Sebagai santri yang ingin berkreasi, beberapa teman berinisiatif membuat media yang mencitrakan Islam yang ramah kepada masyarakat. Saat itu citra pesantren sebagai sarang teroris sangat kental dan kentara sekali.
Karena hanya punya satu komputer dan belum punya meja, kami menyetting buletin kecil-kecilan di lantai dan dicetak terbatas di Surabaya dan sekitarnya. Pertama kali kami mencetak 500 eksemplar, itupun masih bingung mencari percetakan.
Buletin tidak kami jual, tetapi ambil dan bayar seikhlasnya. Tetapi sistem ini ternyata manjur dan disukai para pembaca. Dan kami juga tidak rugi untuk naik cetak kembali. Media ini kemudian kami cetak menjadi 1000 eksemplar dengan ukuran yang lebih besar.
Pada tahun ketiga kami mengganti nama media ini dari buletin menjadi majalah. Pembacanya semakin banyak, dan kami bisa membeli komputer baru lagi. Kami mencetak sekitar 2500 eksemplar. Saat itu juga sudah permintaan dari Singapura.
Pada tahun ke lima, permintaan datang dari Malaysia dan Makkah. Mereka mayoritas adalah para pegawai yang pernah pernah mengaji di tempat kami. Saat itu jumlah eksemplar cetakan kami menjadi 5000. Pembaca sudah merata hampir seluruh Indonesia melalui jaringan santri yang tersebar.
Setiap cetakan, uang yang terkumpul kami gunakan untuk mencetak lagi dan apabila ada sisa kami gunakan untuk membantu fakir miskin, anak yatim dan bea siswa sekolah anak-anak yang tidak mampu.
Tahun ketuju, kami sudah mencetak 7000 eksemplar. Pembacanya makin luas di kalangan pekerja kantor dan pabrik-pabrik. Kali ini dari Jepang juga meminta kiriman. Mereka juga orang Indonesia yang bekerja di sana.
Pada tahun ke 9 saat ini, kami kru redaksi sudah menggunakan meja dengan 5 komputer. Permintaan pengiriman juga datang dari Amerika. Kami mencetak sekitar 12.000 eksemplar lebih setiap bulan dengan pemasukan fluktuatif mulai 65-80 perbulan. Dengan biaya cetak sekitar 45 Juta, sisanya untuk operasional, kaum dluafa’ dan beasiswa.
Sampai saat ini majalah tetap tidak dijual, menggunakan sistem lama yaitu mengambil dan memberi seikhlasnya. Bahkan bagi yang suka membaca tetapi tidak punya biaya, kami memberinya secara cuma-cuma. Namun, kami bersyukur masih bisa terus eksis dalam kancah persaingan media walaupun dalam lingkup kecil dan bisa membantu mereka yang tidak mampu.
Ya, semua berawal dari kantor tanpa meja.
Salam Cinta…