Toh jika hanya memperhatikan nilai akreditasi, itu hanya bersifat legalitas semata. Misalkan saja beberapa bulan menjelang dikunjungi tim penilai akreditasi, kampus mulai berbenah-benah melengkapi data, memperbaiki fasilitas yang rusak dan melengkapi yang kurang. Pejabat kampus mulai sibuk, kasak-kusuk melakukan persiapan, bahkan sampai ada yang lembur di kampus. Tetapi sudah akreditasi diselenggarakan, suasana kampus tetap kembali seperti biasa. Tak bisa dielakkan juga, pelayanan yang mulai membaik saat menjelang akreditasi, menurun drastis setelah itu. Makanya, akreditasi hanya cocok sebagai “cover”. Tapi tak banyak yang mengedepankan kejujuran dari konten jurusan yang diakreditasi itu sendiri. Ya semestinya, jika kurang yang bilang kurang, belum lengkap ya sampaikan belum lengkap, termasuk tidak mampu yang bilang tidak mampu. Kadang menjelang akreditasi, kampus memaksa memperbaiki seluruh sistem. Inikan aneh. Semestinya persiapan perbaikan segala hal yang masuk dalam lingkup penilaian akreditasi dilakukan bertahap. Dan sudah ada perencanaan yang matang jauh sebelum dilakukan penilaian. Tidak beberapa bulan sebelum akreditasi.