Sekelumit cerita di atas bukanlah ingin membandingkan kejadian kemarin dengan cerita kartun anak-anak di televisi. Bukan juga bermaksud mengecilkan arti dari bencana yang telah memporak-porandakan Tasikmalaya dan sekitarnya, serta membawa korban jiwa. Tak pula ingin menyalahkan warga yang jadi korban karena tak “meniru” latihan seperti gambaran di atas. Hanya ingin melakukan refleksi atas bencana kemarin. Terutama ketika getaran dari kerak bumi itu menguat. Apa yang harus dilakukan agar korban akibat kepanikan itu tak jatuh.
Seperti yang dilansir detik.com Rabu kemarin (2/9), sebanyak empat mahasiswa Perbanas pingsan akibat terinjak-injak ketika kepanikan melanda. Di tempat lain juga mengisahkan hal serupa. Orang-orang yang pingsan akibat berdesak-desakan akibat panik karena gempa. Kejadian ini tentu saja kontra-produktif dengan upaya mitigasi bencana dalam ruangan. Namun, tak ada pihak yang perlu disalahkan dalam hal ini karena pendidikan akan reaksi cepat terhadap bencana alam memang kurang.
Berhamburannya orang-orang dari dalam ruang kerja dengan teriakan-teriakan, “ada gempa, ada gempa, gempa…” dan terdengar bersahut-sahutan juga terjadi di sekelilingku. Ketenangan dalam ruangan tiba-tiba pecah seketika kala bumi bergoyang. Badan terasa bergoyang dengan sendirinya, juga semua benda yang ada. Teriakan-teriakan ada gempa tak terhindar. Ajakan untuk segera ke luar dari ruangan pun menggema kencang. Begitu pula suara-suara dari ruang atau lantai lainnya juga cukup kencang. Bunyi tapak kaki orang berlarian nyaring bunyinya.
Ditengah kepanikan dan teriakan itu, sekonyong-konyong film kartun Jepang menghampiri. Langsung saja teringat saat Sinchan latihan menghadapi gempa. Secara otomatis, kolong meja di depan langsung jadi tempat persembunyian sembari “tertawa” melihat orang-orang yang panik. Orang-orang yang berteriak dan berlarian hendak keluar dari ruangan. Di kolong meja, ketenangan itu ada. Namun, setelah cukup normal dan getaran dari dalam bumi berkurang, meja tak jadi lagi persembunyian. Turut juga ke luar ruangan sambil membawa laptop. Mengapa terus dibawa? Tanggung sekali. Tinggal sekali klik saja, dan comment terkirim masalahnyaJ.
Keputusan untuk tetap tinggal di kolong meja saat gempa bukanlah tanpa perhitungan. Andai saja perkiraan terburuk terjadi, bangunan runtuh, kesempatan ke luar ruangan sangat tipis. Gempa tak terjadi dalam waktu cukup lama. Sangat singkat, dan sangat mematikan. Dengan perhitungan seperti itu, keputusan di kolong meja cukup tepat. Memunyai probabilitas paling tinggi untuk penyelamatan kala gempa terjadi karena cepatnya waktu. Berlari berhamburan bisa diaartikan membuang waktu. Cukup beresiko terhadap keselamatan.
Pasca gempa, ssemuanya tenang kembali. Hanya ada cerita-cerita pengalaman saat gempa dalam waktu sangat singkat itu terjadi. “Di lantai 2 rasanya seperti gedung ini mau roboh saja,” ujar salah seorang teman yang menceritakan pengalamannya. “Kamu belum tahu rasanya bagaimana di lantai 3, sangat menakutkan,” tutur lainnya. Perbincangan-perbincangan seperti itu mewarnai hingga semua kembali ke tempat masing-masing. Namun, antara percaya dan tidak, gempa itu memang terjadi. Seorang teman dengan cepat memberi kabar lewat facebook bahwa gempa yang terjadi baru saja berkekuatan 7,3 SR dengan episentrum sekitar Tasikmalaya. Tubuh pun langsung lemas, “semoga tak ada korban jiwa dan harta benda.”
Selang beberapaa lama, pesan singkat berdatangan ke nomor telepon genggam. Semunya menanyakan keadaan ketika gempa terjadi. Kekhawatiran ini muncul karena salah satu stasiun televisi swasta nasional memberitakan suasana riuh-rendah saat orang-orang berhamburan ke luar ruangan. Menanyakan posisi dan keadaan saat kejadin itu berlangsung. Jawaban cukup singkat saja. “Aku saat itu tak keluar ruangan. Aku sembunyi di kolong meja karena saat gempa terjadi terinspirasi Sinchan.” Jawaban itu bukanlah main-main karena kolong meja itu menyediakan ketenangan. Tak perlu panik dengan lari. Lari pun bisa saja kalah dengan waktu karena gempa terjadi dalam durasi singkat. Amat sangat singkat.
Perasaan pasca gempa yang terjadi pada pukul 14.55 WIB tersebut lenyap seketika saat surat kabar hari ini menunggu dibaca (maklum, malas lihat TV:D). Media-media on-line pun tak ketinggalan memberitakaan dampak gempa tersebut. Ternyata, korban jiwa dan harta benda berjatuhan. Menurut berita yang dilansir vivanews.com (3/09), sebanyak 46 orang dinyatakan tewas akibat gempa. Juga beberapa orang hilang akibat tertimbun longsoran. Begitu pula harta benda. Banyak sekali bangunan-bangunan runtuh. Seorang teman mengabarkan bahwa toko milik saudaranya di Tasikmalaya juga rata dengan tanah akibat gempa. Namun, kabar seorang teman on-line belum juga muncul dari Tasikmalaya. Semoga dia baik-baik saja. Para korban juga diberi kekuatan hati untuk mengahadapi musibah ini, serta daerah mendapat perhatian lebih dari pemerintah, bukan Jakarta.
Sayang, amat sangat. Korban pun tak hanya jatuh di lokasi terdekat dari episentrum gempa. Jakarta juga membawa korban meski tak sampai meninggal. Mereka jadi korban gempa karena berdesak-desakan dan terinjak satu sama lain ketika berhamburan ke luar gedung. Pingsan. Kejadian ini sebenarnya tak perlu terjadi bila mau meniru film-film kartun di layar kaca. Pelajaran sangat berharga, terutama kala mereka sedang berlatih menghadapi gempa. Upaya bersahabat dengan gempa karena negeri asal film-film kartun tersebut, Jepang, tak pernah absen dari gempa. Mereka pun menjadikannya sahabat dengan cara sembunyi di kolong meja meski pun tindakan ini tak menjamin sepenuhnya, tapi bisa meminimalkan ekses. Sudah saatnya anak-anak sekarang belajar bagaimana “bersahabat” dengan alam karena Indonesia rawan bencana akibat berada di ring on fire.
Tulisan yang pernah ditulis di blog pribadi pasca gempa Tasikmalaya 2009