Di era pemerintah Jokowi dan Jusuf Kalla, kritik juga ramai berseliweran di media sosial dan media massa atas berbagai peristiwa politik maupun beragam kebijakan pemerintah seperti: penyusunan kabinet, konflik KPK vs POLRI, kenaikan harga BBM, danlainnya. Kritik-kritik yang hadir memang tidak sepenuhnya “tulus” sebagai kontrol pada pemerintah yang sedang berkuasa, melainkan tidak sedikit yang memiliki altar dan motif yang berbeda-beda.
Hasil pengamatan saya, setidaknya terdapat tiga jenis kritikus pemerintah saat ini. Pertama, jamaah Prabowo-Hatta yang fanatik. Sebagai pesaing Jokowi-Jusuf Kalla dalam Pemilihan Presiden kemarin, tidak aneh jika pendukung Prabowo-Hatta akan memberikan respon kritis atas setiap peristiwa politik serta kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Kritik dari jenis ini, sudah tentu, sah dan benar dalam sistem demokrasi. Yang kalah beroposisi dan menjalankan fungsi kontrol.
Kedua, politisi berjubah relawan Jokowi yang gagal mencicipi empuknya kursi kekuasaan, misalnya menteri, komisaris BUMN dan jabatan strategis lainnya. Kritikus dari jenis ini sesungguhnya politisi berkedok relawan karena bermotif kekuasaan. Mereka mendukung Jokowi hanya karena melihat arah angin dan peluang untuk menang besar. Kelompok ini mendukung Jokowi bukan dengan ketulusan misalnya karena Jokowi dipandang cakap untuk menjadi Presiden, melainkan karena memiliki kepentingan pribadi atau kelompok untuk “ndompleng” mencicipi kekuasaan. Karena harapan atau ambisi gagal, tak heran kemudian balik badan menjadi kritikus Jokowi sebagai reaksi bentuk kekecewaan. Tentu ini tak berlaku bagi semua relawan, tapi ada oknum-oknum yang menjadikan relawan sebagai daya tawar politik untuk mendapatkan kekuasaan.
Ketiga, intelektual yang menggunakan hati nurani. Jenis yang ini tentu berbeda motif dengan kedua jenis diatas. Ia mengkritik karena memang Jokowi salah dalam mengambil kebijakan atau ingkar janji, misalnya soal janji kabinet ramping, koalisi tanpa syarat, penguatan pemberantasan korupsi, tolak impor pangan dsb. Kritik dari kelompok intelektual tentu harus berdasarkan fakta empiris sehingga lontaran tersebut bersifat objektif, solutif, dan bermanfaat bagi perbaikan kedepan. Intelektual model ini sangat dibutuhkan bagi kontrol kekuasan negeri ini, bukan malah menjustifikasi dengan menyodorkan argumentasi dan teori meski itu salah atau kurang tepat. Kelompok ini juga bisa disebut sebagai kelompok counter issue sebagai pembanding dari wacana yang direproduksi oleh para intelektual yang diorder penguasa untuk menjustifikasi langkah dan kebijakan yang ditempuh.
Ketiga jenis kritikus Jokowi tersebut tentu tidak ada yang salah, sepanjang kritik tersebut bersifat membangun dan bermanfaat bagi publik. Kehadiran kritik, terlepas motif dan latar belakang yang beragam tetap dibutuhkan di era pemerintah saat ini. Oleh sebab itu, Jokowi beserta punggawanya tak boleh alergi dengan kritik, melainkan menjadikan kritik sebagai cambuk agar Nawacita tidak berubah sekadar "Nawacitra".