Langit sore di SMA Antariksa selalu tampak sama jingga keemasan yang perlahan memudar. Membawa ketenangan bagi semua orang, tetapi, tidak bagi seorang gadis SMA yang bernama Sachi Kawami. Langit yang memudar itu justru mencerminkan kekosongan yang ia rasakan, "Dimana letak senyumku yang dulu itu?Dulu, setiap detik penuh dengan keceriaan dan canda tawa membuat hangat bagi semua orang. Kini, menjadi pudar saat waktu mulai berjalan, Kenapa hidup ku sulit dibanding dulu", batin Sachi dengan wajah kekecewaan didalam dirinya, dibalik tumpukan buku-buku pelajaran dan angka-angka ujian yang tidak pernah memuaskan, Sachi merasakan tekanan yang menghimpitnya, ujian kelulusan sudah semakin dekat, dan setiap ia mengerjakan ulangan harian rasanya seperti mencoba melukis diatas kanvas yang kosong dengan kuas yang patah, dan setiap hari, beban semakin berat seakan tak memberinya ruang untuk bernafas.
    Sachi menggeleng-gelengkan kepala dan berkata "Hidup ini memang berat, tetapi, tak seharusnya aku mengeluh tanpa tujuan seperti ini, Sebaiknya aku pulang kerumahku." Sachi pulang dengan wajah masam, dengan tas yang berisi buku-buku pelajaran dan kertas ulangan di tangan kanannya. Lembaran kertas ulangan Sachi tertiup angin. Tak sengaja terbang ke hadapan salah satu wajah temannya yang bernama Senna Elysia "Apaan nih,kertas?" Temannya yang bernama Yumeko Emi berkata "Eh, liat deh! Nilai Sachi cuman 45," "Hahaha,Sachi! Gimana sih?"ujar Senna sambil tertawa. "Udah belajar? Tapi masih segitu? Sachi-sachi!"ujar Yumeko. Sachi pun menarik nafas dalam-dalam dan berkata "Aku sudah berusaha, Guys! Kadang hasilnya emang nggak sesuai harapan," Senna berkata "Tapi semua orang bisa mendapatkan nilai yang baik, Sachi!masa cuman kamu doang yang dapat nilai rendah sih?itu memalukan sekali!"
    Yumeko berkata lagi "Kami semua kecewa padamu Sachi. Kenapa kau seperti orang bodoh begini sih!" Wajah Sachi semakin merah dengan suara tegasnya berkata "Dengar! Aku capek  mendengar semua ejekan dan kekecewaan kalian. Aku tau nilaiku jelek. Aku kecewa dengan diriku sendiri! Aku butuh dukungan bukan ejekan!" Sachi pun berlari sejauh mungkin dari teman-temannya.
    Terlihat ibu sachi yang bernama Selin Ashley. sedang menunggu kedatangan putrinya, Sachi pun menghampiri ibunya, dengan keringat dingin. Ibunya dengan nada dingin berkata, "Mana kertas ulangan mu!sini berikan!" "Iya Ibu,ini." ujar Sachi dengan penuh kekhawatiran. "Nilai Kamu cuman 45, Sachi?Ini memalukan sekali!" ujar sang Ibu dengan marah. Sachi menjawab "Aku sudah berusaha Bu ..." Ibunya menjawab "Berusaha?Itu tidak ada artinya, lihat teman-temanmu, mereka mendapatkan nilai yang tinggi. Apa kau mau jadi yang terburuk dari mereka?"                                                                Â
    Sachi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata "Setiap orang punya cara belajarnya sendiri Bu, Aku telah berjuang mati-matian hanya karna semua ini. Bu!" Ibunya mengangkat suaranya "cara belajar? Kau  berpura-pura berjuang seperti itu! Katakan saja itu hanya alasan untuk kemalasan mu!" Sachi berkata lagi "Sungguh Bu ..." "aku tidak malas. Bu. Aku hanya butuh cinta dan dukungan dari mu!"
Ibunya dengan raut kesal berkata "Dukunganku?" "Cinta dariku? Dari anak yang selalu gagal ini! Hey, dengar ya, Nak! Dukungan maupun cinta tak akan membantumu. Jika Kamu tidak bisa mengubah dirimu itu, Siap-siap hidup dalam kegagalan!Aku tunggu perkembangan mu, Nak!" Sachi hanya terdiam. Sang Ibu berkata lagi  "Sana! Masuk kedalam kamar mu,"
    Semua ekpetasi orang-orang di sekitarnya. Teman-temannya, yang seakan hidup tanpa beban. Orang tuanya yang terus berharap lebih, nilai sempurna, prestasi dan masa depan yang germilang. Setiap harapan yang di bebankan padanya menjadi rantai yang mengikat hati dan pikirannya, menggerogoti rasa percaya dirinya.
    Sachi menatap dirinya  di depan sebuah cermin besar di kamarnya dan berkata "Setiap ekspetasi-ekspetasi mereka seolah-olah menjadi beban yang memikul diriku," Sosok yang memandang cermin itu tampak kelelahan. bukan karena fisik, tetapi karena jiwanya lelah berjuang tanpa henti, tanpa arah yang jelas "Kau bisa" "Kau kuat, Tetapi di dalam hatiku hanya ada kehampaan," ujar Sachi degan tatapan kosong di cerminnya. di dalam halusinasinya seolah-olah bayangan  cermin itu, berkata "Mereka melihat sesuatu dari mu. Lantas mengapa kau tak bahagia?" Sachi menjawab perkatan cermin tersebut "Aku pikir satu-satunya jalan untuk mencapai kebahagiaan  adalah dengan cara memenuhi ekspetasi orang-orang. Tetapi semakin aku mencapai kebahagiaan itu, justru aku merasa semakin jauh dari kata kebahagiaan,"  Cermin itu hanya terdiam sejenak, Sachi pun melanjutkan perkataannya "Aku iri dengan mereka. Kenapa aku tak bisa seperti mereka?kenapa aku selalu  merasa tertinggal?"
Â
    Cermin itu menjawab pertanyaan sachi tersebut "Aku tau itu, Tetapi kau kan, telah berusaha!" "berusaha?mereka bilang aku nggak berusaha! Padahal setengah mati aku berjuang seperti ini, hampir jatuh rasanya tau! Apa belum cukup buat mu?" Cermin itu berkata "Sudahlah perkataan orang-orang memang jahat!Teta---"ucapan sang cermin itu dipotong oleh Sachi lalu berkata "Andai saja aku bisa memilih, aku juga tak mau berada di tempat seperti ini, yang ku ingin kan hanya melayang jauh ke saturnus, tempat dimana jiwaku mungkin akhirnya merasa  bebas, pastinya tak akan ada kesukaran yang menghampiriku setiap saat!"
"Gadis, Kau memang selalu benar! Tetapi ketahuilah ini masih di dunia nyata, aku yakin kau akan mendapatkan jawaban dari sulitnya kehidupanmu, jadi, bersemangatlah wahai Gadis cantik!" ucap kata-kata terakhir dari cermin tersebut. Cermin itu kembali lagi seperti semula .
    Pada suatu sore, setelah merasa tak mampu lagi menanggung tekanan, Sachi memutuskan untuk keluar dari rutinitasnya sejenak. Sachi berjalan tanpa tujuan di taman yang sepi. Berharap menemukan  sesuatu yang bisa memberinya ketenangan, Sachi merasa ada yang berbeda saat ia melangkah di taman. Udara seolah membawa aroma nostalgia, seperti ingatan-ingatan yang melintas dari masa yang jauh. Angin menyapa lembut, membawa  suara-suara yang tidak biasa, seakan-akan taman itu bercerita. Langkah kakinya tak terasa membawanya semakin jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota. Tiba-tiba, sekelilingnya berubah. Pohon-pohon yang tadinya hijau segar perlahan menjadi pepohonan tua, besar, dan kokoh. Suara mesin-mesin modern menghilang, digantikan oleh denting palu dan suara alat-alat sederhana. Sachi tak menyadari, bahwa ia telah memasuki dunia lain---dunia yang seakan ditarik dari masa silam, dikelilingi oleh suara-suara samar, seperti bisikan dari masa lalu. Zaman ketika kerja keras adalah satu-satunya mata uang untuk bertahan hidup.
    Sachi melihat sekelilingnya dengan rasa kagum bercampur heran. Tidak ada suara dari kehidupan modern yang biasa ia dengar---tidak ada deru kendaraan, tidak ada obrolan manusia. Yang ada hanyalah suara alam, ritmis dan damai. Namun, suasana ini bukanlah sekadar hening. Seakan-akan dunia ini memiliki jiwa, sebuah dunia yang berbicara melalui ketenangannya, penuh dengan cerita-cerita tentang perjuangan yang terpendam di dalam setiap hembusan angin dan gemerisik dedaunan.
    Di sana, ia melihat seorang pria muda dengan wajah keras dan tangan yang penuh luka, tengah menumbuk padi di bawah terik matahari. Setiap hentakan yang ia lakukan tampak penuh dengan kesungguhan, seolah padi-padi itu adalah bagian dari hidupnya yang harus ia perjuangkan. Mata pria itu tajam, namun di balik sorotnya yang keras, ada ketulusan yang dalam, sebuah dedikasi untuk memberi makan keluarganya, untuk membuat hidup mereka tidak kelaparan. Sachi bisa merasakan betapa besar pengorbanan pria itu, bahkan ketika ia tahu dirinya mungkin tidak akan pernah merasakan hasil dari kerja kerasnya sendiri.
    Sachi melangkah lebih jauh dan menemukan seorang ibu tua dengan kulit yang keriput dan tangan yang kasar, tengah menggendong kayu bakar yang hampir melebihi tubuhnya sendiri. Langkah-langkahnya terhuyung, Namun ia tetap berjalan dengan teguh. Sesekali, ia berhenti untuk menarik napas, dan pandangannya mengarah ke sebuah gubuk kecil yang tampak lusuh di kejauhan. Meski tubuhnya ringkih, namun di matanya tersimpan cinta yang besar---cinta yang memberinya kekuatan untuk terus berjalan.
    Setiap langkah yang penuh derita itu, wanita itu memandang ke arah sawah yang luas. Dengan senyum kecil di wajahnya, Sachi bisa merasakan cinta yang begitu tulus terpancar dari sorot mata wanita tua itu. Dia tidak bekerja untuk dirinya sendiri, tetapi untuk orang-orang yang ia cintai, untuk anak-anak dan cucunya yang mungkin tidak pernah mengetahui betapa besar pengorbanan yang ia lakukan. Sachi merasa matanya mulai berkaca-kaca, menyaksikan cinta yang begitu murni, sebuah pengorbanan yang tak pernah meminta balasan.
    Kemudian, Sachi melihat seorang pemuda sedang memahat sebuah batu besar di tepi sungai. Suara pahatnya bergema di udara yang tenang, dan setiap kali ia memukul batu itu, percikan debu beterbangan. Ia tampak begitu gigih, memahat tanpa henti, seolah ingin meninggalkan jejak yang takkan pernah hilang, sesuatu yang bisa bertahan melewati waktu. Meski lelah, ia tidak berhenti, dan dalam setiap ayunan pahatnya, ada doa dan harapan yang ia titipkan. Sachi menyadari bahwa pemuda itu bekerja bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk memberi makna pada hidupnya, untuk membuat jejak yang bisa ia banggakan, meski mungkin dunia takkan pernah mengenal namanya.
    Sachi merasa dadanya sesak. Ada sesuatu yang begitu indah dalam ketulusan itu, sebuah cinta yang tidak meminta apa-apa, hanya memberi, terus memberi, meski tubuh tak lagi mampu. Sachi tersadar bahwa wanita dan pria dengan dengan setiap langkahnya yang penuh beban, sedang menciptakan masa depan untuk orang-orang yang ia cintai. Setiap tetes keringat, setiap pengorbanan, adalah bagian dari cinta yang tanpa akhir.
    Ketika Sachi melangkah lebih jauh, dunia itu semakin memperlihatkan kedalamannya. Di dekat sungai yang tenang, ia melihat sekelompok pemuda bekerja keras membangun sebuah kapal besar. Mereka bekerja dalam keselarasan yang penuh makna, saling membantu, saling memberi semangat, seakan mereka tahu bahwa kerja sama mereka akan membawa mereka ke tempat yang lebih baik. Setiap balok kayu yang mereka angkat, setiap paku yang mereka tancapkan, adalah cerminan dari persahabatan dan komitmen yang mendalam. Meski pekerjaan mereka berat, ada senyum dan tawa yang mengalir bersama keringat mereka. Kapal itu bukan hanya kendaraan bagi mereka; itu adalah simbol harapan mereka untuk mengarungi hidup dengan kekuatan bersama, sebuah perwujudan dari impian yang mereka bangun bersama.
    Sachi menyadari bahwa semua yang ia saksikan di dunia ini memiliki satu benang merah, perjuangan yang tidak pernah terlihat, namun selalu ada. Setiap orang di dunia ini bekerja bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tidak bisa dinilai dengan materi. Mereka semua, dalam kesunyian mereka, menciptakan keabadian melalui tindakan sederhana dan pengorbanan yang tulus.
    Setelah menyaksikan para pemuda yang bekerja keras membangun kapal di tepi sungai, Sachi melangkah perlahan mendekat, namun tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang aneh di bawah kakinya. Tanah yang keras dan padat berubah lunak, seperti lumpur yang menarik tubuhnya ke dalam. Sachi terperangah, merasakan dirinya terhisap semakin dalam, seakan dunia di sekelilingnya runtuh dalam sekejap. Langit jingga yang tadi membentang kini digantikan oleh kegelapan. Ketakutan mulai merambat di hatinya, tetapi sebelum ia sempat menjerit, tubuhnya terasa melayang bebas, jatuh menuju tempat yang belum pernah ia kenal.
    Saat kesadarannya kembali, Sachi mendapati dirinya berada di sebuah tempat yang berbeda, seperti dunia lain yang penuh dengan kehampaan. Di hadapanya, terdapat seorang Pemuda. Disana terdapat sebuah stuktur besar yang aneh, sebuah pesawat terbang buatan tangan. Pesawat itu terlihat kasar, dengan sayap-sayap dari logam yang berkarat dan mesin yang tampak seperti hasil kerja keras bertahun-tahun. Tangan-tanganya yang terampil. Pemuda itu sedang sibuk memperbaiki bagian-bagian mesin dengan terampil, seolah-olah menyusun nada-nada dalam simfoni.
    Setiap kali palu menghantam, suara detingan itu bergema, seperti jantung yang berdegup kencang, membangkitkan semangat yang tak pernah padam di dalam dirinya. "Apakah kau membuat ini sendiri?" tanya Sachi, suaranya terdengar ragu. Pemuda itu mengangkat wajahnya, menatap Sachi sejenak sebelum tersenyum kecil.
    "Ya, aku membuatnya untuk diriku sendiri. Tidak ada yang percaya bahwa aku bisa terbang. Mereka semua menganggapku gila, tetapi aku akan membuktikan pada mereka, aku akan terbang lebih tinggi dari mereka bayangkan." ujar sang pemuda dengan keringat menetes di wajahnya. Di balik peluh yang menetes, ada kilauan harapan di mata pemuda itu, seolah langit menjadi canvas di mana ia akan menoreh jejaknya, membayangkan pesawatnya meluncur di langit biru, membelah awan seperti burung merpati yang terbang bebas.
     Ada sesuatu dalam cara pemuda itu berbicara yang membuat Sachi terdiam. Pemuda itu memang bekerja keras meski dihina dan diragukan oleh orang-orang sekitarnya,  pemuda itu menyalakan api keberanian  dalam dirinya. Dan kini, ia hampir selesai dengan impian terbesarnya, pemuda itu memang ingin mempersiapkan  drinya untuk terbang tinggi, melampaui batas yang pernah ada. Melawan dunia  yang tak pernah memahaminya. Menembus  batas-batas mimpi yang selama ini terkurung didalam dirinya.
    Setelah beberapa saat, pesawat itu siap. Tanpa banyak bicara, pemuda itu mengajak Sachi naik ke atas pesawat. Meskipun ragu, Sachi menaiki pesawat itu. Jantungnya berdegup kencang, merasakan kombinasi antara rasa takut dan kagum. Mesin pesawat mulai berdengung, mengeluarkan bunyi keras yang menggema di sekeliling. Perlahan-lahan, pesawat itu bergerak, lalu meluncur cepat, terangkat dari tanah. Udara menyapu wajah Sachi, membuatnya tersenyum. Ia melihat ke bawah, menyaksikan tanah yang semakin jauh. Pemuda itu benar-benar berhasil. Ia telah mewujudkan impiannya---membuat pesawatnya terbang.
    Namun, kegembiraan itu tidak berlangsung lama. Tanpa peringatan, mesin pesawat mulai bergetar keras. Sachi merasakan tubuhnya terguncang, dan tiba-tiba pesawat kehilangan kendali. Dalam hitungan detik, pesawat itu jatuh dengan kecepatan yang mengerikan, menghantam permukaan laut di bawah mereka. Air yang dingin dan tajam menyambut tubuh Sachi dan pemuda itu. Sachi tenggelam dalam air, merasakan gelombang yang mendorongnya ke kedalaman.
    Di bawah permukaan air, Sachi melihat pemuda itu berjuang untuk berenang ke tepian. Namun, kakinya tertancap sesuatu, sebuah besi tajam yang menusuknya, menghalanginya bergerak dengan leluasa. Wajah pemuda itu penuh kesakitan, tetapi ia tidak menyerah. Dengan tekad yang kuat, ia menarik tubuhnya menuju daratan, meski darah mulai bercampur dengan air di sekelilingnya
    Sachi hanya bisa menyaksikan dari kejauhan. Ia merasa tak berdaya, seolah-olah terperangkap dalam laut yang dingin dan gelap. Pemuda itu akhirnya mencapai tepian dengan susah payah. Wajahnya pucat, tubuhnya gemetar, tetapi ia tetap berusaha bangkit. Dengan satu tarikan yang penuh kekuatan, ia mencabut besi yang tertancap di kakinya. Sachi menyaksikan bagaimana besi itu merobek kulitnya, menyebabkan tulangnya patah. Namun, pemuda itu hanya mengerang pelan, tak membiarkan kesakitanya mengalahkanya. Setiap detik sachi rasakan terasa seperti selamanya saat air laut merenggut nafasnya. Hatinya berdegup kencang, layaknya genderang perang, sementara langit mendung seolah mengintip dengan tatapan penuh iba. Ketika tubuhnya mulai tenggelam, rasa takutnya berubah menjadi keheningan, seolah waktu berhenti.
    Sachi kehilangan kesadarannya, buih-buih air pun mengelilinginya. Berkumpul menjadi satu yang berkaitan satu sama lain, membawanya ke tempat lain, buih air itu berkilau di bawah sinar bulan di mana realitas dan imajinasi bersatu. Setiap gelembung yang pecah mengandung kisah-kisah lama, mengajak jiwanya berlayar menuju keabadian, meresapi makna di balik setiap gelombang yang menggulung. Setelah Sachi terbawa oleh buih air yang berkilau di bawah sinar bulan, seolah jiwanya terserap dalam tarian abadi antara realitas dan mimpi, tiba-tiba ia merasakan desiran halus yang mengarahkannya ke sebuah hutan hujan tropis. Di sana, ketika buih terakhir menghilang, Sachi melihat sosok pria tua, duduk di bawah pepohonan besar dengan satu kaki yang hilang.
    Cahaya bulan membasuh tubuh pria itu, menciptakan bayangan yang melintasi wajahnya yang penuh kebijaksanaan. Angin malam berhembus lembut, membawa bisikan kenangan yang tak terucap. Saat Sachi melangkah mendekat, ia merasakan sesuatu yang berbeda kali ini, seolah-olah pria tua itu bukan sekadar seseorang yang baru ia temui, tapi seseorang yang telah lama ia kenal, mungkin dari tempat yang jauh di dalam dirinya sendiri
    Pria tua tersebut sedang asik dengan kanvas besar penuh warna. Namun, anehnya warna yang dipilih sangat kontras dan tak biasa, langit yang berwarna merah tua, pepohonan yang berwarna biru gelap, dan matahari yang hitam legam. Penasaran ,Sachi mendekati pria tua itu dan bertanya "Mengapa kau melukis langit dan matahari dengan warna seperti itu, Pak?
  Pria itu tersenyum tanpa menoleh, terus melanjutkan goresan kuasnya. "Kau tahu,Nak! Hidup tidak selalu seperti yang kita bayangkan. Tidak selalu biru cerah maupun kuning keemasan. Terkadang, hidup berwarna merah, biru gelap, bahkan hitam sekalipun. Namun, itu tidak masalah. Itu semua bagian dari kehidupan, warna gelap tidak membuat hidup menjadi buruk. Justru, merekalah yang memberikan kedalaman. Membuat kita lebih memahami makna dari setiap warna cerah yang hadir, Sachi terdiam, meresapi kata-kata dari pria tua itu. Pria itu benar. Mungkin, warna gelap dalam hidupnya hingga kesulitan belajar, ketakutan gagal dan tekanan dari sekelilingnya bukanlah hal yang harus dihindari, melainkan dipahami.
    "Hidup ini," lanjut Pria Tua itu "adalah sebuah lukisan besar. Tidak selalu tentang bagaimana kita menggambar lamgit biru tanpa  awan, tetapi tentang bagaimana kita menerima badai yang datang, bagaimana kita merangkul kegelapan yang menghampiri. Tanpa warna-warna itu, lukisan kehidupan kita tidak pernah lengkap," Sachi menjawab Pria Tua itu, "Ta-tapi kenapa...tuhan tidak pernah adil?" Pria tua itu tersenyum lembut, matanya yang penuh kedalaman bertemu dengan pandangan Sachi. "Tuhan tak memberi mu hidup seperti yang Kamu inginkan, karena Kamu juga tak hidup seperti apa yang tuhan inginkan". Pria itu melanjutkan, "Kau sudah melihatnya," kata Pria Tua itu perlahan, suaranya seakan datang dari seluruh penjuru alam, "perjuangan, ketekunan, dan harapan yang tak pernah padam. Apa yang kau cari selama ini ada di dalam setiap langkah yang Kau saksikan." Dalam bayang-bayang pikirann Sachi, sachi membayangkan orang-orang yang ia saksikan baru saja mereka pernah bermimpi, namun mimpi itu tergerus oleh waktu, seperti pasir yang diombang-ambingkan ombak. Apakah mereka berhenti berjuang? Apakah mereka pernah merasakan harapan secerah matahari pagi, hanya untuk melihatnya tenggelam dalam kegelapan malam.
    Ia masih meresapi setiap kata yang diucapkan, begitu sarat dengan makna. Langkah kakinya terasa berat oleh rasa haru, tetapi juga ringan karena ada sesuatu yang mulai ia pahami. Namun, ketika ia melangkah lebih dekat, tanpa sadar kakinya terpeleset. Sachi terjatuh, tubuhnya meluncur cepat ke dalam sebuah lubang yang tersembunyi di bawah rerumputan
 Â
  Tubuhnya meluncur cepat melewati lapisan gelap, seolah-olah terhisap oleh ruang yang tak berujung. Namun, sebelum ia sepenuhnya terserap ke dalam kegelapan, tiba-tiba pemandangan di bawahnya berubah. Dari ketinggian, Sachi melihat sebuah adegan yang membuat dadanya bergetar,pemuda yang sebelumnya ia temui, kini berdiri di atas pesawat yang telah berhasil ia bangun.
  Meski kakinya masih patah dan luka itu terlihat begitu nyata, sang pemuda tidak berhenti. Dengan sisa tenaga dan tekad yang tak tergoyahkan, ia terus memperbaiki pesawat itu hingga akhirnya siap terbang. Sachi melihatnya menyalakan mesin dengan senyum yang penuh kepuasan di wajahnya. Pesawat itu, yang sebelumnya terlihat mustahil, kini mulai terangkat ke udara, terbang tinggi menuju cakrawala.
  Tepat ketika pesawat menghilang di balik awan, Sachi merasakan dorongan lembut, Dalam beberapa detik yang terasa seperti keabadian, tiba-tiba ia terhenti. Cahaya lembut mulai menerobos, dan Sachi mendapati dirinya kembali di taman yang ia kenal, taman di dunia nyata. Ia terduduk di atas rerumputan, napasnya sedikit terengah, tapi pikirannya penuh dengan kesadaran baru. senja yang indah mulai menyingsing, dan ia menyadari bahwa meski ia kembali ke dunia aslinya, dirinya tak lagi sama.
 Sejak saat itu, Sachi mulai melihat hidupnya dengan cara yang berbeda. Ia mulai menyadari bahwa nilai-nilai yang tidak sempurna, kegagalan dalam memahami pelajaran, bahkan rasa terasing dari teman-temanya, orang tua yang berharap lebih, adalah bagian dari perjalanan yang harus diterima, kesempurnaan bukan lah tujuan, melainkan proses penerimaan diri sendiri terhadap segala kelebihan dan kekurangan.
Ketika hari ujian akhirnya tiba, Sachi duduk dikursinya dengan perasaan yang berbeda, ada kecemasan tapi apapun hasilnya, ia sudah berjuang menghadapi ketakutan dan menerima bahwa kegagalan adalah bagian dari kehidupan yang tak bisa dihindari, kegagalan bukanlah akhir melainkan sebuah kesempatan untuk belajar dan tumbuh.
 Â
    Beberapa minggu setelah ujian selesai, hasil akhirnya pun keluar, Sachi dinyatakan lulus, walau tidak dengan nilai yang ia inginkan, tetapi Sachi menyadari, ternyata benar kehidupan manusia adalah sebuah kanvas yang penuh dengan lapisan warna yang saling tumpang tindih, setiap kesulitan, rasa sakit atau kebahagiaan adalah lapisan yang memperkaya hidup, dan semua warna itu membentuk lukisan yang indah jika dilihat secara utuh. Karena hidup, seperti apa yang dikatakan pak tua itu, tidak selalu harus sempurna. Kadang, justru dari ketidak sempurnaan itulah kita menemukan kekuatan terbesar kita. Menerima diri sendiri dalam setiap keadaan adalah seni tertinggi dari hidup. Hidup, seperti langit dan matahari dalam lukisan itu, pikir Sachi. "Tak selalu berjalan sesuai yang kita inginkan. Tapi justru dalam ketidaksempurnaan itu, kita menemukan keindahan yang abadi."
    Beberapa hari setelah kelulusan, Sachi kembali ke rutinitas barunya di rumah. Hari itu, ia memutuskan untuk membersihkan gudang yang sudah lama tak tersentuh, penuh dengan barang-barang lama dan berdebu. Ia menyusuri setiap sudut ruangan dengan hati-hati, mengangkat kotak-kotak tua yang hampir terlupakan. Pandangannya tertuju pada sebuah kotak kayu usang di sudut gudang sunyi. Di dalamnya, Sachi menemukan sebuah album foto lama, berbalut kulit yang sudah mulai lapuk. Lalu, ia membuka album foto tua yang terlihat sudah lama sekali. Halaman-halaman itu seperti menceritakan hal hal yang mengungkapkan rahasia.
     Halaman demi halaman memperlihatkan foto-foto hitam putih dari masa lalu, foto keluarganya di generasi terdahulu. Di sana tersenyum sosok yang pernah ia temui sebelumnya. Sachi merasa jantungnya berdegup lebih kencang. Ia membalik halaman berikutnya, dan di sana, di sudut foto, tertulis nama pria itu: "Syamsul bahri, kakek buyut".
 Â
     Kenangan akan percakapan singkat itu datang kembali dipikirannya, seolah waktu terhenti. Foto itu mengingatkan bahwa setiap pertemuan, meski singkat, meninggalkan jejak yang abadi. Di tengah tumpukan kenangan, ia menyadari bahwa setiap sosok memiliki cerita yang indah itu tak terlupakan olehnya
    Langit sore itu kembali memerah. Tapi kali ini, Sachi tersenyum, ia tahu bahwa meski hari-hari gelap mungkin akan datang lagi, ia tidak perlu takut. Karena dalam warna-warna abadi, selalu ada pelajaran yang menunggu untuk ditemukan.