Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Artikel Utama

Papua Menyala

30 November 2011   01:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:02 777 6
Mulai tahun ajaran ini, kebiasaan anak-anak yang ada di Pulau Tarak, Fakfak, agak berbeda. Hampir setiap hari mereka disibukkan oleh pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Memang, kedatanganku sebagai guru yang membantu satu-satunya guru yang ada di sekolah ini cukup berat kurasakan jika harus berdiri di depan kelas sendirian, untuk itulah aku selalu memacu mereka dengan pekerjaan rumah. Semasa pelatihan, praktek pengalaman mengajar yang kulakukan hanya menangani satu kelas, itupun bergantian. Tetapi dari berbagai ahli dan staf Indonesia Mengajar berkali-kali menyatakan, bahwa tidak menutup kemungkinan kami akan menangani lebih dari satu kelas, bahkan mungkin satu sekolah.

Kenyataan itu kualami sekarang, aku mengampu 3 rombongan belajar, dalam 1 ruang kelas. Dari pada mengeluh atas ketimpangan kebijakan yang dilakukan pemerintah di bidang pendidikan, memang sebaiknya kita mengeluarkan daya sekecil apapun untuk berkarya, termasuk mengajar anak-anak di Papua.

Kawan, pasukan kecilku di Pulau Tarak sangat antusias dalam belajar. Walaupun diliputi keterbatasan, rasanya semangatku terpompa untuk terus larut bersama mereka saat kegiatan belajar dan mengajar.

“Pak guru kasih tugas Bahasa Indonesia, tulislah surat ucapan terima kasih kepada kakak-kakak yang mengirimkan buku untuk kalian. Malam ini juga PR harus dikumpulkan. Bisa?”, aku mulai memberi komando ke mereka.

“Bisaaaaaaaaaaaaaaaaaa!”, sahut pasukanku.

PR yang kuberikan kepada anak-anak tak lain karena kami telah menerima beberapa buku yang telah dikirim oleh beberapa rekan. Dengan hadirnya buku-buku penunjang pengetahuan, aku ingin memangkas ketidakadilan karena di sekolah yang beranggotakan 107 murid ini tidak mendapat guru tambahan.

Jiwa-jiwa kecil para pelaut ini pasti bisa! Aku yakin mereka bisa! Mereka pasti bisa melawan segala ombak atau tantangan yang menghalangi cita-cita mereka! Aku yakin dengan suntikan aneka buku akan memompa semangat untuk belajar dan terus optimis untuk mengejar mimpi-mimpi mereka. Buku-buku yang datang akan membawa angin segar untuk mengembangkan layar pengetahuan para calon punggawa Papua seperti mereka.

Malam itu, bulan cukup terang di angkasa. Seperti biasa aku beranjak ke pantai untuk menatap langit dan mengabadikannya. Tetapi tiba-tiba suara-suara kecil mulai terdengar di belakangku. “Pak guru, katong di foto juga kah, jangan bulan dan bintang saja”, celetuk Farida yang ternyata membawa Saban, Diana, Kartini, Rahim, Muhamad, dan beberapa teman lainnya.

Weh, anak-anak karibia ini bikin apa? Siapa yang kasih tahu pak guru ada di sini?” tanyaku sambil mengelus kepala mereka. “Katong pigi ke rumah pak guru, tapi tara da, baru mama bilang pak guru di laut, jadi katong pi ke sini”, seru Rahim.

“Kalian mau difoto?”, tanyaku penasaran. “Iyaaaaaaaaaaaaa….” jawab pasukanku. “Ko Berdiri sudah, sambil melihat bulan e ?” aku mulai mengatur formasi.

Sambil berfoto, anak-anak ini kudengar bercakap-cakap. “Eh, bintang di langit itu bagus e?”, Farida membuka percakapan. “Kitong besok mau ke sana!”, suara Rahim mulai mencuat. Sekali lagi aku tak tahan ingin memasuki dunia mereka, “Kamu orang lihat e, bintang itu sebenarnya jauh… tapi bisa kelihatan sinarnya. Orang yang punya banyak ilmu dan amal juga begitu, sekalipun jauh bahkan orangnya sudah tidak ada, jasanya akan tetap ada. Nah, kalian tahu tidak, ada orang yang pernah pergi ke bulan?” Aku mulai memancing pikiran mereka.

“Ada pak guru, dong kibar bendera Amerika”, kata Muhammad Patur.

“Tepat! Namanya Neil Amstrong. Dorang itu memang orang Amerika. Lalu, kalau kalian ada yang pergi ke bulan, mau kibar bendera apa?”, tanyaku. “Merah putiiiih!”, hampir semua anak menjawab.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun