Saya iseng update status soal ini, dan beberapa teman memilih berkomentar sendiri-sendiri. Ada yang suka, karena rumahnya di Gombong. Ada yang nggak suka, karena rumahnya di Banguntapan. Ya, ini kan relatif.
Bagi orang-orang yang rutin main-main ke bandara di Indonesia pasti paham betapa mungil-nya bandara Adisucipto yang sekarang jadi akses masuk Jogja via udara. Saya sih hampir selalu ngeri kalau landing di Jogja. Kenapa? Landasannya itu terhitung pendek. Sehingga begitu menapak tanah, rem-nya berasa dalam. Beda ketika mendarat di bandara-bandara berlandasan panjang macam Soekarno Hatta, Minangkabau, atau SMB II.
Belum lagi, itu bandara sebenarnya juga dipakai oleh AU. Saya sempat berurusan dengan pihak AU ketika mahasiswa dan sempat masuk ke kantor-kantor di kompleks blok O dan paham betapa dekatnya kantor AU dengan bandara yang juga komersial.
Kalau mau take off di Jogja juga lama. Kenapa? Karena jalur take off dan landing-nya ya cuma 1. Jadi kita harus nunggu satu pesawat kelar dulu, baru bisa berangkat atau mendarat.
Belum lagi soal akses masuk yang juga mungil dan kalau musim liburan tak kalah dengan antri KPR *ini beneran, saya pernah ngalami dua-duanya* Hehe..
Itu bagian yang nggak enaknya.
Bagian yang enak? Tentu saja, bandara sekarang sangat access friendly. Saya dulu tinggal di Paingan yang paling banter 10 menit dari bandara. Akses ke kota juga terbilang tidak jauh. Demikian pula sistem integrasi yang mantap dengan perpaduan Damri, Trans Jogja, plus Kereta Api. Masih belum cukup, ketika kita keluar ke Jalan Solo, tinggal stop bis Solo Surabaya sudah bisa kemana-mana juga. Mudah sekali.
Jelas, sekarang bandara Jogja memang sangat memanjakan dalam soal jarak. Kalau di Padang, misalnya, 10 menit itu baru nyampe jalan akses. Kalau di Palembang, 10 menit itu baru sampai perempatan Alang-Alang Lebar, masih jauh dari kota. Kalau di Jakarta? Yah, 10 menit belum tentu keluar dari area bandara. Hehehe.. Tapi di Jogja, 10 menit itu sudah sampai Jalan Raya Janti yang sudah termasuk kota.
Nah, melihat traffic yang tinggi, sudah jelas, bandara mungil ini perlu dibesarkan. Tapi, jelas nggak bisa. Pengguna rutin pasti paham kalau di ujung-ujung bandara ini sudah benar-benar mentok. Nggak bisa diperpanjang lagi. Demikian juga diperlebar. Maka jelas, karena tidak bisa dibesarkan, harus dipindahkan.
Ini jelas kebutuhan karena penggunaan moda transportasi udara semakin lama semakin diperlukan, belum lagi mobilitas di era modern ini semakin tinggi.
Sekarang, apakah para pengguna siap untuk beradaptasi dengan jarak bandara baru ini? Siap kehilangan kemudahan yang sudah pernah ada sebelumnya? Itu masalahnya.
Perlu disediakan akses yang friendly dari sisi penggunaan dan tentunya cost. Ketika saya pertama kali ke Palembang, satu-satunya alat transportasi ya cuma taksi. Sekarang aja baru ada Trans Musi. Jadi kalau mau ke bandara Palembang dan ngirit, ya harus mbajak teman untuk nganter biar murah.
Model di Jakarta tentu layak guna. Kalau memang bandara jadi di Kulonprogo, tentu diperlukan sarana seperti Damri Bandara di Cengkareng untuk akses ke kota Jogja dan sekitarnya. Jangan nanti malah, sudah dibangun bandara bagus-bagus, katanya 10 kali lebih besar, eh pengguna lebih milih mendarat di Solo karena faktor akses yang lebih mudah. *ini pendapat teman saya di FB*
Satu lagi, mungkin belum terpikir, tapi usaha-usaha di sekitar bandara juga perlu diperhatikan. Kita tahu, sisi utara jalan Solo itu ada oleh-oleh banyak, ada hotel-hotel besar kecil, yang pasti akan berkurang income-nya ketika bandara dipindah. Semoga dapat menjadi pemikiran bersama juga.
Sebagai makhluk hidup yang tumbuh hampir 8 tahun di Jogja, dari SMA sampai kuliah, bagaimanapun Jogja tetap di hati. Segala yang ditujukan untuk kebaikan Jogja tentunya perlu didukung. Semua kan demi kepentingan bersama.
Salam! :)