Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Masalah Infrastruktur dan Politik, Perlu Revolusi Besar-besaran Mengatasi Kemacetan Lalu Lintas Jakarta

3 Juni 2014   20:20 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:45 760 0
Terpampang jelas tulisan pada baner yang berada didepan Outbreak Steak House di Mall Kuningan City “Jakarta Monorail : Persoalan Infrastruktur atau Politik?”. Itulah tema yang dibahas dalam acara Kompasiana Nangkring bareng PT Jakarta Monorail (PT JM), Sabtu 24 Mei 2014. Tema yang dirancang pas dengan kelanjutan pembangunan infrastruktur transportasi yang beberapa waktu yang lalu diresmikan oleh Gubernur DKI Jokowi. Pada waktu yang pas pula dengan tahun politik pesta demokrasi dan suksesi kepemimpinan nasional, yang juga melibatkan sang gubernur bertarung memperebutkan tahta kepresidenan.

Menghadirkan para nara sumber yang kompeten dan terkait serta berkepentingan dalam bidangnya masing-masing, bahkan ditambah pula seorang pakar komunikasi politik yang tidak asing lagi, Tjipta Lesmana dari Universitas Pelita Harapan Jakarta. Mereka adalah John Aryananda yang kini Dirut PT Jakarta Monorail, Dharmaningtyas seorang pengamat transportasi dan Lukas Hutagalung sebagai konsultan bidang infrastruktur. Kalau hanya masalah infrastruktur atau tidak berkaitan dengan politik, tentu tidak perlu menampilkan pakar komunikasi politik, begitu barangkali logika berfikirnya.

Acara yang dipandu oleh moderator Laksono Hari Wibowo, editor Mgapolitan Kompas.com ini juga disiarkan langsung on air oleh salah satu radio swasta niaga di Jakarta. Meski sempat terlambat dari jadwal acara jam 09.30, acara berlangsung dengan lancar dan semarak disertai sesi tanya jawab dengan seluruh nara sumber. Bisa ditebak bahwa acara yang berkaitan dengan infrastruktur ini dapat dipolitisir atau berkaitan dengan politik. Sebagaimana tersirat dalam ucapan nara sumber, paling tidak dari paparan pakar komunikasi politik yang juga ditimpali oleh Dirut PT JM.

Jelas dikatakan oleh Tjipta Lesmana ‘masalah kemacetan lalulintas tidak sekedar persoalan Pemda DKI’. Tempatnya di Jakarta yang notabene ibukota negara, pusat pemerintahan, menyangkut berbagai segi kepentingan bangsa dan negara, bahkan ada kaitannya dengan pemerintah negara-negara lain. Artinya masalah kemacetan lalulintas di Jakarta adalah masalah nasional, bahkan lebih dari itu masalah bencana nasional. Bencana yang diciptakan oleh manusia, bencana budaya manusia untuk berupaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Sepanjang itu bencana akibat ulah manusia, sudah seharusnya manusia yang harus dapat mengatasinya.

Sungguh menarik menyimak paparan pakar komunikasi politik yang satu ini, yang tegas dan lugas mendukung pencalonan Jokowi sebagai presiden yang akan datang. Diharapkan adanya konsekuensi yang konsisten dengan komitmen untuk mengatasi masalah Jakarta, antara lain kemacetan lalulintas atau transportasi pada umumnya. Bahkan masalah selanjutnya, banjir yang menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit, menyentuh kehidupan seluruh lapisan masyarakat. Jelas terucap dari sang pakar komunikasi politik yang dosen UPH ini ‘kalau yang jadi presiden Jokowi, mungkin mudah melanjutkan penyelesaian, tinggal ‘menyuruh’ Ahok untuk bertindak’.

Jakarta monorel, tentu banyak orang berharap dapat mengatasi atau minimal mengurangi masalah kemacetan lalulintas di Jakarta. Sesederhana itukah analisanya? Sebagaimana paparan teknis Dirut PT JM, monorel adalah sarana transportasi masal seperti halnya kereta api comuter line PT KAI yang sudah ada sekarang ini. Satu rangkaian terdiri dari 8 gerbong yang setiap gerbong berkapasitas sekitar 200 orang. Bedanya kereta monorel lebih ramping, agak ringan, dengan lintasan melayang sedikit mengurangi kebutuhan lahan dan tidak berisik seperti kereta api akibat gesekan roda dengan relnya. Sementara ini monorel dianggap sebagai satu-satunya solusi untuk mengatasi masalah kemacetan lalulintas Jakarta.

Setiap penyelesaian masalah tentu menimbulkan pro dan kontra, ada juga yang pro namun diselaputi keraguan atau pesimisme. Apalagi ada fihak lain yang bertentangan tidak langsung, kibijakan mobil murah misalnya atau industri otomotif yang terus dipacu melalui pameran bertaraf internasional. Dilain fihak kemudahan memiliki kendaraan pribadi melalui kredit yang banyak ditawarkan menjamur disana-sini. Belum lagi bicara mengenai pembatasan waktu pembuatan kendaraan yang boleh beroperasi, nampaknya belum ada batas umur penggunaan kendaraan terhitung dari dari tahun pembuatannya.

Penyelesaian masalah kemacetan lalulintas Jakarta nampaknya tidak akan tuntas hanya dengan pelaksanaan rencana yang sepotong-potong. Antara lain monorel misalnya, dengan lintasan yang hanya beberapa puluh kilometer didalam kota Jakarta, mungkin hanya mengurangi kemacetan beberapa saat saja. Seperti yang diucapkan oleh Dirut PT JM dengan istilah kereta makan siang. Sekedar pergi dari mall ke mall lain, menikmati makan siang orang-orang kantoran yang sudah lama jenuh dengan suasana selama ini. Atau melengkapi sarana transportasi rekrerasi kota bagi warga masyarakat.

Dengan perkataan lain penyelesaian masalah kemacetan lalulintas Jakarta perlu penangan menyeluruh bertaraf nasional, melibatkan pemerintah daerah maupun pusat. Sebagaimana tema bahasan ‘Jakarta Monorel : Masalah Infrastruktur atau Politik?’, perlu dibaca dengan pengertian ‘Kemacetan Lalulintas Jakarta, Masalah Infrastruktur atau Politik?’ Pertanyaan ini perlu diartikan sebagai tantangan yang harus dijawab atau dipertanggung jawabkan. Tepat sekali ucapan pakar komunikasi politik Tjipta Lesmana yang mengatakan bukan lagi sebagai masalah nasional, tetapi sudah merupakan bencana nasional buatan manusia. Terlepas itu kelalaian manusia atau bukan, manusia yang harus dapat menyelesaikan.
*
Masalah infrastruktur atau politik?, adalah masalah kedua-duanya. Penyelesaiannya harus menyangkut kedua-duanya. Perlu ada keputusan politik dari penyelenggara pemerintah, perlu pembahasan ditingkat palemen oleh wakil rakyat, disamping pembicaraan oleh pemerintah yang sudah dilakukan selama ini. Perlu payung hukum yang kuat, peraturan perundang dan bila perlu masuk sebagai salah satu butir kegiatan dalam Garis Besar Haluan Negara melalui ketetapan MPR. Perlu juga ditawarkan sebagai kontrak poitik kepada kedua pasang capres-cawarpes yang sedang bersaing untuk menjalankan penyelenggaraan pemerintahan yang akan datang.

Beberapa wacana alternatif langkah menuju penyelesaian masalah kemacetan lalulintas Jakarta, selain pembangunan infrastruktur berbagai jenis jalan raya, jalan layang, under pass atau sub way, jalan kereta, monorel, penambahan ruas jalan, pelebaran jalan yang sudah ada, dsb. Juga menambah jenis alat atau moda transportasi, terutama transportasi masal dan menambah kapasitas daya angkut berbagai kendaraan angkutan masal yang sudah ada.

Perlu pula dipertimbangkan strategi lain, antara lain mengendalikan mobilitas manusia yang punya aktivitas di Jakarta dari hulu hingga hilir dan bermukim di daerah penyangga, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek). Perlu pemekaran Propinsi DKI, mencakup seluruh daerah administratif Bodetabek menjadi satu wilayah kesatuan Propinsi DKI. Perlu difahami bahwa kehidupan sosial ekonomi daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) sudah lama menyatu dengan segala aspek kehidupan yang terkandung didalamnya. Sudah selayaknya Jabodetabek menjadi satu kesatuan wilayah administratif Propinsi DKI.

Kalaupun seandainya penyelesaian masalah kemacetan lalulintas Jakarta masih tetap dibebankan pada Pemda DKI Jakarta, akar permasalahan sudah berada dalam lingkup kawasan manajemen yang sama, dibawah kendali Gubernur DKI Jakarta. Meski mungkin perlu pendampingan pemerintah pusat, perlu dipertimbangkan pembentukan institusi ad hoc setingkat kementerian ‘Badan Otoritas Pengendalian Transportasi Jakarta’ yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Strategi ini agaknya masih lebih sederhana dibanding wacana penyelesaian melalui pemindahan ibukota negara, Jakarta ketempat lain apalagi diluar Pulau Jawa.

Salah satu fenomena pergerakan atau mobilitas manusia dari Bogor-Jakarta pergi pulang adalah melalui jalur kereta rel listrik (KRL) comuter line dengan dua jalur, yaitu stasiun Bogor kearah stasiun Jakarta Kota dan Bogor kearah Jatinegara lewat Tanah Abang. Selanjutnya menyebar keberbagai arah berganti angkutan mobil penumpang umum menuju tempat kerja masing-masing. Perlu dipertimbangkan membagi kepadatan mobilitas manusia ini, antara lain segera membangun jalur rel ganda KRL antara stasiun Bogor kearah stasiun Parung Panjang. Jalur akan bersambung kearah stasiun Serpong sampai Tanah Abang yang kini sudah ada dan relatif masih renggang kepadatan arus mobilitas manusia.

Perlu mencanangkan dan mengukuhkan bahwa Jakarta sebagai kota megapolitan dengan aktivitas kehidupan 24 jam. Jam kerja pemerintahan, instansi pemerintah maupun swasta perlu ditata ulang dengan memperpanjang jam kerja sampai pukul 24.00, dengan mengacu pada pembagian tenaga kerja pegawai dan jam kerja sistem dua sift, jam 08.00-16.00 dan 16.00-24.00. Instansi atau institusi penyelenggara tranportasi, pelayanan jasa lain juga perlu menyesuaikan. Juga pusat perdagangan dan perbelanjaan, mall, plaza, sampai pasar-pasar tradisional.

Setelah dimonitor dan dievaluasi dalam tahap uji coba, bila memungkinkan perlu diteruskan menjadi 3 sift atau 24 jam, seperti yang sudah berlangsung selama ini, misalnya rumah sakit, pengisian bahan bakar SPBU, aparatur keamanan dan ketertiban, sistem komunikasi, dsb. Perusahaan jasa transportasi bus TransJakarta ‘busway’ kini sedang uji coba operasional 24 jam, meski masih terbatas pada koridor padat, Kota-Blok M dan Harmoni-Kalideres serta Pinangranti-Pluit.

Dengan penataan seperti ini diharapkan terjadi distribusi mobilitas manusia tidak terjadi pada jam-jam yang sama seperti selama ini. Dengan system dua sift, jumlah orang yang beraktivitas menjadi separuhnya dan berganti separuhnya pada sift berikutnya. Sehingga beban jalan raya dengan kemacetan dapat terbagi atau berkurang. Orang akan memilih waktu yang sesuai untuk beraktivitas atau transaksi dan interaksi sosial lainnya, baik kedinasan maupun urusan pribadi. Selanjutnya etos kerja tersebut diinformasikan atau disosialisasikan kepada perwakilan negara-negara sahabat melalui kedubes dan konsulat masing-masing termasuk perusahaan asing lainnya yang beroperasi di Jakarta, agar mereka segera berpartisipasi penyesuaian.

Pada sektor pendidikan hanya perguruan tinggi negeri maupun swasta yang harus mengikuti aturan operasional dua sift. Selain mengurangi mobilitas manusia, diharapkan dapat mengurangi pertemuan informal antar mahasiswa yang tidak jarang menimbulkan benturan fisik berujung tawuran, meski antar fakultas dalam perguruan tinggi yang sama. Dilain fihak memberi kesempatan seluas-luasnya kepada para pegawai dan karyawan yang berniat mengembangkan karir, melalu cara kuliah sambil bekerja tanpa perlu sering membolos untuk mengikuti perkuliahan.

Masih cukup waktu untuk menawarkan kepada kedua pasang mempelai capres-cawapres sebagai materi kampanye, dengan menawarkan kontrak politik yang ditanda tangani sebagai jaminan agar dijalankan pada prioritas pertama dalam pemerintahannya yang akan datang. Atau dapat juga dijual lelang sebagai komoditas ‘proposal’ sebagai salah satu acuan menyelesaikan kemacetan lalulintas Jakarta yang sudah menjadi masalah nasional, bahkan bencana nasional yang kronis dan membudaya. Diharapkan terjadi lelang luar biasa, kedua pasangan mau membeli, sehingga terjadi harga kumulatif dari kedua belah fihak. Dipandu oleh juru lelang yang juga luar biasa istimewa, mampu mengendalikan harga lelang sampai pada harga yang sama, melalui musyawarah mufakat kedua belah fihak pasangan yang sedang bersaing pengaruh.

“Saya terkesan dengan urgensi tindakan, memahami tidaklah cukup, kita harus menerapkan. Berharap tidaklah cukup, kita harus mewujudkan” (Leonardo da Vinci). “Aku bermimpi tentang sebuah gerakan, tapi mana mungkin kalau diam” (Wiji Thukul). Tindakan untuk mewujudkan dengan gerakan perubahan, menuju Jakarta terbebas dari masalah bukan hanya kemacetan arus lalulintas. Tapi juga kemacetan arus air atau banjir.

Tags : jakartamonorail

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun