Itulah reaksi yang saya dapatkan ketika memberitahukan kepada Cathrine, seorang pendaki asal Amerika Serikat yang saya temui di Plawangan Sembalun tentang pendakian saya yang hanya seorang diri. Memang pendakian saya kali ini terbilang agak nekat dan sedikit bodoh. Bagi orang yang sadar akan bahaya obyektif dari gunung yang didakinya, tentulah dia tidak akan nekat seorang diri beradu kekuatan dengan kerasnya lingkungan gunung. Pendaki berpengalaman sekalipun tentu akan menyadari bahwa mendaki seorang diri bukanlah pilahan yang muncul dari akal sehat, melainkan hanya sekedar mencari sesuatu yang luar biasa, atau karena terpaksa seperti halnya pendakian saya kali ini. Gagal mendapatkan teman mendaki di Mataram, saya yang datang jauh-jauh dari Malang akhirnya memutuskan untuk terus melanjutkan perjalanan menuju Desa Sembalun.
Mungkin kita bisa mengeliminasi kemungkinan bahaya yang datang dari diri sendiri. Tapi bahaya dari alam, kita hanya bisa mengenali tanda-tandanya untuk dihindari. Ketika hal itu gagal kita lakukan hingga terjadi kecelakaan, siapa yang dapat diharapakan untuk menolong kita? Pemikiran seperti ini terus menemani saya selama menapaki jalur pendakian antara Desa Sembalun hingga tiba di Plawangan Sembalun. Hari itu, dengan beban sebuah tas carrier kapasitas 60 liter yang terisi penuh dan sebuah daypack berisi peralatan dokumentasi dan kesehatan saya menapaki jalur nan panas menuju Plawangan Sembalun. Sendiri tanpa ada teman yang dapat membagi penderitaan ketika harus melewati Tujuh Bukit Penyesalan. Terpanggang matahari di tengah savana mulai Pos I Pemantauan benar-benar menguras energi, sehingga perjalanan yang diperkirakan akan memakan waktu 6-7 jam saya tempuh selama 9 jam.
Pukul 5:00 pagi saya mulai melangkahkan kaki untukmenggapai puncak Gunung Rinjani yang memiliki elevasi 3726 m dpl. Mengekor rombongan mereka hingga sampai di bibir kaldera Segara Anak, saya terus menambah ketinggian. Dari arah timur nampak matahari telah muncul menghangatkan bumi. Terlambat memang, idealnya ketika matahari terbit saya telah berada di puncak. Namun apa mau dikata, saya harus mengikuti jadwal mereka yang ternyata hanya menargetkan pendakian hingga bibir kaldera untuk bisa menyaksikan Danau Segara Anak beserta Gunung Barujari.