara itu adalah suara anjing di bawah kolong. Dan bau itu adalah bau bangkai anak anjing.
Saya akhirnya mengelus dada. Untung tidak ada hantu yang menampakkan dirinya di sekolah ini. Pun begitu kita tidak pungkiri bahwa ada mahluk gaib di sekitar kita.