Keterbukaan informasi yang difasilitasi oleh internet telah membawa banyak perubahan di berbagai lini kehidupan, tak terkecuali pariwisata. Jika dahulu orang tahu tentang sebuah destinasi wisata dari televisi, radio, majalah, dan surat kabar, maka di era sekarang dengan cepat sebuah destinasi wisata akan tersebar keindahannya melalui blog, portal online, maupun social media.
Kemudahan akses internet berikutnya dijadikan media promosi destinasi wisata. Tren terbaru menunjukkan, segala sesuatu yang berhubungan dengan pariwisata seakan di-online-kan, mulai dari info seputar destinasi, pilihan berbagai akomodasi, hingga transportasi yang akan digunakan selama berwisata mudah sekali diakses melalui internet.
Dari sudut pandang yang saya sebutkan di atas, perubahan era online ini jelas sangat berpengaruh bagi dunia pariwisata. Pengaruh tersebut juga biasanya selalu mengarah kepada hal-hal yang berkaitan dengan urusan ekonomi. Tak salah memang, karena ekonomi sering jadi “kembang” yang melatarbelakangi sebuah kebijakan, termasuk pariwisata. Namun seringkali kita melupakan “duri” di balik kembang-kembang kebijakan yang selalu tampak indah. Dalam pariwisata khususnya, seringkali target 20 juta wisatawan pada 2019 selalu dikumandangkan, tetapi seolah mengecilkan dampak ekologi, usaha konservasi, serta perubahan struktur sosial masyarakat yang sering menjaditrade-offakibatmassive-nya pariwisata.
Saya melihat bahwa perkembangan penggunaan teknologi informasi sebagai bagian dari infrastruktur pariwisata yang cepat relatif belum diimbangi dengan cepatnya peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar destinasi wisata.
Memang kalau berpikir ideal, promosi yang intens akan menambah jumlah kunjungan wisatawan, berikutnya akan terjadimultiplier effectdi berbagai sektor dan ujungnya menggerakkan perekonomian di suatu destinasi wisata.
Tetapi, jika hal tersebut sudah terjadi, seringkali efek samping sebagai dampak pariwisata yang massive juga terjadi. Lalu apakah aktivitas online mampu menyelesaikan dampak-dampak tersebut?
Maka kepada Kementerian Pariwisata sebagai regulator (bukan hanya promotor), kebijakan serbaonlineyang dikumandangkan sebaiknya diimbangi dengan tindakan nyata untuk membuat masyarakat menjadi subyek (pelaku) kepariwisataan. Mungkin penyebutan ‘obyek wisata’ yang akhirnya membuat sebuah tempat selamanya akan menjadi ‘obyek’ perlu direvisi. Peran Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) perlu dimaksimalkan sebagai garda depan dalam menempatkan masyarakat sebagi subyek pariwisata.
Tak kalah penting, lakukansocial mappingterlebih dahulu sebelum promosi wisata dilakukan. Melalui kegiatan ini, hal-hal yang bersifatindigenous(khas) yang sebenarnya bisa menjadi daya tarik wisata tetap terjaga melalui keterlibatan masyarakat. Karena tak jarang, gara-gara suatu tempat ramai dikunjungi wisatawan, masyarakat berpindah ke mata pencaharian yang bukan menjadi keahliannya.
Tak perlu jauh-jauh, contoh yang paling nyata adalah masyarakat di sekitar Candi Borobudur, Magelang. Struktur sosial masyarakat sudah banyak berubah di sana. Mereka yang pada mulanya adalah petani, kini menjadi penyedia jasa (meskipun bukan keahlian mereka). Padahal, konsep agrowisata bisa menjadi atraksi tersendiri sebagai alternatif saat wisatawan berkunjung ke Candi Borobudur.
Di satu sisi, “migrasi profesi” yang terjadi memang menguntungkan masyarakat karena dari pengembangan pariwisata berarti telah bermanfaat bagi masyarakat dari sisi ekonomi. Tetapi di sisi lain, perubahan aktivitas masyarakat sebagai dampak ramainya pariwisata dikhawatirkan akan mengganggu sektor lainnya. Saya tak bisa membayangkan jika semua petani, pekebun, peternak sapi, dan nelayan di Indonesia berpindah profesi menjadi penyedia jasa di sektor pariwisata. Negeri kita ramai dikunjungi wisatawan, tetapi beras, gula, teh, ikan, garam, dan segala kebutuhan pokok semuanya diimpor dari luar negeri.
Berikutnya, Kementerian Pariwisata memang sudah berkali-kali mengajak netizen (blogger, buzzer, dan sebagainya) untuk mempromosikan sebuah destinasi wisata. Tetapi yang belum saya lihat adalah ajakan kepada para pegiat komunitas jalan-jalan yang tersebar di berbagai forum online untuk beramai-ramai turun dari dunia maya dan beraksi nyata di sekitar destinasi wisata bersama-sama.
Banyak sekali aktivitas yang bisa dilakukan, termasuk bagaimana membuat sinkron pariwisata dengan ekologi, dan berjalan beriringan dengan usaha konservasi. Selain bisa dijadikan sebagai media kopdar untuk para netizen, aktivitas bersama ini juga bisa digunakan untuk mempopulerkan kegiatan yang bermanfaat untuk masyarakat selama berwisata.
Saya sendiri sudah membuktikan bahwa ikatan emosional dengan masyarakat di sekitar destinasi wisata membuat kegiatan berwisata menjadi lebih berkesan, bahkan ketagihan.