Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Artikel Utama

Andai Ujian Nasional Adalah Petualangan

4 Mei 2012   13:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:43 425 3
[caption id="" align="aligncenter" width="648" caption="Keceriaan Siswa Kelas VI SDN Tarak, Distrik Karas, Fakfak, Papua Barat"] [/caption] Memang, ujian nasional mungkin digunakan oleh departemen pendidikan sebagai parameter keterdidikan bangsa ini. Dengan model ujian nasional yang sudah di-standarisasi-kan nilai capaian minimalnya, dengan mudah kita akan melihat bagaimana kinerja guru, perkembangan kualitas pendidikan, dan kemampuan siswa baik di daerah kecil, maupun di kota-kota besar.

Menurutku, fenomena ujian nasional cenderung mengalami ketidaksesuaian dengan tujuan dasarnya jika memang tujuannya seperti yang aku tuliskan di paragraf di atas. Ujian nasional sekarang dianggap sebagai pertaruhan harga diri sebuah sekolah, sebuah gugus, dan sebuah daerah. Seorang bupati atau gubernur akan merasa sangat tercoreng jika daerahnya banyak yang tidak lulus. Sehingga, dengan harapan ingin menunjukkan prestasi pendidikan di daerahnya, segala cara dapat ditempuh.

Menurut sudut pandang yang kulihat, selama berlangsungnya prosesi ujian nasional yang paling menyedihkan sebenarnya ada di level terbawah, yaitu siswa. Ujian nasional adalah momok paling menakutkan bagi anak-anak. Ibaratnya, sudah gemetar sebelum memegang senapan, apalagi saat maju berperang. Perasaan was-was dan cemas, ketakutan akan buruknya nilai yang didapat, apalagi sampai tidak lulus, betul-betul mengekang pikiran siswa, entah di pusat kota besar, maupun di pelosok negeri ini.

Inilah fenomena yang kualami sekarang. Aku, yang hanya guru bantu, dan mengikat kontrak hanya setahun saja, dengan serta merta dipasrahi mengampu kelas 6 oleh kepala sekolah tempatku bertugas. Entah ini cobaan atau tantangan, tapi ya sudah, aku sanggupi.

Di awal-awal kesadaranku bahwa sekarang aku berhadapan dengan pertaruhan harga diri seorang anak, sebuah sekolah, dan sebuah daerah, aku cukup getir menghadapi kenyataan ini. Aku seolah bertanggungjawab atas “kinerja” sekolah anak-anak selama 6 tahun. Maka semboyan yang aku tanamkan adalah setahun mengajar, bertanggungjawab atas 6 tahun sekolahnya anak-anak.

Kelas 6 yang aku tangani termasuk kelas yang cukup cerdas. Namun, kemampuan pasukan kecilku ini belum sepenuhnya merata, masih ada beberapa anak yang perlu dipacu kompetensinya agar bisa memahami nateri yang disampaikan, dan tentunya mengejar kelulusan.

Contohnya adalah materi pembagian, materi inilah yang mungkin paling susah dipahami anak-anakku, padahal bagian dari pelajaran kelas 4. Baiklah, ungkapan kepsek yang menyanjung bahwa anak-anak kelas 5 dan 6 yang kemampuannya lebih bagus karena hasil didikannya ternyata hanya isapan jempol saat aku menghadapi 1-2 anak kelas 6 yang tak bisa membagi bilangan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun