Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Nggak Lagi-lagi, Deh!

22 Agustus 2012   08:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:27 4110 0
Bagaimana rasanya 8 tahun tidak melihat rumah, tidak melihat orang tua, tidak melihat kampung halaman? Silahkan tanya ke Bapak saya. Delapan tahun adalah bilangan yang menggambarkan itu. Tahun 1989, saya dibawa mudik ke Jogja dari Bukittinggi bersama adik lelaki saya (yang waktu itu) satu-satunya. Delapan tahun berikutnya, Bapak mudik membawa keluarganya yang sudah berwujud rombongan dengan tambahan dua adik saya yang lain, satu cowok dan satu cewek.

Jadilah, tahun 1997 itu, keluarga kami yang terdiri dari 6 orang memulai sebuah perjalanan mudik yang jauh minta ampun. Waktu itu saya baru 10 tahun dan merupakan anak tertua. Adik saya berturut-turut berusia 9, 7, dan 2 tahun. Dan bagian terbaik dari semuanya adalah: kami menempuh perjalanan Bukittinggi-Jogja via DARAT. Dan silahkan bertanya bagaimana rasanya membawa 4 bocah dalam perjalanan sepanjang itu ke orang tua saya :)

Pulang ke rumah kakek dan nenek (saya memanggil mereka Mbah) adalah eksitasi anak kecil. Apalagi sudah sangat lama saya tidak ke Jogja. Jadi ketika Bus Gumarang Jaya kelas Ekonomi nampang di depan mata, yang ada hanya perasaan bersemangat minta ampun. Bus-nya berformasi 2-3, bertahun kemudian saya sadar kalau itu sempit sekali. Itu setelah saya merasakan enaknya naik bus Super Executive 2-1 via Pantura dan Jalur Selatan. Hehe..

Perjalanan ini nggak mudah. Ketika bus mulai berkelok-kelok menyusuri danau, rasanya sudah tak tertahan pusingnya. Obat ternama yang mengandung dimenhidrinat segera disiapkan oleh orang tua saya demikian pula dengan kantong plastik. Yah, namanya juga anak-anak. Untunglah, saya berhasil tidak muntah dan kemudian hanyut dalam lelap.

Berikutnya bus itu berhenti di daerah Sawah Lunto untuk makan siang. Hmmm, bagian terburuk dari perjalanan mungkin adalah bagian makan ini ya. Harga makanan di jalur bus ini mahal minta ampun dengan porsi yang sedikitnya minta ampun juga. Jadilah, sekeluarga ini hanya menyantap sepiring cincang, karena sesuai pengalaman, perhitungan didasarkan pada jumlah piring yang disentuh. Jadi kalau ada piring isi 2 ayam, dan cuma dicomot 1 ayam, maka itu dihitung dua ayam. Edan tenan kok.

Selanjutnya? Saya semakin menyadari bahwa perjalanan ini akan membosankan. Sepanjang jalan yang tampak hanya pohon saja. Jalur lintas Sumatera pada tahun itu benar-benar sunyi. Ya kalau nggak pohon, ada lagi sih, jurang. Selain itu, ada juga, sungai besar. Ya semacam itulah kira-kira.

Makan malam dilakukan di daerah Jambi, entah kota mana. Dan sesudah itu, bus akan bersiap memasuki jalur maut. Apa itu? Sesuai perintah kru bus, maka ketika kendaraan besar ini sudah memasuki jalur Lahat-Lubuk Linggau, seluruh jendela ditutup (sekadar mengingatkan, ini bus ekonomi :p) plus seluruh gorden juga menutupi jendela. Katanya sih, jalur ini rawan bajing loncat, perampokan dan sejenisnya. Beruntung saat itu saya nggak mengalaminya. Ada sih mengalaminya tapi dalam perjalanan lintas Sumatera yang lain lagi :)

Di pagi hari, tahu-tahu sudah Lampung. Saya bangun dengan hamparan kebun di kiri dan kanan. Sesekali ada rumah-rumah dengan kata-kata yang saya ingat "bertapis" dan lanjutan dari kata itu berbeda di setiap kabupaten. Semoga nggak keliru ya.

Siang hari bolong, tidak cukup lama sesudah makan siang, sampailah bus di pelabuhan Bakauheni. Bus ini akan menyeberang ke Jawa via Selat Sunda. Cuaca cerah karena itu bulan Juni, lagi terik-teriknya malah. Saya mulai menderita karena ini bus ekonomi dan jendela dibuka sehingga seluruh asap knalpot kendaraan aktif keluar masuk bus yang saya naiki. Mata ini rasanya pedih sekali. Satu jam lamanya derita ini terjadi sebelum kemudian bus masuk ke lambung kapal dan penumpang diminta turun dari bus dan memasuki tempat penumpang.

Dan kenapa judul tulisan ini adalah seperti yang tertulis di atas?

Ini dia kisahnya.

Menjelang sore selepas Merak, keluarga saya diturunkan di tepi jalan, di depan sebuah masjid.

"Kok turun disini, Pak?" tanya saya.
"Nanti ganti bus."

Bus itu, walaupun ekonomi, tapi cukuplah untuk dibilang nyaman. Setidaknya saya bisa duduk manis.

Sembari menanti bus, saya dan adik-adik disuruh ganti baju, di pinggir jalan/di teras masjid. Ehm, saya sudah 10 tahun kala itu, dan sudah mulai punya rasa malu pastinya. Ini bukan kemauan saya, tapi mana berani melawan kehendak orang tua, apalagi di tempat umum macam itu.

Ketika gelap menjelang, akhirnya kami naik ke sebuah bus. Berharap ini indah? Pasti. Tapi bagi saya, inilah bus paling tidak manusiawi sepanjang hayat saya naik bus sampai saat ini.

Bus itu kala tidak salah jurusan Lampung-Jogja, entah merk apa, dan yang pasti ekonomi. Bus operan itu sebenarnya sudah sangat penuh sesak dengan manusia, namun masih tetap memasukkan rombongan 2 orang dewasa dan 4 anak labil ke dalamnya. Maka keluarga bahagia kami terpecah. Saya dan Bapak di belakang, sisanya di depan. Di belakang inipun ya bukan di kursi lho.

Pernah lihat undak-undakan alias tangga di pintu belakang bus menuju kursi di bagian atas? Ya, persis. Disitulah saya dan Bapak duduk. Jadilah, ketika bus masuk Jakarta, saya hanya melihat gedung-gedung tinggi sambil duduk di lantai bus, sambil merasakan getaran roda bus yang penuh sesak dengan orang. Dan yang pasti, saya nggak bisa tidur.

Begitulah, sampai pagi ketika kemudian memasuki daerah Brebes, banyak penumpang yang turun dan saya bisa bersatu dengan keluarga saya yang lain di bagian depan bus. Bau badan sudah semacam ikan pepes, perpaduan keringat dan asap rokok (ingat, ini bus ekonomi dan orang bebas merokok dimanapun). Entah jam berapa, yang jelas sudah panas, kami sampai di Jogja. Bapak memilih turun segera dan mencari taksi untuk menuju rumah Mbah di utara Jogja. Bentuk kami? Antah berantah. Satu hal yang disyukuri, kami selamat sampai tujuan.

Berangkat hari Minggu siang, Senin siang saya merasakan panasnya Bakauheni, dan Selasa siang menikmati Jogja. Sebuah perjalanan yang panjang sekali, penuh derita pulak. Sebuah pelajaran bagus untuk bocah usia 10 tahun. Dan kemarin ketika saya mudik, lantas cerita-cerita dengan orang tua soal pengalaman itu, Bapak dan Mamak hanya bilang, "Yah, namanya hidup. Pengalaman itu perlu kan?"

Ya sudah, pengalaman biarlah jadi pengalaman. Saya sih nggak lagi-lagi begitu. Kapok pakai banget. Tapi ada daya, setelah edisi 1997 itu, saya masih punya cerita naik bus lagi tahun 1999 (Bukittinggi-Jakarta-Jogja-Bandung-Bukittinggi), 2001 (Bukittinggi-Jakarta-Cirebon-Jogja), 2003 (Jogja-Bukittinggi-Jogja), 2004 (Jogja-Bukittinggi). Semua punya kisahnya masing-masing, kalau sempat saya tuliskan deh disini :)

Salam!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun