Tahun 2013, Kabupaten Pacitan menjadi kabupaten terakhir di Jawa Timur yang saya datangi. Genap sudah seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut saya sambangi dengan bebagai alasan. Sejak memutuskan melanjutkan pendidikan tinggi di Malang pada tahun 2004, saya konsisten menurutkan kehendak untuk mengenali keragaman budaya dan alam negeri ini.
Namun, sebuah perasaan tidak nyaman terus mengusik atas kekurangajaran saya terhadap tanah leluhur sendiri, yakni Kalimantan. Bagaimana tidak? pada rentang 2004 – 2013 saya sudah berkeliling Jawa Timur -diselingi ke sebagian wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat, hingga Pulau Lombok- namun terhadap Kalimantan hal tersebut belum saya lakukan. Kalimantan Selatan sebagai tempat saya dilahirkan dan dibesarkan seolah terus menuntut untuk membalas budi baiknya dengan meminta saya untuk menyambangi setiap sudutnya.
Tuntutan tersebut sedikit demi sedikit mulai saya penuhi, setidaknya (baru) ada 2 perjalanan yang telah saya lakukan sebagai usaha untuk mengenali tanah kelahiran dan masa depan saya tersebut. Perjalanan pertama berlangsung pada Februari 2013 dengan menyambangi teman saya sewaktu di Malang yang bekerja di Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Perjalanan sendirian ke jantung Kalimantan menggunakan sepeda motor menempuh jarak kurang lebih 400 km dari tempat tinggal saya di Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Namun dalam tulisan ini, saya tidak mengulas perjalanan tersebut, yang akan saya bagikan adalah pengalaman selama 4 hari mengelilingi Kalimantan Selatan sendirian menggunakan skuter metik. J
Memanfaatkan liburan pasca lebaran 2013, saya berusaha untuk mencari saat yang tepat disela-sela kegiatan silaturrahim dan rencana balik ke Malang untuk memulai menjelajahi provinsi kelahiran saya. Ide ini sebenarnya telah tercetus sebelum bulan Ramadhan, detail jalur yang akan dilewati, rumah siapa yang akan saya jadikan “hotel gratis”, serta data apa yang harus saya koleksi, semuanya telah terencana dengan matang. Memang perjalanan ini dari awal akan saya jadikan tulisan, sebuah kegiatan yang telah beberapa bulan tidak saya lakukan.
Hari kamis, 15 Agustus 2013. Pukul 10 pagi lewat 30 menit saya mulai menjalankan skuter matik dengan kecepatan lambat menembus jalan-jalan kampung di Kota Banjarbaru yang perkembangannya terlalu pesat setelah dijadikan ibukota pemerintahan (entah ini ada hubungannya atau tidak). Tujuan saya hari ini adalah Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, sebuah kabupaten di pantai timur Pulau Kalimantan hasil pemekaran dari Kabupaten Kotabaru pada tahun 2002. Perkiraan jarak hasil kerja Google Maps memberikan angka 263 km untuk jarak Banjarbaru-Batulicin, soal keakuratannya tidak perlu dipermasalahkan karena itu tidak penting . J
Cuaca cukup bersahabat dengan awan tipis memayungi perjalan saya sehingga sengatan terik matahari khas Kalimantan tidak terlalu menyiksa. Memasuki Kabupaten Tanah Laut, hamparan perkebunan kelapa sawit menyambut, pemandangan ini hanya sebuah permulaan dari kebun-kebun kelapa sawit nan luas sepanjang perjalanan selama 4 hari kedepan. Memang kelapa sawit telah menjadi idola baru komoditi perkebunan di Kalimantan dan daerah lain di Indonesia. Kelapa sawit menjadi penantang tangguh terhadap hegemoni tanaman karet yang telah mentradisi di masyarakat Kalimantan. Kebun kelapa sawit yang pertama saya temui adalah milik PTPN XIII yang dulunya merupakan lahan milik PTPN XI yang menanam tebu sejak tahun 1982 hingga operasinya berakhir tahun 2002.
Lepas dari Pelaihari, ibukota Kabupaten Tanah Laut, pemandangan mulai berganti dengan bukaan tambang-tambang batubara yang telah secara konsisten menghadirkan kesejahteraan bagi segelintir orang dan bencana lingkungan bagi Kalimantan Selatan. Hampir sebagian besar wilayah konsesi tambang batu bara sepanjang pantai selatan provinsi saya dikuasai oleh Bakrie & Brothers. Tambang batubara tersebut dapat anda temui hampir di sepanjang jalur Pelaihari – Batulicin, puncak pemandangan yang mengerikan dapat ditemui di Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu. Bukit-bukit telanjang serta danau-danau bekas galian menjadi latar pemandangan yang tidak mengenakkan. Tambang-tambang batubara terletak di sisi utara jalan, batubara akan dibawa dengan truk atau conveyor belt yang panjannya berpuluh-puluh kilomoter ke pelabuhan khusus di pantai selatan. Untungnya sudah ada aturan yang melarang truk bermuatan batubara (juga pengangkut tandan buah segar kelapa sawit dan bijih besi) melintasi jalan negara. Hal tersebut memaksa pengusaha tambang untuk membuat jalan sendiri, yang memotong jalan negara melalui underpass. Ada lebih dari 30 underpass yang saya lewati sepanjang perjalanan Pelaihari – Batulicin, bisa anda perkirakan sendiri berapa jumlah tambang batubara yang ada di sana.
Selalu ada semangat lebih ketika membahas isu batubara, semangat yang timbul karena kombinasi dari ketidakadilan pemerintah pusat dan kebodohan serta keserakahan pemerintah daerah. Semangat yang timbul karena selalu saja rakyat yang menjadi obyek penderita. Besarnya deposit batubara yang dimiliki provinsi terkecil di Pulau Kalimantan ini tidak lantas membuat rakyatnya menikmati energi listrik dengan lancar. Pemadaman listrik bergilir bukan barang langka di sini, sangat berbeda dengan “Pulau Tuan” di seberang sana yang hanya memiliki tambang batubara rakyat tetapi kebutuhan energi listriknya sebagian besar dipenuhi dari PLTU berbahan bakar batubara. Anda semua pasti sudah tahu dari mana batubara tersebut dipasok.