Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Artikel Utama

Inspirasi dari Kisah Direktur BUMN Termuda

12 Mei 2015   17:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:07 731 1

Bagi sebagian kalangan, perempuan selalu identik dengan urusan rumah tangga. Dapur, sumur, dan kasur, adalah tiga hal umum yang biasanya harus diurus perempuan dalam hidupnya.

Seiring mengalirnya jaman, paradigma terhadap perempuan kemudian bergeser. Ketelitian dan kemampuan analisis mendetail yang biasanya melekat pada perempuan membuat mereka muncul ke permukaan; menjadi manajer perusahaan, kepala pemerintahan, atau menduduki berbagai posisi tinggi lainnya.

Contoh nyata perubahan paradigma tersebut saya jumpai pada seorang perempuan muda bernama Lailly Prihatiningtyas. Saya mulai mengenalnya sejak 2011, saat itu perempuan yang biasa disapa dengan panggilan Mbak Tyas ini sedang berada di Belanda untuk menyelesaikan gelar masternya. Perjumpaan dengan gadis asal Jombang ini berawal tak sengaja di dunia maya. Sepucuk surat dikirim olehnya melalui surat elektronik untuk anak-anak muridku sewaktu bertugas di Papua.

Setahun berselang, saya bertatap muka dengan Mbak Tyas secara langsung pada gelaran Kelas Inspirasi Jakarta, sebuah event yang mempertemukan para profesional dengan anak-anak SD. Saya kemudian tergelitik dan bertanya-tanya, mengapa perjumpaan saya dengan Mbak Tyas selalu melalui gelanggang isu pendidikan? Apa yang membuatnya tertarik?

Rupanya latar belakang keluarganya sebagai pendidik membimbingnya untuk mau berkontribusi dalam aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan pendidikan. Tak heran pula mengapa sosok perempuan tangguh ini memiliki semangat yang tinggi merengkuh pendidikannya. Setelah menamatkan sekolahnya di STAN, Mbak Tyas melanjutkan sekolahnya di Universitas Indonesia sambil bekerja di Kementerian BUMN. Berikutnya study magisternya pun diperoleh melalui beasiswa di Tilburg University, sebuah institusi pendidikan yang sudah kondang sebagai pencetak intelektual yang berkualitas dalam bidang akuntansi.

Di balik kecerdasan akademisnya, ada hal yang menurut saya ‘aneh’ pada Mbak Tyas. Di sela-sela waktunya, Mbak Tyas sering menyempatkan diri menekuni hobinya; mendaki gunung. Padahal sebagian orang menganggap akuntansi dan mendaki gunung adalah hal yang cukup berseberangan.

Kabar tentang dirinya tiba-tiba mengemuka dan mengisi headline beberapa kanal berita. Akhir 2013, Mbak Tyas ditunjuk sebagai Direktur Utama (Dirut) salah satu BUMN. Dari berbagai pemberitaan, mayoritas mengangkat sudut yang paling menarik dengan menyoroti usianya. Saat ditunjuk kemudian terpilih sebagai Dirut, usia Mbak Tyas baru 28 tahun, dan baru pernah terjadi dalam sejarah perusahaan negara yang ada di Indonesia dipimpin oleh perempuan muda seusia Mbak Tyas.

Rumor pun beredar. Ada yang menebak bahwa Mbak Tyas adalah bagian dari keluarga Pak Dahlan Iskan (Menteri BUMN saat itu).  Saat dimintai konfirmasi tentang hal ini, dengan lugas Mbak Tyas menjawab, “Saya hanya ikut rapat seperti biasa, sebagai pegawai. Namun sewaktu membahas PT Taman Wisata Candi (PT TWC) Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko, Pak Dahlan tiba-tiba menunjuk saya untuk maju sebagai calon Direktur Utamanya.”

Kalau senioritas dijadikan indikator utama untuk menduduki pucuk pimpinan, Mbak Tyas mungkin belum bisa menjadi direktur utama di usia yang sangat muda. Namun kenyataannya, dengan lancar Mbak Tyas memenuhi segala persyaratan, hingga akhirnya lolos saat fit and proper test di hadapan DPR dan dilantik secara resmi sebagai Dirut PT TWC Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko.

Saya sendiri tidak heran ketika namanya muncul menjadi petinggi di BUMN. Secara akademis, dirinya tergolong sosok cerdas, pantas rasanya jika berada di pimpinan sebuah lembaga.

Mbak Tyas adalah tipikal pribadi dengan kemauan belajar yang sangat tinggi. Sejak kecil, Mbak Tyas sudah melahap berbagai bacaan. Hingga sekarang, Mbak Tyas masih saja menjadi penggemar buku. Bahkan Mbak Tyas sering heran sendiri karena kerap kalap saat singgah di toko buku. Awalnya mau beli buku apa, pulangnya malah belih buku apa saja, begitu pengakuan Mbak Tyas.

Selain senang membaca, kadang Mbak Tyas juga kerap kepo terhadap sesuatu yang tiba-tiba menyeruak di pikirannya. Rasa ingin tahunya sangat besar. Mungkin ini yang membuat Mbak Tyas kadang merasa “ngeyelan”, walaupun di sisi lain itu menunjukkan bahwa jiwa kritisnya memang tumbuh cepat.

Namun, memang pertanyaan besar yang membayangi terpilihnya Mbak Tyas sebagai Dirut adalah tentang jam terbangnya dalam memimpin sebuah organisasi. Selama terjun ke dunia kerja, memang Mbak Tyas belum pernah berada dalam jajaran 'top management'. Skeptisisme inilah yang harus dijawab Mbak Tyas dengan bekerja secara profesional dan menunjukkan bukti kinerja yang baik selama memimpin.

Menjadi pemimpin sebuah organisasi di usia semuda Mbak Tyas pastinya tidak seindah kata-kata mutiara dalam melakoninya, apalagi yang dipimpinnya adalah perusahaan plat merah.

Sebagai tantangan awal, Mbak Tyas harus pindah domisili ke Jogja karena kantor pusat dan lokasi unit PT TWC ada di Jogja dan Magelang. Mau tidak mau Mbak Tyas beradaptasi dengan lingkungan barunya.

“Mbak tinggal di rumah dinas?”, tanya saya.

Ndak, saya ngekosKan masih kaya mahasiswa”, serunya sambil tersenyum.

Mulanya saya kaget mendengar jawabannya. Aku hanya membatin, Dirut kok ngekos, semacam pencitraan.

Tapi ternyata kekagetan dan prasangka saya terjawab saat melihat langsung Mbak Tyas ngojek sewaktu ada keperluan pribadinya.

Selain masalah akomodasi dan transportasi, hal utama yang harus Mbak Tyas hadapi adalah bagaimana menyesuaikan diri saat berada di kantor. Budaya kantor yang ewuh-pekewuh, dan ritme kerja yang berbeda dengan Jakarta harus dihadapi Mbak Tyas sendirian di saat-saat awal menjadi Dirut. Beliau juga memaklumi dinamika institusi yang masih belum terbiasa dikomandoi oleh anak muda seperti dirinya.

Saat ditanya tentang konsep kepemimpinan, begini jawaban Mbak Tyas:

“Dalam konteks negara, pemimpin publik adalah seseorang yang diberi mandat oleh rakyat. Jika memahami pengertian dan konsepsi ‘mandat’ ini, maka pemimpin bukanlah yang memerintah, tetapi yang melayani negara dan seisinya, dengan segala komponennya. Pemimpin menjadi imam yang mengarahkan pemenuhan kesejahteraan rakyat, yang memimpin proses pelayanan yang dilakukan aparat kepada segenap golongan masyarakat.

Kemauan untuk mendengar dan mengerti, serta secara sadar mengakui bahwa seorang pemimpin bukanlah ndoro menjadi set of skill yang sangat dibutuhkan pemimpin jaman sekarang.

Hingga detik ini, saya sendiri masih terus belajar menempatkan diri sebagai pelayan, dan tetap berusaha untuk lebih banyak mendengar. Proses belajar kepemimpinan ini tidaklah mudah, namun bagi saya hal ini tetap menyenangkan karena bisa menjadi proses penempaan yang saya yakini sangat berguna bagi pembentukan karakter saya di masa mendatang.”

Baru saja menjabat beberapa bulan, Mbak Tyas sudah ditantang dengan kejadian luar biasa saat Gunung Kelud meletus di awal 2014. Bangunan purbakala yang telah mendapatkan label world heritage yang dikelolanya mendapat kiriman abu Gunung Kelud . Komplek percandian pun ditutup demi keamanan pengunjung dan kelestarian fisik candi. Bersama dengan seluruh staf, Mbak Tyas bekerjasama dengan relawan selama berhari-hari membersihkan kawasan Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun