Jika kebaikan menampakkan sifat lemah, memang begitulah esensi kebaikan. Dalam pandangan humanisme, kebaikan adalah titik ketidakberdayaan manusia karena didasarkan kepada pemikiran dan sikap berempati. Empati adalah esensinya. Â Merasakan perasaan orang lain, sikap bertukar posisi untuk merasakan, seandainya berada dalam posisi tersebut. Ada tranfers perasaan dari dalam diri ke yang lain. Sikap yang "digiring" oleh perasaan orang lain (abai sementara perasaan diri). Semakin lemah berempati itu, maka semakin kuat "kelemahan" itu. Â Bagi sebagian manusia, kadang bisa larut karakternya ("hilang"), dalam perasaan dan karakter orang lain. Tidak ada kebaikan yang menguatkan, kecuali menguatkan hal esensi tadi, yaitu kelemahan mengabaikan perasaan diri. Â Tak heran jika menjadi baik dianggap lemah.
"Je deviens un gentil homme car je me met un opposant" | "Aku menjadi baik, karena aku pengen menjadi oposisi (konteks dalam krisis kepercayaan dan minimnya positif thinking). Pernyataan tersebut, bukan berarti tidak menyetujui tentang ide egoisme -penyakit yang melemahkan spirit, tetapi tampak kuat secara fisik-, tetapi karena ingin menyeimbangi struktur eksistensi ego-super ego yang makin tak harmonis dalam kehidupan interaksi dengan yang lain. Daya tarik menarik yang semakin kuat antar keduanya. Je vois donc je suis. Aku melihat (menempatkan diri) maka aku ada. Adalah problematika ketika menanyai diri sendiri mengenai keberanian dalam mengambil sikap penyeimbang (kontek sosial dan spiritual).
"Un gentillesse est un politique personelle au cadre sociale" | "Kebaikan adalah kebijaksanaan dari dalam diri dalam menyikapi lingkup sosial". Ada upaya yang diperjuangkan agar menjadi baik (dalam budaya timur, dapat dikatakan sebagai pencitraan). Konsep manusia yang penuh cela, tampak paradoksal jika bertindak penuh pesona. Tuduhan pencitraan sebenarnya membunuh karakter manusia dalam hubungan interaksi sosial. Ada penghakiman di tingkat sosial, mengatasnamakan sentimen egosentris dan subyektif. Apakah menjadi humanis identik dengan kepura-puraan? Bisa jadi mungkin, karena pada dasarnya sifat pura-pura itu tidak akan pernah konsisten, dan manusia adalah makhluk yang jauh dari konsistensi. Seandainya pura-pura itu berlawanan dengan "biasa". Apakah sikap "biasa" adalah cermin konsistensi? Tak perlu berpura-pura untuk menjadi biasa.
Menjadi "lemah" itu satu-satunya konsistensi dalam manusia. Kadang kita bisa tampak kuat, tetapi lemah sering yang terlihat. Sekuat apa pun untuk menjadi kuat, semakin tampak "kelemahan" itu. Menjadi kuat seperti melawan gravitasi. Membutuhkan pengorbanan untuk menjauhkan dari "medan bumi", lemah.
Menjadi lemah adalah memberikan bobot kepada kebaikan, menjauhi ekspektasi murahan apa itu yang disebut sebagai pamrih. Menanggalkan ego, demi hal-hal di luar diri. Membebani diri sebagai "pelayan" yang menyenangkan, karena itu adalah target tertinggi. Membiarkan yang lain berlari, sedangkan dirinya sendiri berhenti. Seperti, hembusan angin yang meniup serbuk sari untuk terbang menemui kepala putiknya masing-masing. "The best possession is giving", sebuah posesi yang sangat senang sekali memberi kepada yang lain. Paris, 15/09/2014