Melihat angka yang dipalsu saja sudah terpana, akan lebih terperanjat lagi jika tahu yang dipalsu ijazah itu bukan ijazah SD, SMP atau SMA tapi ijazah Akta VI (1030 ijazah), S1 (515 ijazah), S2 (99 ijazah). Sampai ijazah S2-kah? Eh eh jangan salah ternyata S3 juga dipalsu dengan angka mencapai 17 lembar ijazah, ditunggu sebentar lagi bisa jadi ijazah proffesor pun (yang bertanda-tangan harus presiden itu) bisa dipalsu atau kalau boleh bersu'udhon barangkali sudah terjadi tapi belum terungkap kasusnya.
Bayangkan, kasus ini hanya di Jawa Timur tok, bagaiamana dengan daerah-daerah lain di Indonesia, semoga saja tidak ditemukan.
Beberapa tahun yang lalu kejadian ini memang pernah terungkap, eh ternyata sekarang terulang dan berulang lagi, entah sampai kapan ini akan berhenti?
Mengapa sedemikian pentingnya sebuah ijazah, sampai-sampai berani mengeluarkan kocek yang tidak sedikit kisaran 12,5 juta sampai 70 juta, menjadi sebuah tanya besar tanpa kesegajaan/tidak tahu ataukah memang sudah setali tiga uang antara penjual (pembuat) dan pembelinya? Kalau tidak tahu dan tidak sengaja berarti memang korban yang perlu diungkap pemain-pemainnya. Yang repot adalah andai konsumennya ternyata sudah mengetahui bahwa ijazah yang diperoleh memang asli tapi palsu, ya tidak mungkinlah dia berani mengakui terus terang sebagai korban, mau ditaruh di mana nih muka jika ketahuan ijazahnya ternyata palsu, kecuali kalau memang sudah tidak berkemaluan lagi, maksudnya rasa malu sudah luntur dalam kodratnya.
Sungguh pencarian jalan pintas yang menggoda bagi konsumen yang sudah tahu bahwa proses yang ditempuhnya adalah illegal, demi memperoleh status kehidupan yang menggiurkan entah untuk menjadi anggota dewan barang kali atau untuk melamar sebagai pegawai negeri barangkali atau agar status kepegawaiannya cepat menanjak ataukah agar mendapat tunjangan profesi pendidikan karena ada program sertifikasi pemerintah atau hanya demi mengejar prestise belaka (yang ini ndak mungkin barangkali ya?).
Tidak tahu di perguruan tinggi negeri, barangkali kasus ini tidak pernah terjadi atau pernah juga, yang rawan kejadian adalah PT swasta, tidak tahu juga kenapa bisa terjadi, kan sudah ada Kopertis/Kopertais! Apakah koordinator perguruan tinggi swasta ini begitu longgar dan tumpul dalam pengawasan dan pengendalian, bukankah PTS-PTS itu ada di bawah koordinatornya. Parah kasusnya baru bisa terungkap saat ini, padahal menurut tersangka dia sudah melakukan kegiatan ilegalnya sejak tahun 2007 (setelah 6 tahun baru terungkap).
Sungguh enam tahun bukanlah waktu yang pendek untuk mengungkap kasus ini, tak adakah pelapor dari korban (kalau memang benar-benar korban), atau bagaimana mungkin Kertas PERURI (bukan sembarang percetakan melainkan percetakan pemerintah oke punya gitu lo), yang mempunyai ciri khusus hologram berseri cetakannya ditambah berstempel itu lolos di meja korektor Kopertis? Betapa ini sebuah kecerobohan di atas kecerobohan yang memalukan
Yang kasihan adalah PTS-PTS yang lembagannya dicatut sebagai lembaga yang mengeluarkan ijazah palsu itu, di saat gencar-gencarnya promosi positif untuk memperoleh mahasiswa baru, ditambah persaingan memperoleh mahasiswa baru antar perguruan tinggi begitu ketat, wajah lembaganya tercoreng oleh oknum-oknum nakal. Dan akibat vital yang diperoleh adalah masyarakat tidak akan menaruh kepercayaan lagi kepada lembaga tersebut. Kalau masyarakat sudah tidak menaruh kepercayaan lagi lantas siapa yang akan kuliah di lembaganya tersebut.
Akhirnya memang ada penjual ada pembeli, ada penawaran ada permintaan atau ada kebutuhan dan ada yang sanggup memenuhi kebutuhan tersebut, meskipun toh palsu-memalsu ini adalah nyata-nyata tindakan penyelewengan yang melawan hukum, tetap saja kasus ini akan terus terjadi tergantung kita bagaimana menyikapinya, karena ini adalah musuh kita bersama pemerintah dengan lembaga terkaitnya, kepolisian, lembaga-lembaga hukum, lebih-lebih dalam masyarakat sendiri masihkah menaruh harap melalui jalan yang tidak semestinya? Tentunya tidak bukan?