Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Menyoal Keluwesan PDIP Pasca Pemilu 2024

21 Maret 2024   12:18 Diperbarui: 21 Maret 2024   12:37 212 4
Kesengitan kompetisi Pileg 2024 telah rampung. Para kandidat legislatif sudah selesai mengais mandat dan menyerok suara rakyat pemilih dengan strateginya masing-masing. Dalam hal ini terdapat beberapa catatan pandang, khususnya kepada parpol pemenang yaitu PDIP setelah KPU mengumumkan kemana saja berlabuhnya pilihan parpol dan calegnya dari lebih dari 150 juta suara sah pemilih sebagai berikut:

Hatrick PDIP adalah alur cerita Pemilu paling dramatis dari mulai 22 Oktober 2023 ketika Gibran diumumkan sebagai cawapres yang sekaligus menjadi tonggak kepergian Joko Widodo dari rumah perjuangannya. PDIP bertahan dengan 25,3 juta suara, menjadi hatrick yang mampu menahan basis banteng untuk tidak turun dibawah 23,6 juta suara seperti kemenangannya kembali di Pemilu 2014 setelah 10 tahun beroposisi.

PDIP mampu tampil sebagai banteng penjuru tempur sejati. Setelah ditinggalkan oleh Joko Widodo sekeluarga dan capresnya mengalami kekalahan ironis, PDIP seolah tak mampu dihuyung walau selangkahpun. Namun, dalam masa tunggu hingga pelantikan DPR RI 1 Oktober 2024 nanti, PDIP akan mengalami ujian mental, sikap, cara pandang, dan aksi politik sebagai parpol pemenang Pemilu zonder presiden.

Posisi ini pernah dialami Golkar pada periode 2004-2009. Golkar ialah pemenang Pileg, namun tidak menempatkan kadernya di posisi presiden. Ia bertahan di kursi Ketua DPR RI yang dijabat oleh Agung Laksono, syahdan ketua umumnya dipegang oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Lalu bagaimana PDIP mampu memainkan catur politik pemerintahan di masa 'iddah' ini? Khususnya demi merawat harapan kelompok yang kecewa terhadap Joko Widodo, yang menumpukan harapan terakhirnya kepada PDIP.

PDIP seharusnya memiliki 'gameplan' yang jelas. Membuka komunikasi secara gamblang kepada kelompok yang bisa disebut sebagai pro-demokrasi bahwa ia perlu mempertahankan posisi Ketua DPR, sebab kedudukan oposisi akan sangat lemah jika PDIP kehilangan kursi Ketua DPR itu. Sehingga apabila PDIP sanggup menguatkan oposisi di legislatif, maka kekuatan oposisi tidak akan pudar seperti yang dikhawatirkan kelompok oposan Joko Widodo diluar parlemen (bukan Prabowo). Pada titik ini, kelanjutan Hak Angket jelas akan dipertanyakan.

Jika saja PDIP memiliki keluwesan politik, bisa lah mereka membandingkan opsi 1 angket yang mengancam kursi Ketua DPR atau 2 interpelasi. Katakanlah interpelasi Bansos dan interpelasi KPU. Ujung dari dua interpelasi itu bisa diarahkan pada rekomendasi kepada DPR berikutnya untuk menggulirkan RUU Bansos dan RUU Lembaga Kepresidenan.

PDIP juga diharapkan luwes untuk membuka konsensus politik dengan para parpol pengusung Ganjar dan Anies yang (tentunya) lolos ambang batas parlemen 2024. Pada prediksi sementara ini, gabungan proyeksi kursi DPR RI atas PDIP (109), PKB (68), Nasdem (71), dan PKS (52) adalah 300. Ini berarti, potensi postur oposisi di DPR RI lebih besar dari koalisi pemerintah yang diprediksi berjumlah 280 kursi.

Dengan kemungkinan kekuatan oposisi yang unggul sekitar 20 kursi, PDIP harus sanggup menjadi game planner, game changer, sekaligus consensus builder dikalangan oposisi potensial agar mampu memainkan peranan penting sepanjang 2024-2029 tanpa dari posisi kabinet pemerintahan.

Inilah momentum maha penting bagi republik untuk dapat mewujudkan bangun oposisi yang terstruktur, sistemik, dus stratejik. Sayangnya, itu semua akan bergantung kepada PDIP yang dikenal tidak (atau belum) terlalu luwes dalam memainkan percaturan politik dalam horizon yang luas.

Bayangkan jika PDIP mengambil posisi sebagai moderator embrio posisi yang jelas ditengah kelompok parpol pengusung dan kelompok pro-demokrasi. Misalnya melemparkan wacana diplomasi politik berjenjang dengan Prabowo;

Pertama, mengganti 1 Angket dengan 2 Interpelasi dengan mempertahankan UU MD3 tentang posisi pimpinan DPR RI atau; membuka formasi menteri muda untuk seluruh kementerian bagi kelompok oposisi sebagai struktur oposan quasi kabinet sebagai inovasi politik. Joko Widodo sudah banyak mengakali bangun tata negara dan pemerintahan, kini saatnya inovasi politik itu digelar sebagai bentuk perlawanan balik dan Prabowo pasti akan sangat terbuka untuk membahas hal ini.

Kedua, apabila formasi menteri muda tidak dapat dilakukan untuk sepenuhnya dipegang oposisi, maka buka negosiasi untuk separuhnya. Jika separuh formasi menteri muda tidak dapat diberikan, maka oposisi menyusun skema persetujuan RAPBN dan program pemerintah pusat yang ketat. Seperti mengembalikan aturan persetujuan Satuan III APBN oleh DPR RI.

Ketiga, jika skema persetujuan RAPBN tidak disepakati, maka oposisi dapat memainkan peran kunci pada persetujuan legislasi. Lalu begitu seterusnya dalam diplomasi politik antara oposisi dan koalisi pemerintahan . Sekali lagi, andaikan saja PDIP memiliki keluwesan.

PDIP boleh saja bangga bahwa ia lebih luwes sebagai oposisi seperti di masa pemerintahan Presiden SBY, tetapi perlu diingat bahwa waktu itu DPR RI masih memegang persetujuan RAPBN pada Satuan III. Tanpa kewenangan itu, apakah PDIP mampu menunjukkan prestasi mentereng sebagai oposisi dulu disituasi saat ini?

Harapan kepada eksistensi oposisi yang terstruktur, sistemik, dan stratejik belum padam. Lagipula, Prabowo mungkin saja sangat membutuhkan PDIP untuk melapis-lindung dirinya dari berbagai manuver yang berpotensi merugikan era kepresidennya yang ada dari dalam selimutnya sendiri.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun