Mahameru berikan damainya Di dalam beku Arcapada Mahameru sebuah legenda tersisa Puncak abadi para dewa
-Mahameru-
Demikianlah potongan lirik lagu Mahameru yang populer di pertengahan dekade 1990-an, yang membawa pendengarnya hanyut dalam romantisme persahabatan para pendaki gunung. Persahabatan yang menghangatkan dinginnya suhu gunung tertingi di Pulau Jawa. Sebuah lirik yang cukup untuk mewakili suasana pendakian dari Desa Ranupani hingga Puncak Mahameru.
Setelah sukses mencapai Puncak Mahameru pada hari ketiga walau harus dihajar angin kencang, seluruh anggota tim ekpedisi kembali ke Pos Arcopodo untuk menyantap sarapan yang telah disiapkan tim pendukung. Sesuai rencana, kami akan mencoba menemukan sepasang arca tersebut dengan bantuan pemandu lokal yang bertugas sebagai pengangkut logistik tim ekspedisi.
Parningotan Sinambela, demikianlah nama lengkap Pak Ningot yang telah menjadi teman saya selama menjadi sweeper/penyapu sepanjang perjalanan dari Desa Ranupani hingga Pos Kalimati. Beliau bercerita banyak tentang perjalanan hidupnya hingga bisa “terdampar” di Desa Ranupani yang jauh dari mana-mana ini. Berasal dari Asahan, sempat berjuang hidup di Jakarta hingga akhirnya berjodoh dengan gadis di pedalaman jajaran Pegunungan Tengger. Kini beliau hidup damai dengan ladang pertanian nan subur yang selalu mendapat nutrisi dari letusan Gunung Bromo dan Gunung Semeru.
Seluruh anggota tim ekspedisi telah berhasil melewati kurang lebih lima cerukan yang nampak seperti guratan di tubuh Gunung Semeru ketika kita lihat dari jauh. Beristirahat sejenak di bawah teduhnya cemara gunung (Casuarina junghuhniana). Perjalanan kembali dilanjutkan dengan menuruni punggungan yang diyakini merupakan tempat kedua arca berada. Tak sabar rasanya untuk segera berjumpa dengan sepasang arca tersebut sehingga langkah tak terasa mengayun begitu cepat. Sesekali pandangan kami tujukan ke dalam jurang yang membatasi tempat kami berpijak. Langkah saya terus mengayun meninggalkan rombongan hingga pandangan terhenti pada lembaran atap seng yang acak-acakan. Berpaling ke belakang menatap wajah Pak Ningot, terdengar ucapan beliau yang mengisyaratkan kegembiraan, “nah.. itu dia” ujar beliau