Disclaimer: Tulisan ini tidak dalam posisi mengkomentari/menganalisa kebenaran video Samin vs Semen atau benar tidaknya putusan PTUN yang telah dikeluarkan tanggal 16 April 2015, tidak juga dalam kaitan pihak yang berkepentingan langsung maupun tidak langsung. Analisa ini lebih pada semacam sebuah studi atau pemikiran, mengapa di Rembang tidak ada Samin (berdasarkan artikel-artikel di Wikipedia ataupun tulisan para blogger, media online dll). Jika opini kemudian ada "yang merasa" diuntungkan ataupun dirugikan, maka tidak ada maksud penulis membuat opini seperti itu.
Jadi dari berbagai tulisan tersebut, maka selanjutnya penulis mencoba menganalisa mengapa di Rembang tidak ada masyarakat Samin serta dikaitkan dengan pemanfaatan SDA yang tidak hanya memperhatikan faktor lingkungan (kelestarian) tetapi juga faktor sosial (kehidupan masyarakat yang bergantung pada alam (baca : tidak mau kehidupan modern))
Fakta 1 : https://saminist.wordpress.com/
Pada zaman itu, kata mereka, orang Samin sangat menderita. Mereka dipaksa membayar pajak. Mereka dipaksa ikut blandhongan, melakukan kerja rodi atau kerja paksa sebagai penebang dan pengangkut kayu di hutan jati. Kalau menolak, mereka akan didatangi pamong desa atau pelpulisi, polisi pemerinah Hindia Belanda. Mereka ditangkap dan disiksa. Banyak tanah pertanian mereka dirampas untuk ditanami jati.
Perlakuan kejam itu mengakibatkan mereka mengalami kekurangan pangan. Badan mereka kurus-kurus. Mereka tak punya keberanian melawan, karena tak punya semangat dan senjata. Padahal, tanah yang mereka miliki rata-rata juga tak begitu layak untuk bertani.
Tapelan, misalnya, adalah desa yang “tandus. Bila musim hujan, air yang tercurah dari langit tidak meresap ke dalam tanah, tapi terus mengalir ke… kali kecil di sekitarnya, dan kemudian bermuara di Bengawan Sålå. Hal ini disebabkan oleh… struktur tanah desa… terdiri… tiga lapis… atas… tanah liat, pasir, dan sedikit kapur… tengah… tanah padas… bawah… batu-batuan. Struktur tanah yang demikian ini tentu saja tidak menguntungkan pertanian,” tulis Profesor Suripan.
Karena itu, tidak salah apa yang disimpulkan oleh Dr. C.L.M. Penders bahwa “Tampak jelas Gerakan Samin terutama berakar pada kekecewaan ekonomi. Kawasan tempat kebanyakan orang Samin tinggal, tanah kapur liat tak teririgasi di Bojonegoro dan Blora, demikian miskin.”
Fakta 2 : http://id.wikipedia.org/wiki/Ajaran_Samin
Tersebar pertama kali di daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah. Pada 1890 pergerakan Samin berkembang di dua desa hutan kawasan Randublatung, Blora, Jawa Tengah. Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-desa lainnya. Mulai dari pantai utara Jawa sampai ke seputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan, atau di sekitar perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur menurut peta sekarang.[8]
Fakta 3 : http://wongsamins.weebly.com/sejarah-samin.html
Pada tahun 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora. Banyak penduduk di desa sekitar yang tertarik dengan ajarannya, sehingga dalam waktu singkat sudah banyak masyarakat yang menjadi pengikutnya. Pada saat itu pemerintah Kolonial Belanda belum tertarik dengan ajarannya, karena dianggap sebagai ajaran kebatinan biasa atau agama baru yang tidak membahayakan keberadaan pemerintah kolonial. Pada tahun 1903 Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 722 orang pengikut samin yang tersebar di 34 Desa di Blora bagian selatan dan daerah Bojonegoro. Mereka giat mengembangkan ajaran Samin. Sehingga sampai tahun 1907 orang Samin berjumlah + 5.000 orang. Pemerintah Kolonial Belanda mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan.
Dengan demikian ajaran Samin surosentiko bukanlah ajaran yang pesimitis, melainkan ajaran yang penuh kreatifitas dan keberanian. Samin Surosentiko yang hidup dari tahun 1859 sampai tahun 1914 ternyata telah memberi warna sejarah perjuangan bangsa, walaupun orang-orang di daerahnya, Blora yang bukan warga Samin mencemoohkannya, tapi sejarah telah mencatatnya, dia telah mampu menghimpun kekuatan yang luar biasa besarnya. Ajaran-ajarannya tidak hanya tersebar didaerah Blora saja, tetapi tersebar di beberapa daerah lainnya, seperti : Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Madiun, Jember, Banyuwangi, Purwodadi, Pati, Rembang, Kudus, Brebes, dan lain-lain.
Masyarakat Samin Tidak Berada Di Pusat Kekuasaan Belanda
Struktur Pemerintahan Belanda yang memiliki pewilayahan dalam bentuk Karisedenan, menjadikan daerah yang menjadi pusat Pemerintah akan memiliki pengaruh kekuasaan yang paling kuat. Pada jaman kolonialisme, Madiun dan Rembang adalah menjadi pusat Pemerintahan Belanda, lalu kaitannya dengan masyarakat Samin seperti apa?. Ajaran Samin yang menggelorakan perlawanan terhadap Belanda yang salah satunya dilandasi motif ekonomi yaitu "tidak mau membayar pajak" menjadi menarik perhatian saat itu, sehingga dengan cepat jumlah masyarakat Samin berkembang dari sekitar 722 orang di tahun 1903 menjadi sekitar 5.000 orang di tahun 1907. Kemiskinan selama penjajahan menjadikan ajaran Samin sangat menarik untuk diikuti, ini sama dengan berkembang pesatnya ajaran sosialis/komunis yang bahkan diawal kemerdekaan RI partai komunis pada pemilu 1955 mendapatkan kursi yang sangat besar. Setelah berjuang habis-habisan pada perang kemerdekaan, maka ekonomi Indonesia saat itu hancur lebur, yang ditandai pula pemberontakan di daerah yang juga faktornya sama yaitu ekonomi.
Pertanyaannya kemudian di daerah mana pada akhirnya masyarakat Samin berkembang?. Tentunya dengan berbagai ajaran Samin yang akan menjauh dari pusat kekuasaan bahkan menghindari perdagangan, karena perdagangan adalah pintu dari ketidakjujuran, maka seiring dengan sikap represif dari Penjajah Belanda, maka masyarakat Samin terkonsentrasi/berkonsolidasi pada daerah-daerah yang jauh dari kekuasaan. Fakta ini dibenarkan dengan adanya laporan bahwa pada tahun 1970, masyarakat Samin baru tahu jika penjajah Belanda sudah pergi (baca : Indonesia merdeka). Jadi bisa diterima akal pikiran jika kenapa masyarakat Samin tidak berdomisili di Rembang, ya...salah satu alasannya tentu daerah tersebut adalah kekuasan penjajah Belanda.
Dalam literatur modern, disebutkan saat ini, termasuk pengakuan beberapa masyarakat di daerah yang dulu ada masyarakat Samin, bahwa daerah yang masih ada masyarakat Samin adalah Bojonegoro, Blora dan Pati. Ini tentu wajar, mengingat saat terjadi represif terhadap masyarakat Samin di era penjajahan, masyarakat Samin terkonsolidasi pada wilayah tertentu. Seiring dengan kemajuan jaman dan mulai terbukanya masyarakat Samin mengikuti perkembangan, maka daerah-daerah yang bukan menjadi pusat konsentrasi masyarakat Samin lama kelamaan melakukan adaptasi dengan budaya modern, sehingga mereka mulai mensekolahkan anaknya, menggunakan listri dan peralatan listrik dsb. Jika di Banten maka perubahan ini identik dengan terciptanya masyarakat "Baduy Dalam dan Baduy Luar". Masyarakat yang mulai beradaptasi dengan budaya modern adalah Baduy Luar.
Penjajahan Menciptakan Pusat Perlawanan Rakyat, Era Modern Komunitas Tertentu Tempati Wilayah Tertentu
Dari analisa diatas dapat disimpulan bahwa era penjajahan Belanda yang berlangsung ratusan tahun (+/- 350 tahun) menciptakan kelompok/ajaran berbasis pada masyarakat tertentu, yang kemudian kelompok masyarakat tersebut pada akhirnya terkonsentrasi di daerah yang jauh dari kekuasaan. Struktur Pemerintahan Indonesia pasca Kemerdekaan yang masih mengikuti peninggalan Belanda, menjadikan pasca Kemerdekaan sampai Era Orde Baru struktur tersebut masih ada, yang artinya adalah menjadi pusat ekonomi. Di era Reformasi kemudian dihapuslah Polisi Wilayah, Karisidenan dll. Sehingga di aparat kepolisian hanya ada Polres yang berbasis di Kabupaten, dahulunya ada Polwil yang membawahi beberapa Kabupaten.
Petakan & Lindungi Kearifan Lokal, Agar Ekonomi Dapat di Bangun
Perubahan struktur pemerintahan dan era modern, maka dibutuhkan pemetaan/sensus masyarakat lokal/khas yang ada seperti Samin, Baduy, Suku Anak Dalam dll. Mengapa? karena seiring dengan perkembangan jumlah penduduk yang terus menyebar/bertambah serta seiring kebutuhan untuk mengelolah SDA, maka pada akhirnya akan terjadi irisan, dimana masyarakat akan berdomisili di area dekat lokasi SDA yang diolah (baca tambang). Bagi masyarakat modern, maka berpindah-pindah lokasi adalah hal yang biasa, tetapi bagi masyarakat khusus seperti masyarakat Samin, berpindah adalah hal yang "hampir tidak mustahil" karena mereka menganggap lokasi tempat hidup dan mencari penghidupan adalah bagian dari hidupnya. Meninggalkan lokasinya adalah hal yang tidak mungkin.
Konflik dengan masyarakat khusus ini, mungkin tidak terjadi karena dari sifat mereka yang selalu menyingkir menghindari kekerasan maka sebenarnya sudah mengurangi potensi konflik. Namun, yang harus diwaspadai adalah "pihak lain" (bisa oknum LSM, oknum aparat, oknum ormas dll) yang ingin memanfaatkan kondisi tersebut untuk kepentingannya dengan mencoba membenturkan masyarakat khusus tersebut dengan pihak lain.
Dalam konteks peraturan pemerintah yang mengatur daerah mana yang boleh ditambang ataupun tidak, hendaklah pula mengkaji aspek budaya. Apakah Kepmen ESDM no 2641 K/40/MEM/2014 menyatakan karst: Pati, Grobogan dan Blora tidak boleh ditambang. Kemudian era modern masyarakat Samin jika dicroscek adanya di Pati, Blora dan Bojonegoro.
Pertanyaannya apakah dalam membuat aturan sudah memasukkan aspek melihat unsur budaya ataukah hanya aspek geologi semata?, sepertinya belum. Meskipun dalam isinya beberapa sudah pas seperti Karst Rembang boleh di Tambang dari aspek geologi. Tapi apakah saat memutuskan dikaji juga selain aspek geologi yaitu aspek masyarakat seperti apakah disitu ada masyarakat Samin?. Kalau pada akhirnya ternyata di Rembang (karst Rembang tidak ada masyarakat Samin), penulis menyakini ini hanya kebetulan saja, artinya "lha kok ya pas gitu". Selanjutnya perlu diteliti juga apakah di Grobogan ada masyarakat Samin? jika tidak ada dan secara geologi memungkinkan di tambang, kenapa tidak ditambang?. Sehingga aturan bisa lebih diketat pada daerah yang ada masyarakat Samin seperti di Pati yang karena ada masyarakat Samin, dan Pati sudah dimasukkan tidak boleh ditambang maka diperkuat dengan aturan yang lebih kuat lagi. Dengan analogi yang sama diberlakukan ditempat lain dalam konteks karst & masyarakat.
Oleh karena itu industri semen dapat di dorong untuk dibangun di Rembang ataupun Grobogan. Ini juga melindungi investasi dari kepastian hukum sekaligus melindungi masyarakat lokal yang memang bergantung pada alam. Tentu kebijakan ini harus segera diambil, agar tidak ada yang dirugikan. Sebelum investor sudah "terlanjur menanamkan modalnya untuk belanja alat (belanja investasi)" segera dikeluarkan aturan yang lebih komprehensif dan melindungi kedua belah pihak (investor dan masyarakat lokal/khusus).
Begitupula untuk industri lain diluar semen seperti perkebunan kelapa sawit yang di Sumatera berkonflik dengan beberapa suku/masyarakat khusus. Dan tentu masih banyak lagi contoh-contoh yang bisa diberikan.