Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Sketsa Merapi (2): dari "Lediding sampai Loretandalan"

21 Februari 2011   09:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:24 158 0
Tidak hanya satu dua orang yang menanyaiku, bahkan teman akrabku juga heran, “Apa kamu ga bosan mendampingi warga korban erupsi merapi? Apa belum selesai masa tanggap daruratnya? Terus kamu dapat bayaran berapa di sana? Bla bla bla...”. Dan saya sudah fasih ketika menjawabnya, “Kalau saya bosan, apalagi pengungsinya? Apa mereka juga ga bosan hidup di pengungsian? Pastinya juga bosan, makanya saya tetap di sana agar tidak membosankan. Saya memang tidak digaji dengan uang, tapi ada yang lebih berharga dari uang yang saya dapatkan." Kalau anda sudah membaca catatan sederhana saya sebelumnya (Sketsa merapi (1): Yang saya dapatkan selama menjadi relawan) mungkin setidaknya anda tahu kenapa saya masih bertahan bersama warga. Selain hal-hal yang saya dapatkan dalam catatan pertama tadi, saya juga sering mendapat hiburan dalam beberapa momen penting bersama sebagian warga. Salah satu contohnya adalah cerita seorang balita bernama Bima. Bocah ini memang semacam bintang di barak pengungsian. Tubuhnya gempal, mata besar, kepala agak kotak, dan yang spesial adalah alisnya yang melengkung ke atas (jangan bayangkan tokoh picolo dalam serial Dragon Ball ya). Di kelompok yang seumurannya Bima memang tergolong anak nakal. Pernah suatu pagi dia berkata “Pak, Paaak, mataku ora urip siji—Pak, mataku ga hidup satu”, saat dia sakit mata. Pernah juga waktu saya mau mengganti galon di barak malam-malam, dia masih menonton tv, padahal ibunya sudah terlelap. Lalu dia malah mengikutiku dan akhirnya minta naik Artco berputar-putar barak pengungsian tengah malam. Suatu hari si jagoan cilik ini menangis cukup kencang, ibunya sampai angkat tangkat menuruti apa maunya. Dipanggillah sang ayah. Ayahnya pun tak mampu membuatnya terdiam. “Paaaak-e...njaluk lediding, njaluk ledidiiiiing”. Ayahnya sampai putus asa, apakah itu lediding? Usut punya usut, lediding adalah minuman bermerek “jelly drink”. Ah Bima...Bima... Selain Bima, genk komplotannya adalah Fatah. Sama, dia juga balita, dan sama nakalnya. Dia lah aktor yang membuat Sheila, balita juga, menangis sekencang-kencangnya waktu kita trauma healing di barak SMK N 1 Cangkringan. Suatu hari hujan turun cukup deras. Dengan santainya, dia membuka baju dan celana, lalu berlari mengelilingi barak sambil bermain air hujan. Kata ibunya kebiasaannya dulu di rumah memang seperti itu kalau hujan. Pernah juga dia bermain bola, saat bola datang ditendangnya dengan kencang, bolanya ga kena, tapi dia terjatuh dengan bunyi cukup keras. Buuumm. Belum sempat saya membantunya, takut kalau menangis, eh dia malah langsung berdiri sambil ngacir tertawa terpingkal-pingkal. Haduuuh. Levi, seumuran dengan dua aktivis tadi. Tapi yang satu ini agak cengeng. Ketika melihat sesuatu yang baru, pasti dia mendekat lalu memintanya. Kalau tak boleh? Menangis. Yang paling khas dari Levi adalah suaranya yang tidak jelas. Mirip kasus lediding-nya Bima, tapi ini lebih parah. “Mahaipaukmi” apa artinya coba? Pembahasannya adalah sebagai berikut:

Mah-Aip-Auk-Mi, sepertinya kalimat tersebut terdiri dari empat kata. Mah = Mas, Aip = Arif, Auk = Njaluk, Mi = Mimi. “Mas Arif njaluk mimi”, atau dalam Bahasa Indonesia “Mas Arif, saya minta minum”.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun