Sejak pertengahan 2011 sampai menjelang akhir 2013, saya diberi kesempatan untuk mengunjungi berbagai tempat di Indonesia. Tempat yang dikunjungi secara geografis sangat beranekarupa, mulai dari kepulauan, pegunungan, hamparan pantai, rawa-rawa, perkotaan, sampai di tengah pegunungan.
Kelihatannya sih menyenangkan bisa jalan-jalan gratis dan diberi uang saku. Tapi, aktivitas yang saya lakukan bukan sekedar jalan-jalan, saya diberi tugas untuk menyaksikan, mengimplementasikan, dan merasakan kegiatan community development yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan. Beberapa perusahaan tersebut terdiri dari perusahaan manufaktur, migas, operator alat berat, keuangan, sampai perkebunan yang sebagian besar site atau operasional perusahaannya berada di luar Pulau Jawa.
Community development atau biasanya disebut CSR seolah dijadikan tool dalam menjembatani hubungan antara masyarakat dan perusahaan. Program-program teknisnya secara umum masih seputar pendidikan, kesehatan, lingkungan, pemberdayaan ekonomi, dan peningkatan kapasitas sebuah komunitas atau masyarakat.
Selama saya jalan-jalan, saya juga menyaksikan bagaimana program direncanakan dari tahapan assessment, identifikasi masalah, inventarisir aktor, sampai dengan perumusan program. Kemudian pada tahap pelaksanaan, mulai dari implementasi program day to day hingga monthly report dan annual report yang memang merepotkan :D
Biasanya di tengah pelaksanaan program akan dilakukan monitoring dan menjelang atau sesudah program berakhir akan dievaluasi dengan beberapa parameter ataupun metodologi. Begitu seterusnya siklus yang dilakukan dalam running program community development yang saya saksikan.
Beberapa hal yang saya temukan cukup menarik untuk saya tuliskan di sini. Seperti beberapa perusahaan yang saya lihat masih melaksanakan program yang bersifat top-down. Biasanya hal ini dipicu oleh kesuksesan sebuah program yang telah dilaksanakan sebelumnya di daerah lain. Padahal, menurut saya pendekatan program yang dilakukan relatif susah untuk di-generalisasi. Tidak ada program community development yang saklek dan mutlak. Artinya, sebuah program yang sukses dilaksanakan di satu titik, belum tentu berhasil di lokasi lainnya. Hal ini terjadi karena cukup banyak variabel yang menentukan indikator keberhasilan sebuah program di suatu tempat.
Salah satu variabel yang secara kasat mata berpengaruh adalah karakteristik wilayah dan keadaan sosial Indonesia yang sangat bervariasi. Misalnya karakteristik masyarakat pesisir tidak sama persis dengan masyarakat pegunungan. Adat di Jawa mungkin berbeda dengan tradisi di Sulawesi.
Jika perusahaan mengejar manisnya hasil program community development agar hubungan masyarakat dan perusahaan menjadi harmonis, tentu perusahaan juga sebaiknya rela menyediakan waktu untuk repot-repot bertemu dengan seluruh stakeholder, capek dalam memodifikasi program yang akan diimplementasi, serta memiliki proyeksi untuk meluangkan “dana promosi” dalam melakukan sosialisasi program. Anggap saja beberapa hal tersebut sebagai investasi awal yang nantinya akan menghasilkan ‘social-profit’ di masa mendatang.
Sejauh pengamatan saya, pendekatan yang mungkin efektif adalah pendekatan live in, ada kepanjangan tangan dari perusahaan yang tinggal dan hidup bersama masyarakat. Jika yang dilakukan hanya sekedar kunjungan, jangan kaget jika akan muncul gap yang cukup besar antara perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan hasil program.
Saya jadi teringat saat suatu malam saya berdiskusi dengan Ibu Tri Mumpuni dan Pak Iskandar, sepasang aktivis community development di dunia energi dan bisnis di desa-desa terpencil di Indonesia.
“Apa yang harus dilakukan sebelum kita melaksanakan program community development?”, tanyaku.
“Hiduplah bersama masyarakat. Berinteraksilah dan rasakan apa yang dirasakan masyarakat. Minimal 3 bulan untuk assessment. Caranya? Just shut up and listen.”, kata Pak Iskandar.
Pak Iskandar dan Bu Tri Mumpuni menekankan bahwa 3 bulan adalah rerata waktu, tidak semua tempat selesai dalam 3 bulan untuk assessment. Sekali lagi tergantung faktor-faktor geografis, sosiologis, maupun determinan lainnya.
Program yang dilakukan oleh perusahaan juga bukan sekedar memenuhi keinginan masyarakat, namun sebaiknya mampu melihat kebutuhan masyarakat, dan bisa dikembangkan dalam jangka panjang.
Selanjutnya, “sustainability” seolah menjadi magical word di dunia community development yang dilakukan oleh perusahaan. Perusahaan berharap aktivitas community development atau CSR yang dilakukan tidak untuk selamanya, namun suatu saat warga atau daerah yang didampingi mampu untuk mandiri.
“Di suatu titik, minimal 3-5 tahun untuk mencapai tahap sustainable, itupun tidak bisa di-generalisir. Ada daerah yang kurang dari 3 tahun sudah sustainable, ada juga yang lebih dari 5 tahun masih perlu pendampingan lanjutan”, ujar Peter, seorang Senior Advisor di sebuah NGO asal Jerman.
Salah satu senior saya yang bekerja di NGO internasional juga mengungkapkan, “Di tempat kami, program bisa dilaksanakan 5 sampai 10 tahun. Tergantung dari masyarakat yang kita dampingi”.
“10 tahun? Apakah lembaga atau perusahaan donor tidak keberatan?”, tanyaku penasaran.
“Di awal, kami membuat kesepakatan bahwa program yang akan dilaksanakan harus mencapai level sustainable, bukan berdasarkan waktu.”, kata Mas Senior yang membidangi pendampingan keluarga.
Dalam implementasi program community development, sangat sering muncul isu-isu yang dianggap bisa mengganggu jalannya program. Mulai dari hal-hal nyentrik seperti kehadiran warga yang berkurang akibat musim panen, rasa iri dari daerah atau aktor yang tidak dijadikan sasaran program, perubahan peta politik lokal yang berpengaruh ke level individu penerima program, dan seabrek isu yang mungkin sangat bervariasi. Di sinilah pentingnya orang-orang pelaksana community development yang luwes dan tangguh dalam mengelola dan merespon berbagai isu tersebut. Karena yang kita hadapi adalah manusia, bukan mesin, jadi perlakuannya juga dengan unsur humanis, bukan teknologis.
Hal menarik lainnya yang saya temui adalah masyarakat Indonesia yang cenderung menyukai kegiatan seremonial. Saat pembukaan, di sela-sela pelaksanaan program, atau pada saat penutupan biasanya diselenggarakan sebuah event, entah upacara, lomba, kegiatan simbolik, dan lain sebagainya.
Kegiatan ini seolah menjadi “gong” program agar lebih greget maupun untuk menarik antusiasme warga yang menjadi sasaran program. Di sisi lain, beberapa perusahaan juga menggunakan kegiatan-kegiatan seremonial tersebut sebagai bahan publikasi di media yang nantinya menjadi bukti bahwa perusahaan telah berkontribusi kepada masyarakat. Sah saja kegiatan tersebut dilakukan, yang terpenting adalah program yang dilakukan memang telah berdampak positif bagi masyarakat, sehingga hadirnya perusahaan menjadi trigger agar seluruh stakeholder mampu berkembang menuju kesejahteraan yang diimpikan.
Sekian dulu curhatan saya, mari lanjutkan perjalanan :D