Saya masuk Universitas Andalas (Unand) tahun 94. Tahun 98 terjadi reformasi. Peri kehidupan sosial politik sontak berubah. Termasuk di kalangan mahasiswa. Keterkungkungan berwacana soal politik selama orde baru tiba-tiba berganti dengan kebebasan berbicara sebebas-bebasnya.
Mahasiswa benar-benar merasa berada di alam surga, bebas mau membicarakan apa saja. Dan, yang paling menarik adalah membahas konstalasi politik di era transisi setelah Presiden Soeharto lengser dan digantikan oleh wakil presiden, BJ Habibie.
Kondisi demikian juga terjadi di rumah kos simpang Anduriang. Tempat di mana saya dan beberapa teman dekat sering mangkal. Hari-hari kami selalu diisi dengan perdebatan politik yang sangat panas bahkan tak jarang berubah menjadi pertengkaran sengit.
Saya dan beberapa orang teman sesama mahasiswa Sosiologi banyak membahas sosok 'rising star' politik ketika itu, yaitu Yusril Ihza Mahendra. Seorang profesor muda ahli hukum tata negara yang berwajah ganteng. Namanya mencuat karena menurut pemberitaan ketika itu, Yusril lah yang men-skenario-kan 'lengsernya' Presiden Soeharto. Konon, dia pula yang mengonsep pidato pengunduran diri presiden yang telah berkuasa 32 tahun itu.
Setelah itu, kiprah Yusril mencuat. Dia kemudian mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB), reinkarnasi Partai Masyumi yang di awal kemerdekaan didirikan oleh perdana menteri Indonesia pertama, Muhammad Natsir. Natsir sendiri notabene adalah orang Minang.
Nah, sebagian kami penghuni rumah kos sering memuji-muji kiprah Yusril. Namun, ada seorang teman yang ternyata antipati pada Yusril. Dia mahasiswa jurusan kimia Fakultas MIPA. Kami biasa memanggilnya Ical.
Ical selalu kontra dengan kami kebanyakan. Dia sangat tidak suka dengan sosok Yusril dan sangat memuja Amien Rais. Menurut dia, Amien Rais lah pahlawan reformasi sesungguhnya. Amien Rais konsisten menentang rezim orde baru sejak masih kuat-kuatnya. Beda dengan Yusril yang hanya penumpang gelap reformasi.
Singkatnya, tiap kami berdebat, Ical selalu mendeskreditkan Yusril dan sebaliknya memuji-muji Amien Rais setinggi langit. Demikian Ical selalu berbeda pendapat sangat keras dengan kami.
Perdebatan kami makin intens menjelang pemilu pertama di masa reformasi tahun 99. Yaitu ketika muncul wacana siapa yang pantas menjadi presiden Indonesia selanjutnya. Dan, lagi-lagi nama Yusril dan Amien Rais menjadi salah dua dari sekian nama yang dianggap pantas.
Seperti sebelumnya, saya dan beberapa teman menjagokan Yusril. Sementara, Ical juga konsisten menjagokan Amien Rais dan terus-terusan menyatakan Yusril sama sekali tidak berhak menikmati kue reformasi yang diperjuangkan secara konsisten oleh Amien Rais dan tokoh-tokoh anti orde baru lainnya.
Singkat cerita, suatu ketika kami mendengar rencana Universitas Andalas akan menggelar acara debat calon presiden. Acara debat capres memang marak dilaksanakan di berbagai kampus seluruh Indonesia ketika itu. Tujuannya untuk mengedukasi masyarakat yang sedang mengalami euforia reformasi untuk lebih mengenal para calon presiden yang pantas untuk menjadi pemimpin selanjutnya sesuai dengan semangat reformasi.
Setelah rencana acara fix, rupanya yang bisa dipastikan hadir dalam acara debat capres di Unand itu hanya tiga nama, yaitu Profesor Deliar Noor (pakar politik), Profesor Didin Hafiduddin (Presiden Partai Keadilan-sekarang PKS), dan Profesor Yusril Ihza Mahendra!
Kami girang luar biasa, karena akan bisa bertatap muka dengan Yusril dan mendengar dia berbicara langsung di hadapan kami. Ketika itu Yusril memang sangat terkenal piawai berbicara. Dia sangat artikulatif dan selalu menarik untuk didengarkan.
Di sisi lain, Ical kecewa berat. Dia berharap Amien Rais juga ikut hadir. Dan dia semakin sinis pada acara itu karena yakin nantinya hanya Yusril yang akan menjadi bintang panggung. Karena, menurutnya, dua calon lainnya yang bakal hadir itu sama sekali tak populer. Tak sebanding dengan Yusril yang tengah meroket namanya.
Tiap malam kami ledek dan panas-panasi Ical. Sampai akhirnya, suatu sore, Ical habis kesabaran menghadapi kami lalu bertekad di depan kami, begini,
"Nanti pas acara debat capres, Aku akan berusaha dapat posisi paling depan. Jika ada sesi tanya jawab, Aku akan ngacung untuk bertanya. Dan, jika moderator memberiku kesempatan bicara, aku akan maki-maki Yusril di depan kalian semua dan seluruh 'civitas academica' Unand."
Demikian tekad Ical. Kami cuma ketawa-ketawa saja mendengar celotehnya itu. Bahkan kami olok-olok.
"Jika kamu berhasil memaki-maki Yustril nanti, masing-masing kami gantian deh mentraktirmu," ujar seorang teman diiringi derai tawa kami.
"Oke, pegang kata-kata kalian, ya! Akan kubuktikan kata-kataku ini!" ujar Ical menegaskan tekadnya.
Tibalah hari pelaksanaan debat capres. Auditorium Unand yang berkapasitas lebih kurang 3.000 orang itu penuh disesaki hadirin. Tidak hanya 'civitas academica' Unand yang hadir, tapi juga berbagai elemen masyarakat lainnya di Sumatera Barat. Termasuk orang-orang partai, LSM, dan tentu saja wartawan berbagai media cetak dan elektronik, baik daerah maupun nasional.
Seperti diramal Ical, ternyata memang Yusril lah yang menjadi pusat perhatian. Yusril menjadi bintang panggung. Sejak dia memasuki auditorium saja para mahasiswa sudah berebut mendekatinya untuk bersalaman.