Pesta demokrasi di Indonesia tahun 2024 ini, bagaikan drama yang menyuguhkan plot twist yang sukar ditebak. Setiap episodenya mempertontonkan akting para elit politik yang piawai memainkan dramaturgi; apa yang ditampilkan di depan sama sekali berbeda dengan apa yang ia perankan di belakang. Mulai dari pecah kongsinya Gerindra-PKB, drama putusan MK yang berujung pada naiknya putra presiden menjadi kontestan pemilu, sampai pada "keberpihakan" Jokowi dalam salah satu statemennya beberapa waktu lalu. Mengendus denyut demokrasi yang makin tidak sehat ini, sivitas akademika kampus di sekujur Indonesia mulai bersuara.
Â
Pasca Universitas Gajah Mada dan Universitas Islam Indonesia ngluruk kondisi demokrasi yang sedang krisis, pernyataan bernada protes juga disampaikan oleh Universitas Indonesia, Universitas Andalas dan Universitas Hasanuddin. Bergeraknya insan cendikia ini, menjadi sinyalemen memudarnya sikap kenegarawanan presiden Jokowi. Hal ini, setidaknya terlihat dari empat indikator sebagaimana yang menjadi tuntutan UII, yaitu: pertama, pencalonan anak sulung presiden yang cacat secara etik. Kedua, ketidaknetralan Jokowi melalui klaimnya bahwa presiden boleh memihak dan berkampanye atas legitimasi Undang-Undang. Ketiga, distribusi bansos yang dipersonalisasikan. Keempat, mobilisasi aparatur negara. Keempat indikator inilah yang memantik para sivitas perguruan tinggi bersuara dalam rangka menyelamatkan demokrasi yang terkoyak.
Â
Keadaban Politik
Saat ini kita tengah disuguhkan oleh perilaku akrobatik para pendukung pasangan calon (paslon) dalam memenangkan pemilu. Mereka tak hanya menjelma sebagai political marketer, namun juga bermetamorfosis menjadi political selling. Apapun akan mereka lakukan agar calon yang diusungnya "terjual" di pasaran. "Pemilu Satu Putaran" menjadi narasi yang selalu dijual dengan memanfaatkan berbagai infrastruktur politik yang ada. Perilaku politik yang demikian, sayangnya menyeret nama Jokowi yang selama ini dikenal sebagai figur pemimpin yang sederhana, merakyat dan populis. Posisinya sebagai kepala negara, memegang peranan yang sangat superior dan otoritatif.
Â
"Ich habe nur den Befehlen gehorcht; saya hanya mengikuti perintah". Kondisi inilah yang mengesankan bahwa segala resource yang sedang dibawah kendali presiden harus sepenuhnya patuh. Potensi konflik kepentingan yang mencederai keadaban politik bangsa Indonesia meniscayakan posisi presiden harus bersikap netral dan adil karena dia adalah pemimpin untuk semua kelompok dan golongan, bukan untuk sebagian kelompok saja (paslon tertentu). Di sisi lain, masih banyak aparatur negara dan menteri aktif yang tidak mengundurkan diri. Padahal mundur adalah pilihan yang menunjukkan sikap berkeadaban, karena ketika masih memegang jabatan sebagai pejabat negara dan ikut dalam kampanye, tidak bisa menjamin bahwa jabatan tersebut bersih dari kepentingan kepentingan elektoral.