Mohon tunggu...
KOMENTAR
Dongeng Pilihan

Sang Putri Kerajaan Banjar Di Tanah Masyarakat Dayak Ma’anyan dan Belusukannya

8 November 2014   20:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:18 720 0

oleh : Arif Riduan

Tak banyak sejarah yang mencatat tentang kisah Putri Mayang Sari, namun menurut sejarah secara lisan masyarakat Dayak Ma'anyan, Putri Mayang Sari yang adalah putri Sultan Suriansyah yang bergelar Panembahan Batu Habang dari istri keduanya, Noorhayati. Putri Mayang Sari dilahirkan di Keraton Peristirahatan Kayu Tangi pada 13 Juni 1858.

Putri Mayang Sari menjadi seserahan Sultan Suriansyah kepada Uria Mapas, pemimpin dari tanah Ma'anyan di wilayah Jaar Sangarasi. Seserahan tersebut sebagai tanda perdamaian antara Sang Raja Banjar dengan Uria Mapas. Dalam sejarah lisan, bahwasanya Raja Banjar telah menghukum mati adik kandung dari Uria Mapas, yaitu Uria Rin’nyan karena kelasahan yang ia buat di Tanah Banjar.

Uria Mapas yang saat itu mengamuk di wilayah kerajaan Banjar banyak membantai masyarakat dengan sebuah Mandau yang dibawanya. Raja Banjar pun berinisiatif untuk berdamai dengan Uria Mapas agar tidak ada pertumpahan darahdengan beberapa perjanjian, diantaranya penyerahan Putri Mayang Sari kepada Uria Mapas untuk dijadikan saudara sebagai pengganti Uria Rin’nyan.

Kecantikan Putri Mayang Sari yang digambarkan sebagai seorang wanita cantik yang memiliki kulit putih, berparas cantik serta berambut panjang terurai membuat Sang Putri disayang dan dikasihi oleh Uria Mapas dan penduduk Ma’anyan. Kendati agama Sang Putri tidak sama dengan keyakinan penduduk Ma’anyan tidak sama sekali menjadi masalah untuk tidak menghormati dan menerima Putri Mayang Sari di tanah mereka. Orang Ma’anyang menganggap orang Banjar adalah saudara mereka yang berbeda keyakinan (Islam) dan mereka menyebutnya hakey yaitu saudara mereka yang memeluk agama Islam.

Masyarakat Ma’anyan mengangkat Putri Mayang Sari sebagai pimpinan daerah Sangasari setelah Uria Mapas meninggal dunia. Sebagai pemimpin Putri Mayang Sari sangat disayangi dan dihormati oleh masyarakat Ma’anyan, karena Putri Mayang Sari selain putri dari Raja Banjar juga saudari angkat yang disayangi oleh Uria Mapas.

Pada saat itu Putri Mayang Sari dianggap berhasil menyejahterakan rakyat yang dia pimpin. sang putri sangat dekat dengan rakyat, bukan hanya kalangan bangsawan namun juga dekat dengan rakyat kecil di wilayahnya. Kesehariaanya Sang Putri tidak pernah diam menanggapi tentang kesejahteraan masyarakat. Sang putri sering melakukan belusukan ke perkampungan untuk mencari tahu apa saja permasalahan yang ada dimasyarakat serta untuk mengetahui kehidupan rakyat yang sebenarnya.Terlebih lagi belusukan yang khusus untuk mengetahui bagaimana ketahanan pangan masyarakat sangat sering dilakukannya.

Dia selalu mengawasi bagaimana hasil panen masyarakat Ma’anyan. Untuk meningkatkan hasil panen masyarakat , Putri Mayang Sari banyak memberikan pengarahan maupun penyuluhan, diantaranya menganjurkan agar penduduk menanam padi di daerah berair, karena hasil panennya lebih baik daripada di daerah yang kering.

Selain meberikan pengarahan tentang pangan, Putri Mayang Sari juga sering memberikan nasehat-nasehat kepada masyarakat agar taat untuk membayar pajak dengan kelembutan dan kesopanan yang dia miliki. Dengan gaya kepemimpinan Putri Mayang Sari yang penuh kasih rakyat pun sejahtera tanpa menghindari pajak yang menjadi kawajiban mereka sebagai rakyat.

Wilayahbelusukan Putri Mayang Sari setiap tahun adalah melewati daerah Timur yakni Uwei, Jangkung, Waruken, Tanjung. Kemudian daerah Barat yaitu Tangkan, Serabun, Beto, Dayu, Patai, Harara dan kembali ke Sangarasi (sekarang dinamai Ja’ar). Menurut kepercayaan masyarakat Dayak Ma'anyan, wilayah-wilayah yang dikunjungi Putri Mayang Sari ketika belusukantersebut selalu mendapat berkah dan keberuntungan, misalnya pohon buah menjadi berbuah lebat. Konon, buah langsat di daerah Tanjung yang terkenal manis dan disenangi banyak orang adalah karena daerah Tanjung adalah tempat belusukan Putri Mayang Sari.

Walaupun Sang Putri beragama Islam, dalam menjalankan kepemimpinannya Putri Mayang Sari menggunakan sistem mantir epat pangulu isa yaitu sistem pemerintahan tradisional Dayak Ma'anyan. Dalam pola kepemimpinan ini, satu wilayah ditangani empat pemimpin (mantir) dan satu pengulu. Empat mantir mengurus masalah pemerintahan, sedangkan pengulu mengatur seluk beluk Hukum Adat. Dalam pemerintahannya memang ada dua hal yang diprioritaskan, yaitu terpenuhnya kebutuhan pangan rakyat dan tegaknya Hukum Adat yang bagi orang Dayak Ma'anyan adalah tata aturan kehidupan.

Setelah mengalami sakit selama tiga hari, pada 15 Oktober 1615, Sang Putri meninggal dunia. Karena kecintaan rakyat kepada Sang Putri, jasadnya tidak langsung dikuburkan, tetapi disemayamkan terlebih dahulu di dalam rumah hingga kering. Setelah mengering, karena cairan dari mayat disalurkan ke dalam tempayan, jasad Putri Mayang Sari dibawa ke seluruh daerah agar semua rakyat mendapat kesempatan memberikan penghormatan terakhir kepada pemimpin mereka yang telah meninggal dunia. Akhirnya, jenazah Putri disemayamkan di Sangarasi yaitu wilayah Jaar sekarang.

catatan

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun