Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Yang Penting Anti Hukuman Mati

30 April 2015   21:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:30 44 0
"Yang Penting Anti Hukuman Mati" : Sebuah Apologi Historis Masyarakat Prancis

Saat mendengar grasi Serge Atlaoui ditolak oleh Presiden Jokowi, Presiden François Hollande bersikukuh akan berjuang sampai akhir, agar Atlaoui tidak dieksekusi. Presiden Hollande sampai meminta Menteri Laurent Fabius memanggil Duta Besar RI Paris dan menyurati presiden Jokowi untuk minta pembebasan eksekusi. Tidak berhenti sampai di situ, pemerintah bahkan mengumumkan apel besar untuk memobilisasi masyarakat menuntut grasi untuk Atlaoui. Media menjadi ramai dengan perdebatan mengenai hukuman mati tersebut. Tetapi tetap sunyi dalam menyuarakan substansi idenya. Saya memandang ada dua hal : pertama hukuman mati dan kedua tentang narkotika. Dua hal yang berbeda untuk diperdebatkan. Media sudah menjadi corong ideologi yang ingin segera menuntaskan keseragaman berpikir global dari permasalahan yang berbeda, meski ujungnya sama yaitu sebuah nyawa.


Satu nyawa warga negara Prancis terancam mati di negeri lain, dimana negeri tersebut tidak memiliki kesamaan konstitusi dan ideologi. Bagi Prancis hukuman mati mencerminkan ancaman ideologi dan prinsip suatu negara. Hukuman mati melanggar prinsip dasar-dasar egalité, fraternité dan liberté (kesetaraan, persaudaraan dan kemerdekaan). Jika ada yang "mengganggu" kemerdekaan individu dan atau membunuh manusia, adalah pelanggaran berat. Bagi masyarakat beradab, hukuman mati adalah simbol barbarisme. Sebaliknya, bagi masyarakat "bermoral", hukuman mati mewakili rasa keadilan. Ini adalah perperangan diplomatik level tertinggi sebagai simbol ekspansi ideologi. Peperangan definisi fisik yang dasarnya bermacam-macam. Dalam batas mana setiap hak asasi manusia dapat diperjuangkan, antara pasal menganggu kepentingan umum, rasa keadilan dan asas pra-duga tak bersalah. Mengutip Jean-Jacques Rousseau “hukuman mati yang ditimpakan kepada penjahat, memiliki persamaan pandangan, pertama menyetujui karena tidak menjadi korban dan sebaliknya karena kita menjadi bagiannya.” Opini terbelah. Berada dimana posisi kita sebenarnya? Sebagai manusia atau sebagai warga negara? Sebagai korban atau sebagai “pelaku”?

Berdasarkan beberapa pantauan dari forum diskusi di sosial media, tidak sedikit juga suara dukungan mengenai hukuman mati datang dari dalam negeri Prancis, meskipun disertai dengan banyak catatan. Secara umum setuju bahwa kejahatan narkotika yang biasa dilakukan oleh “mafia” dianggap sebagai kejahatan besar. Meskipun, Sekjen PBB dan konstitusi sebagian negara Barat tidak memasukkan narkotiba sebagai kejahatan luar biasa. Mulai dari sini, seharusnya perdebatan sudah selesai. Karena ada dua ideologi yang saling berseberangan dan tidak dapat saling menyeberang satu dengan lainnya.  Prancis menghapus hukuman mati (apapun kasusnya) sejak tahun 1981. Mulai saat itu, Prancis merasa sudah mentas dari bangsa barbar menuju bangsa beradab. Selanjutnya, mereka berkewajiban untuk menyuarakan savoir-pensernya mengenai abolisi hukuman mati kepada dunia internasional. Karena hal tersebut bertentangan dengan Hak Asasi Manusia dan Hak Hidup Manusia. Bukan hanya itu saja, malah Prancis mendekontruksi penerapan hukuman mati sebagai simbol dari penegakan ketidak-adilan, bukan keadilan. Suatu konstitusi yang disusun berdasar atas pasal yang "mengakui" bahwa sistem peradilan sesempurna apapun tetap meninggalkan celah kesalahan, yang berakibat pada putusan peradilan yang jauh dari rasa keadilan. Celah kesalahan yang dilakukan oleh petugas peradilan dimana mereka adalah manusia-manusia juga, tempat salah dan lupa. Jean Jaurés, salah satu politikus Sosialis, pada tahun 1908 berpidato untuk perjuangan abolisi hukuman mati mengatakan bahwa : "semangat revolusioner, merupakan semangat humanisme". Revolusi sosial yang kadang digerakkan oleh semangat alamiah manusia, selalu membutuhkan kata maaf dan ampunan, baik per individu-kelompok dan secara konstitusi sebagai dasar rekonsiliasi kuat dalam bernegara. Prancis adalah salah satu negeri yang mengalami sampai berdarah-darah untuk revolusi sosial. Sudah terlalu banyak korban dari pengadilan jalanan. Ketidakpuasan dan pencarian rasa keadilan diselesaikan oleh emosi dan dendam. Meskipun setiap revolusi sosial digerakkan oleh latar belakang permasalahan yang berbeda, tetapi sering berakhir dengan cara yang sama “barbarisme”.

Media secara membabi-buta mengutip quote Victor Hugo : "Hukuman mati adalah simbol spesial nan melekat erat dari aksi barbarisme." Pengkategorian konstitusi pro-hukuman mati sebagai pelembagaan aksi barbarisme dirasakan sangat kurang etis dalam rangka menghormati konstitusi sebuah negara yang berdaulat. Terlepas, citra negara tersebut yang diragukan integritas penegakan hukumnya. Saya mengambil contoh Aceh yang menegakkan Syariah Islam. Lalu, banyak LSM asing menilai bahwa hukum tersebut bertentangan dengan HAM. Tetapi, apakah LSM itu berpikir bahwa pemberian otonomi khusus kepada Aceh merupakan bagian dari kesepakatan damai pemerintah Indonesia dan Aceh di Helsinki? Seandainya, pemerintah Indonesia menuruti keinginan LSM tersebut, apakah mereka akan ikut bertanggung-jawab jika meletus gejolak sparatisme yang mengganggu perdamaian domestik? Saya pikir setiap negara memiliki cara tersendiri untuk menyelesaikan masalah "internal" masing-masing. Lain ladang, lain belalang. Konstitusi merupakan wajah local wisdom masing-masing masyarakat di suatu negeri. Jadi, kurang etis jika kita mencampuri konten perundangan tersebut, sedangkan kita tidak tinggal bersama di dalamnya.

Pemerintah diwajibkan untuk memberikan perlindungan warga negaranya di luar negeri yang terlibat permasalahan. Jadi permintaan grasi untuk kejahatan narkotika sangat boleh dilakukan. Yang kurang bijak adalah menjadikan isu grasi kejahatan narkotika sebagai media untuk kampanye anti hukuman mati. Pertanyaan selanjutnya : bagaimana menyikapi konstitusi yang berbeda di negara yang berbeda? Semudah itukah untuk mengajak rekonsiliasi untuk mewujudkan kehidupan menjadi semakin baik, dengan "memaksakan" ideologi pemikiran yang jelas-jelas latar pendidikan dan budayanya berbeda? Tidak semua aksi hukuman mati simbol barbarisme. Setiap bangsa memiliki relativitas waktu perjalanan kebudayaan yang berbeda-beda. Simone Chartrand berkata "Tak seorang pun boleh mengambil kebebasan berpikirmu. Kalian dapat dinasehati, dijelaskan oleh orang lain, tetapi tak seorang pun jangan pernah (sekedar) mengikuti pemikiran orang lain". Dari kejauhan saya mendengar teriakan "yang penting anti hukuman mati". Saya pun mulai meninggalkan tempat yang sangat kaku dan memaksa itu. Paris 27 April 2015.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun