“Tidak ada tragedi, yang ada hanyalah yang tak terhindarkan. Segala sesuatu ada alasannya: engkau tinggal memilah-milah mana yang sementara dan mana yang abadi.”
“Manakah yang sementara?”
“Yang tak terhindarkan.”
“Dan manakah yang abadi?”
“Pelajaran-pelajaran yang dipetik dari yang tak terhindarkan itu.”
--Paulo Coelho, Gunung Kelima
1969. 1988. 2000. 2001. 2002. 2006. 2007. 2008. 2009. 2010. 2011. 2020…
Kenapa angka-angka itu? Benarkah ada yang lama dan yang baru pada tahun-tahun kita? Waktu kita jalani sebagai hari ini demi hari ini. Dengan bayangan masa lalu yang kian lama kian memanjang. Adapun harapan masa depan berpijar menyemangati di dada. Terwujud oleh kini demi kini.
Kenapa angka-angka itu? Hanya satu lagi kegenitan manusiawi? Manusiawi, tampaknya iya. Genit atau tidak, biarlah penyair saja yang memberinya sebutan.
Bayangkan coba sebuah dunia tanpa penanda waktu. Murid-murid sekolah merengut karena tak tahu kapan berhenti duduk bersedekap di bangku kelas dan mulai bisa bertamasya ke luar kota. Sebelumnya, kapan pula seorang anak memasuki usia wajib belajar? Majikan dan karyawan bertengkar soal hari kerja dan hari libur. Ibu hamil bingung kandungannya tiga minggu atau sembilan bulan kurang sehari. Sang presiden mengeluh karena tak sempat rehat dari memikirkan nasib bangsa dan rakyat. Dan kita tak pernah berpesta ulang tahun.
Ya, kenapa angka-angka itu?
Barangkali ini: karena hidup perlu dibagi.
Pada mulanya pembagian hari sesederhana peralihan dari gelap ke terang. Ketika hidup kian rumit, kita mengenal saat tidur dan saat terjaga; musim kawin dan musim bertelur; waktu tanam dan waktu panen; masa perang dan masa damai; zaman batu dan zaman besi; era industri dan era informasi. Lalu, kita membubuhkan angka merah disela deretan angka-angka biru pada kalender.
Hidup, seperti diungkap Coelho, terdiri atas yang sementara dan yang abadi. Yang sementara seperti serpihan-serpihan debu yang terusir oleh angin. Yang abadi? Kita terus mencoba memaknainya di dalam hati.
Kita, karenanya, perlu jeda. Perlu ruang untuk tersenyum dan mensyukuri keberhasilan yang tercapai. Perlu berhenti untuk meredakan gulana, dan mengingat bahwa tak banyak kegagalan yang final: masih ada kesempatan untuk membereskan yang gawal dan memulai lagi dari titik yang kita bayangkan sebagai tahap yang baru dan awal. Perlu relung untuk mencerna tawa. Perlu naungan untuk memamah musibah.
Kita perlu jeda. Untuk memilah-milah yang sementara. Untuk menatah yang abadi. Untuk memberi nama pada detik-detik yang bergegas. Mencatat tanda. Memberi makna.
Tanpa jeda, tanpa kesempatan memberi nama, mungkinkah kita hanya bisa gila? ***