Begitulah kalimat yang nyaris gencar diungkapkan oleh mereka yang pro dan para bazer pemerintah.
Juga salah satu logika yang selalu disuarakan oleh mereka jika banyak investor menanam saham di Indonesia maka akan banyak berdiri perusahaan. Jika sudah begitu akan bisa menyerap banyak tenaga kerja. Alias bakal mengurangi angka pengagguran. Rakyat sejahtera.
Terlepas dari pandangan mereka yang pro,
Omnibus Law UU Cipta Kerja yang diajukan pemerintah dan diputuskan oleh DPR secara tergesa di tengah pandemi, mengundang banyak penolakan. Kenapa begitu?
Sebagai rakyat yang awam soal hukum, melihat persoalan ini tentu;
Pertama saya lebih cenderung mendengar suara ormas terbesar di Indonesia yaitu PBNU dan PP Muhammadiyah.
Kedua organisasi ini memiliki sejarah panjang dalam keberpihakannya terhadap keberlangsungan hidup berbangsa  dan bernegara. Sejarah menunjukkan begitu jelas bahwa kedua ormas terbesar tersebut karyanya ada disegala penjuru arah mata angin, jelas sumbangsihnya untuk masyarakat dan negara.
Kalau kedua ormas terbesar ini secara tegas menolak berarti ada banyak hal yang tidak beres dengan produk UU tersebut.
Kedua, gelombang penolakan itu datang tidak hanya dari kaum buruh. Namun juga dari kalangan petani, intelektual, mahasiswa, pelajar, LSM, aktivis lingkungan dan pencinta alam.
Artinya Omnibus Law UU Cipta Kerja tampak terang mengabaikan banyak kepentingan di tengah masyarakat luas. Lebih khusus tentang masa depan alam. Seperti kerusakan alam akibat banyak pabrik berdiri. Banyak mereka yang tutup mata terhadap nasib kelestarian alam dan ekosistem mahluk hidup.
Contoh kecil saja di kampung halamanku Pati Jateng, limbah pabrik tebu dan tapioka daya rusaknya terhadap lingkungan terus berlangsung hingga kini. Belum lagi pabrik semen dan eksploitasi alam lain yang edan-edanan.
Tentu dalam hal ini petani banyak yang dirugikan.
Coba kita geser sedikit lihat di kota-kota besar. Akibat perusahaanisasi lahan pertanian kian menyempit dan beralih fungsi jadi betonisasi. Limbah pabrik disalurkan ke sungai-sungai.
Efek yang jamak dirasakan masyarakat sekitar adalah air untuk kebutuhan rumah tangga jadi tercemar. Masyarakat tidak punya pilihan lain kecuali dari air PDAM yang sarat kaporit itu. Air untuk minum dan masak tentu harus beli lagi.
Kalau eksploitasi air bersih yang dilakukan oleh perusahan air minum sudah sampai pada tetes terakhir, mungkin manusia tersadar kalau air lebih berharga daripada uang.
Omnibus Law UU Cipta Kerja sepertinya istilah lain dari cara pandang rejim Soeharto tempo dulu dalam mengelola  negara. Yaitu mengundang investor asing sebanyak-banyaknya kemudian dipersilahkan mengelola dengan segila-gilanya. Masa depan alam diserahkan begitu saja kepada kaum oligarki.