Anak-anak adalah guru, agar kita bisa belajar menjadi orang tua. Lalu, mengapa justru diungsikan jauh dari rumah dan dititipkan kepada Fullday School? Tak puas menyiksa di sekolah, Fullday Schoolgemar menyiksa dengan segala macam PR-PR, ketika anak-anak sudah sampai rumah.
Apa yang dilakukan Fullday school hanya akan menjauhkan anak-anak dari orang tua. Guru-guru itu telah merampas kesempatan kita untuk bisa belajar menjadi orang tua. Guru-guru itu telah berhasil menjadi orang tua bagi anak-anak kita, tapi kita berubah fungsi menjadi mesin pencari uang bagi Fullday School. Dunia sudah terbalik!
Saya bukan orang tua yang baik. Mungkin mereka benar, tapi saya tidak punya cukup energi untuk melawan arus yang begitu deras. Arus deras itu, mengatakan betapa kelirunya saya. Saya adalah perempuan berpendidikan “tinggi”, tetapi memilih “tidak menguliahkan” anak saya. Mereka bilang tidak habis mengerti saya.
Semula, saya ingin membela diri, namun saya putuskan untuk tidak perlu membela diri. Saya hanya tersenyum, dan mempersilakan mereka untuk bertanya pada yang bersangkutan, yaitu anak saya. Anak saya tidak kuliah, itu keputusannya yang harus saya hargai.
Saya hanya seorang ibu yang terbiasa menghargai pilihan anak saya, sejak dia masih kecil. Saya bersedia duduk, baik sejajar maupun lebih rendah dari tempat duduk anak saya, menyerahkan kedua telinga saya, untuk mendengarkan dengan sabar, selama dia menjelaskan alasan-alasan atas keputusannya.
Sempat saya cerita dalam Being a Natural Mother (Formula Menjadi Ibu Natural). Ketika usia 5 tahun dia terjatuh dari sepeda, meringis masuk rumah dengan kaki pincang kesakitan. Saat saya tanya kenapa, dia menjawab “mama…, aku terjatuh karena aku tidak hati-hati”. Saya hanya perlu mencium kening dan lukanya, untuk membuat dia tenang kembali. Bagi saya, dia bertanggung jawab atas kesalahannya, itu sudahlah cukup.
Menjelang SLTA, dia bertanya, “mama…, apa beda SMA dengan SMK?”. Saya menjawab semampu saya;
“Jika mama bertanya pada kakak lulusan SMK, “hey! kamu bisa apa?’, macam-macam jawaban mereka; aku bisa mengoperasikan mesin, aku bisa pembukuan, aku bisa memperbaiki motor/mobil/AC/Radio/TV rusak, aku bisa computer, aku bisa betulin listrrik korslet, dll”.
Lalu dia teruskan pertanyaannya, “ehmmm…kalau anak lulus SMA, bisa apa ma?”
Tidak bermaksud mendiskreditkan SMA, tapi kebetulan waktu itu saya hanya mampu menjawab, “anak SMA tahu banyak hal”.
“Mereka tahu apa aja…?”, dia mengejar saya. Tiba-tiba saja saya menjawab, “justru itu yang mama kesulitan menjawab, terlalu banyak yang mereka tahu”.
Entah apa yang dia pikir, akhirnya diputuskan ingin masuk SMK jurusan Multimedia. Namun sejauh saya mengenalnya, ia gemar berimajinasi, membaca komik, memainkan game di computer dan menggambar. Akhirnya, saya hunting SMK mana yang memiliki jurusan multimedia. Saya ajak dia untuk datang ke sekolah untuk mendapatkan brosurnya, agar kami mengerti besaran biayanya.
Sebelum mengikuti test dan melakukan pembayaran lainnya, orang pertama yang kami cari adalah Ketua Jurusan. Kajur adalah orang yang akan bertanggung jawab atas anak saya selama dia bersekolah.Sebelum membeli formulir, saya harus yakin kepada siapa saja anak saya akan berguru.
Saya ingin anak saya belajar bahwa untuk membeli apapun, termasuk “membeli pendidikan”, tidak boleh “gambling (berjudi)”. Harus tahu apa yang mau dibeli, apa yang mau didapat dari sejumlah uang yang harus dikeluarkan, selama 3 tahun berlangsung.
Tiga sekolah kami kunjungi dan hanya satu sekolah saja yang Kajurnya dapat ditemui. Konon kabarnya, tiap musim pendaftaran, banyak kepala sekolah dan Kajur yang sembunyi. Takut “disuap”, katanya. Saya mengabaikan itu semua, bagi saya itu adalah konyol dan tidak bertanggung jawab.
Kami berhasil menemui Kajur Multimedia sebuah SMKN, namanya pak Taufiq. Disamping ramah, beliau juga menguasai bidangnya. Kami diberitahukan bagaimana cara sekolah mengolah anak-anak yang semula tidak punya skill apa-apa, menjadi produk yang 100% terserap dunia kerja, bagaimana hubungan mereka dengan orang tua murid, bagaimana respon orang tua murid terhadap perhatian sekolah, bagaimana sekolah menangani murid-murid nakal, sampai bagaimana sekolah mendampingi anak-anak dalam beribadah.
Pak Taufiq berani memastikan kompetensi apa yang akan didapat anak saya ketika dia lulus nanti. Beliau memastikan bahwa saya tidak salah memilih sekolah tersebut, dan senang apabila dipercaya untuk mendidik anak saya.
Bukan hanya pak Taufiq, bu Diah pengurus Laboratorium, tidak keberatan ketika saya minta ditunjukkan seperti apa wujud Lab. tempat murid-murid belajar. Bu Diah bukan hanya menunjukkan ruangan laborat, namun juga menceritakan bagaimana pembelajaran di Lab. hingga kultur pembelajarannya.
Sungguh itu adalah pengalaman yang sangat berharga. Kami belajar banyak dari sana. Saya melamunkan andai setiap sekolah seperti itu. Saya menyarankan anak saya agar memilih SMKN tersebut. Karena ia terlibat ikut mendengarkan, akhirnya ia jatuh cinta dan ingin bersekolah di sana.
Setelah semua klir, baru kami mengurus pembelian formulir. Test tulis, menggambar dan wawancara bahasa Inggris diikuti dengan tenang. Keadaan sekolah itu telah saya perkenalkan. Ini bagus untuk kesiapan mentalnya, sehingga tidak perlu ada ketakutan berlebih saat menghadapi test.
Saya bersyukur tidak pernah mengalami kesulitan untuk urusan sekolah, meskipun anak saya tidak pernah mendapat ranking dalam rapornya.
Dulu saat masuk TK, saya hanya perlu hari pertama untuk menemani dan mengenalkan lingkungan sekolah. Saya perkenalkan kepada anak saya, ini bu guru, ini ruang kelas tempatnya belajar, ini tempat duduk dia bersama kawan lainnya, bila ingin pipis angkat tangan, ijin dengan bu guru, lalu saya tuntun dia ke toilet sekolah, saya ajarkan apa yang harus dilakukan di sana bila ingin pipis/buang air, saya minta dia praktik supaya saya yakin dia bisa, saya minta kesanggupan dia harus berangkat dan pulang tanpa saya dan harus berbaur dengan kawan-kawannya, karena saya realistis saya pun menunjukkan kepada anak saya dimana bisa membeli kue/minum jika ia ingin membelinya.
Saya hanya perlu dua jam untuk menjelaskan itu semua. Sejak hari ke dua, ia berangkat dan pulang berbaur dengan kawan-kawannya. Tidak ada cerita menangis, tidak ada pula cerita merengek untuk ditunggui. Sebab keadaan sekolah, sudah saya perkenalkan sebelumnya. Itu membuatnya tenang dan percaya diri.
Mungkin ada pembaca menyanggah, saya tidak kesulitan sebab memilih sekolah dekat rumah. Saya tidak tahu harus merespon bagaimana. Memang, untuk TK/SD/SMP, saya memercayai sekolah yang paling dekat dengan rumah. Selain menghargai apa yang sudah dihadiahkan Tuhan, saya memberi kesempatan kepada anak untuk bersosialisasi dengan tetangga sekitar, juga menghargai pengabdian para guru yang pengajarnya.
Saya yakin, sebuah sekolah yang dibangun dekat rumah kita pasti dimaksudkan untuk meringankan kita, bukan sebaliknya. Itulah sebabnya, saya lebih suka memilih sekolah yang dekat rumah meskipun tidak mahal dan dikatakan tidak berkualitas oleh banyak orang berduwit. Faktanya, tidak ada yang cacat dengan sekolah anak saya, meskipun ia bersekolah dekat rumah.
Saat ini, usianya 20 tahun. Saya bersyukur ia sudah berpenghasilan sendiri. Berbagi pekerjaan dan penghasilan bersama 3 kawannya. Internet dipilih sebagai kampus tempat pembelajarannya. Katanya, di sana bebas memilih guru, pelajaran-pelajaran, buku-buku pendukung yang relevan dengan kemampuan yang ingin dikembangkannya. Pekerjaannya, berangsur digemari pembeli, baik dari dalam maupun luar negeri. Dan sejauh ini, belum ada satupun pembelinya bertanya dari TK/SD/SMP mana dia berasal dan dari sekolah SEMURAH apa dulu dia belajar.
Mungkin pembaca berpikir saya mengukur keberhasilan dari nilai material. Sama sekali tidak. Itu satu sisi saja dari keadaan kami. Sekarang saya ingin bertanya. Bagaimana perasaan Anda, jika setiap pamit meninggalkan rumah, anak-anak mencium tangan Anda, lalu mendekatkan kening dan dua pipinya agar dicium lembut oleh Anda, berlutut mencium punggung telapak kaki Anda, meminta Anda mendoa kepada Allah agar hidupnya senantiasa berjalan dalam kebaikan? Bahagiakah Anda? Dan itulah sisi lain keseharian anak saya yang tidak sarjana. Sungguh kebahagiaan yang luar biasa bagi saya. Nyatanya, kebahagiaan tidak harus dibeli dengan harga mahal. Kami hanya perlu saling mendukung, saling menghargai, saling menghibur, saling menguatkan, saling memaafkan, dan selalu saling mengingatkan tentang kesyukuran. Semoga Allah senantiasa melimpahinya kebaikan dan mengijinkan kisah ini saya bagi.Amin.
Ingin sekali mengajak para orang tua agar tidak khawatir berlebihan terhadap keberadaan TK/SD/SMP yang ada dekat rumah. Dan agar mencermati sekolah-sekolah lanjutan, yang hendak dititipi untuk mendidik anak-anaknya. Ingin sekali mengajak para orang tua agar percaya diri bahwa diri kita pun mampu menjadi guru bagi anak-anak, jika mau.
Memilih sekolah mahal, membuat kita sibuk mengejar uang dan mengorbankan kedekatan kita dengan anak-anak. Anak-anak adalah kesempatan agar kita belajar bagaimana menjadi orang tua. Pertimbangkan untuk tidak mengungsikan mereka jauh dari rumah. Bahagiakah kita menjadi mesin pencetak uang bagi Fullday Schooldan membiarkan peran kita sebagai orang tua direnggut oleh mereka?
Apa jawab kita nanti ketika Tuhan bertanya apa yang kita kerjakan ketika menjadi orang tua? “Wahai Tuhan, saya telah membayar mahal Fullday School untuk menjadi orang tua bagi anak-anak saya, maka ada baiknya Tuhan bertanya pada mereka…” Begitukah? Hmm… …
Salam bahagia penuh karya