Judul di atas mungkin terkesan berlebihan atau mungkin sebuah “pengetahuan umum” yang mewakili cerita kerasnya kehidupan penambang belerang di Kawah Ijen. Sebenarnya judul tersebut hanya mencoba mewakili kisah perjalanan sekelompok mahasiswa (dan juga mahasiswi, selanjutnya cukup menggunakan mahasiswa) PPS Geografi UGM ke Kawah Ijen yang kebetulan agak menyerempet maut.
Sehari setelah tenggat waktu pengumpulan tugas-tugas kuliah berakhir, mereka yang telah mengantongi tiket KA Sri Tanjung tujuan Banyuwangi sepagi itu telah berkumpul di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Harga yang harus dibayarkan untuk sebuah tiket Yogyakarta – Banyuwangi hanya Rp 95.000/penumpang. Berangkat dari kos/kontrakan/rumah masing-masing, total rombongan mereka berjumlah 11 orang, 4 mahasiswa dan 7 mahasiswi J.
Sesuai jadwal, pukul 07:45, KA Sri Tanjung mulai menyusuri rel jalur ganda yang mengarah ke utara. Rombongan mereka duduk rapi di atas kursi gerbong ke-6, dari 7 rangkaian gerbong penumpang. Duduk di rangkaian yang agak belakang memberikan keuntungan bagi mereka, bisingnya suara lokomotif diesel tidak terlalu terdengar ke dalam kabin yang seluruh jendelanya wajib ditutup. Pelayanan kereta ekonomi sudah sangat manusiawi sejak BUMN ini dipimpin oleh Pak Ignasius Jonan. Tidak ada lagi penumpang berdiri (kecuali untuk kereta komuter), seluruh gerbong wajib ber-AC, air di toilet (kadang) selalu tersedia, asongan dan pengamen pada wilayah tertentu tidak diperkenankan masuk, intinya sudah sangat memanusiakan penumpang.
Rel jalur ganda berakhir ketika rangkai KA Sri Tanjung melewati stasiun Solo Jebres, perjalanan mereka berikutnya akan sedikit melambat karena sering berhenti di stasiun untuk memberi kesempatan kereta sombong (demikian salah satu dari mereka menyebut kereta kelas eksekutif) menggunakan rel yang hanya satu jalur itu. Setelah 5 jam perjalanan, KA Sri Tanjung mulai memasuki Stasiun Gubeng di Surabaya, Jawa Timur. Di stasiun ini, lokomotif dipindahkan sehingga akan menempel di gerbong ke-7. Istilah yang umum digunakan untuk menyebut proses tersebut adalah “langsir”. Arah datang kereta di Surabaya menghadap ke utara, sedangkan tujuan kereta ini adalah ke arah selatan lalu ke timur, mengingat tidak ada putar balik (U turn) di rel kereta api, maka lokomotif harus dipindah. Proses langsir yang hanya 15 menit dimanfaatkan mereka untuk menyerbu mushola demi menunaikan kewajiban sholat.