Untuk menjawab pertanyaan ini, saya gunakan pengalaman ketika melakukan perjalanan di Eropa. Saat itu, saya lakukan penerbangan Moskow-Amsterdam via London gunakan maskapai LCC dengan harga tiket “hanya” USD 200. Kalau gunakan pesawat full service harganya jauh lebih mahal. Apakah aspek keselamatan diabaikan dalam penerbangan tersebut? Tidak. Sebagai penumpang, LCC dengan full service memang berbeda dari sisi kenyamanan yang bersifat tersier. Tidak ada makanan-minuman gratis pramugari/pramugara cuma 3 orang, dan kursi tak selega full service. Untuk keselamatan, tak ada bedanya.
Penerbangan murah sudah menjadi trend di Eropa. Bayangkan saja, jika LCC dituduh kurang peduli dengan keselamatan, riwayat mereka pasti tamat. Maskapai LCC pasti dilarang terbang di langit Eropa. Faktanya, pesawat-pesawat berlabel LCC tersebut bisa leluasa take off dan landing di bandara-bandara Eropa terkemuka. Uni Eropa mustahil memberikan izin terbang bagi maskapai LCC jika tak penuhi standar penerbangan. Malahan, maskapai terkemuka dari tanah air pernah dilarang terbang di langit Eropa meski tidak berstatus LCC.
Seorang kawan yang bekerja di salah satu maskapai internasional terkemuka kaget dengan kebijakan peniadaan LCC di Indonesia. Bisa dikatakan, kebijakan tersebut aneh dan tak relevan. LCC dengan full service beda konsep tapi aspek keselamatan tetap nomor satu. Soal fuel on board, transit time, dan load pilot sudah sesuai standar CASR, FAR, dll.. “Aturan penerbangan itu terukur, dibuat dengan berbagai pertimbangan dan di-update secara berkala,” ujarnya.
Data peristiwa kecelakaan bisa jadi acuan tentang aspek keselamatan penerbangan. Ada beberapa kategori jenis penerbanga, yaitu: LCC, full service, cargo, perintis, dan carter (sewa). Penulis menggunakan data dari wikipedia untuk mempermudah pencarian data. Dari data tersebut bisa disimpulkan, kecelakaan pesawat terbang paling banyaik dialami oleh penerbangan full service (lihat data kecelakaan maskapai internasional). Dengan data tersebut, kebijakan peniadaan LCC di Indonesia patut dipertanyakan jika gunakan alas an aspek keselamatan.
Ada pertanyaan mendasar mengapa muncul kesimpulan tersebut. Pertama, mengapa penerbangan LCC di Eropa tak bermasalah? Padahal kita semua tahu, standar penerbangan di dunia hanya ada 1. Semua maskapai wajib mematuhi standar tersebut. Apabila LCC dianggap kurang maksimal perhatikan aspek keselamatan, Uni Eropa pasti melarang maskapai LCC terbang di langit Eropa. Faktanya, tidak. Artinya, ada masalah dalam pengawasan oleh otoritas yang berwenang. Kedua, mengapa Kemenhub tidak melakukan koreksi internal terlebih dulu sebagai pemegang otoritas transportasi di Indonesia? Kecelakaan yang menimpa Air Asia dengan beragam persoalan lanjutannya menandakan ada masalah di dalam internal pembuat kebijakan/otoritas pengawas.
Kebijakan Kemenhub yang meniadakan penerbangan murah mengindikasikan adanya masalah dalam standar internasional terkait penerbangan. Sayangnya, di tempat lainnya di dunia, hal tersebut tak bermasalah. Hebat juga ya Kemenhub kalau begini ceritanya. Kebijakan ini barangkali bisa dianalogikan dengan lagu dangdut yang pernah populer, “mending tuku sateen daripada tuku wedhuse”. Atau trik mahasiswa ketika akhir bulan dan dompet blong, ingin makan sate yang kemudian disubtitusikan dengan mie instant rasa sate. Buruk muka cermin dibelah.
Catatan: tulisan ini tidak bermaksud membela maskapai penerbangan mana pun. Lebih pada bagaimana harus berpikir adil terhadap masalah yang ada. Selain itu, juga tidak bermaksud meniadakan fakta terjadinya kecelakaan pesawat terbang yang terjadi beberapa pekan lalu.