Bencana Merapi, masih menggelitik empati masyarakat Yogyakarta, dan rakyat Indonesia pada umumnya. Bencana Merapi ini, selain menelan korban jiwa, juga materil yang tidak sedikit. Jerit tangis khususnya keluarga korban bencana, tentunya sampai sekarang masih sering terdengar, apalagi masih banyak sanak keluarga yang belum ditemukan, tertimbun lonsoran kawah Merapi. Apresiasi masyarakat untuk membantu korban sampai sekarang juga masih terus mengalir.
Pada sisi lain, rakyat di sekitar gunung Merapi, tentunya sampai sekarang masih dipusingkan oleh rencana untuk memulai hidup baru pasca bencana. Merencanakan recovery hidup korban bencana ini, tidaklan mudah, selain karena kondisi hidup sangat terbatas, mereka juga dihantui oleh Status Merapi yang bisa setiap saat berubah lagi menjadi AWAS, termasuk pula kenangan keluarga yang jadi korban. Jadi, dimensi psiko-sosial, kondisi rakyat Yogya khususnya di sekitar Merapi sangat memprihatinkan.
Di tengah keprihatinan Rakyat Yogya ini, pak SBY mengeluarkan Statement sistem Monarki, di mana menghantam sistem pemerintahan di Yogyakarta. Rakyat Yogyakarta begitu mencintai Sultan-Gubernur Yogyakarta. Cinta rakyat Yogya terhadap Gubernur sekaligus Sultannya, tidak lahir begitu saja, di situ banyak aspek terkait, selain kinerja pemerintahan, juga termasuk aspek sosio-kultural. Bahkan bisa saja, banyak rakyat Yogyakarta, lebih mencintai Sultan Yogya di banding Presiden negaranya. Sebagaimana hal itu banyak terjadi pada daerah lain di Indonesia, di mana perhormatan nilai-nilai kultur adalah sebuah kemutlakan. Siapapun presiden di Indonesia harus bisa menerima kenyataan ini, karena memang Indonesia bersumber dari cakupan kerajaan-kerajaan besar. Indonesia juga, harus berterima kasih pada eks kerajaan ini, selain karena kerajaan-kerajaan ini adalah salah satu penyangga besar perjuangan tercapainya kemerdekaan Indonesia, juga mereka berbesar hati menerima bentuk pemerintahan Republik, di mana hal itu mengorbankan kekuasaannya sebagai Raja. Pada sisi ini, kompromi Daerah Istimewa, adalah opsi sangat rasional.
Sekarang ini, masyarakat Yogyakarta minta referendum tentang sistem pemerintahan Gubernur yang tepat, apakah pemilihan langsung ataukah tetap sama seperti sekarang saja. Permintaan referendum ini, tentunya jawaban proses demokratisasi yang digulirkan pak SBY. Bagaimana jika masyarakat daerah lain juga menginginkan hal yang sama?
Masalah yang paling menggelitik saya, adalah selain implikasi statemen monarki pak SBY, juga karena Yogya kita fahami masih sedang berduka. Berbagai pertanyaan menghinggapi kepala saya tentang Presiden kita ini. Apakah SBY sudah tidak punya empati kerakyatan? Apakah SBY sudah kehilangan tipikal kesantunan? Apakah SBY terlalu kuat sehingga bebas berbuat apa saja? Apakah SBY sudah terlalu menghamba terhadap kepentingan kekuasaannya? Yang paling pedis, apakah SBY sudah tidak mau mengenali Indonesia secara utuh? Terus di mana konsistensi pada kandungan pidato kenegaraan yang selalu mengatakan “suasana bathin rakyat Indonesia”? Mohon maaf, saya dihantui negative thingking terhadap presiden sendiri, dan saya berdoa semoga penilaian saya salah.
Pak SBY…Sadarlah, Rakyat Yogya masih berduka!