Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Ku Benci Papa dan Mama karena Berzina

5 Agustus 2021   07:51 Diperbarui: 5 Agustus 2021   08:28 190 2
"Lu nggak tau tanggal pernikahan Papa-Mama, Lu? Coba cek dulu di buku nikah mereka. Jangan-jangan Lu anak haram, hahahaha..."

"Sialan, Lu! Mana mungkin. Gue tau betul Bokap-Nyokap gue. Nggak mungkin aku mereka bikin sebelum resmi menikah!" jawabku sambil mencibir membalas candaan si Kori.

Anak itu memang suka asal 'njeplak'. Di kelas, dia terkenal paling jahil dan suka asal ngomong kalau bercanda. Tapi, semua orang tahu, walau kata-kata nya sering sembarangan, tapi hatinya baik. Kami sekelas tidak pernah tersinggung separah apa pun kelakarnya. Termasuk aku, sama sekali tidak tersinggung diledek begitu.

Kori mengundang aku dan beberapa teman dekat makan malam di rumahnya dalam rangka merayakan ultah pernikahan oranga tuanya.

Ketika dia balik bertanya kapan ultah pernikahan orang tuaku, aku jawab tidak tahu. Karena memang tidak pernah diperingati, apa lagi dirayakan.

Lalu, seperti itu lah tanggapannya. Dia menggodakku. Dia bilang, bisa jadi aku anak haram yang sudah lahir baru beberapa bulan saja setelah Papa Mama menikah.

Meski aku sangat paham bahwa kata-kata si Kori yang gokil itu cuma bercanda, namun sesampainya di rumah, ocehan anak itu tetap saja kepikiran olehku.

Aku baru sadar bahwa selama ini memang tidak tahu tanggal pernikahan orang tuaku.

Di keluargaku tidak ada tradisi merayakan ulang tahun. Jangankan ultah pernikahan, bahkan hari lahir kami sekeluarga pun tidak ada yang diperingati, apa lagi sampai dipestakan. Sama sekali tidak pernah.

Tanggal 23 Desember ini usiaku 17 tahun. Artinya, paling cepat Papa dan Mamaku menikah 10 bulan sebelunya. Sekitar bulan Februari 17 tahun yang lalu.

Jika mereka menikah setelah Februari, berarti Mama memang sudah hamil duluan saat menikah. Berarti pula aku memang anak haram sebagaimana ocehan Kori di sekolah siang tadi.

Buku nikah? Ya, benar kata Kori. Aku bisa tahu tanggal pernikahan orang tuaku dari buku nikah mereka yang hingga saat ini memang belum pernah kulihat. Bahkan, apakah buku nikah itu ada atau tidak pun aku tidak tahu.

Aku penasaran dan ingin memastikan bahwa aku bukan anak luar nikah.

*****

Aku periksa kamar orang tuaku ketika mereka tidak di rumah. Kutemukan buku nikah dalam laci lemari baju.

Entah kenapa, jantungku berdebar ketika mengambil salah satu dari dua buku yang berhimpitan dalam laci itu. Warna covernya hijau dan bertuliskan BUKU NIKAH ISTRI dengan huruf balok berwarna emas.

Perlahan kubuka dan cermati isinya. Di halaman pertama tertera tanggal pernikahan 20 Mei 2003.

"Astaghfirullaah.." aku mengucap lalu terdiam sambil menggigit bibir bawah.

Ternyata benar, aku anak haram. Mama telah mengandung diriku 2 atau 3 bulan ketika dinikahi Papa.

Ingin rasanya menjerit dan marah menolak kenyataan. Tapi, ini fakta tak terbantahkan.

Aku lempar buku itu kembali ke dalam laci lalu menangis sejadi-jadinya di kamarku.

Aku marah pada kedua orang tuaku dan jijik pada diri sendiri yang ternyata memang anak luar nikah.

*****

Sejak saat itu segalanya berubah. Aku jadi pemurung. Di sekolah aku menarik diri dari pergaulan.

Setiap bertemu Kori aku berusaha menghindar karena sudah paranoid duluan. Merasa akan di ejek. Padahal dia jelas tidak mengetahui fakta tentang diriku itu. Hanya saja, mental ku sudah terlanjur hancur. Malu karena aku anak haram.

Begitu pun di rumah. Aku yang biasanya selalu heboh dan periang, berubah menjadi pendiam. Aku jadi benci Papa dan Mama. Marah pada mereka.

Aku merasa mereka munafik. Selama ini mereka kulihat sangat taat dan dekat dengan ajaran agama. Mereka selalu menasehatiku untuk tidak pacaran, menjaga diri dari pergaulan bebas, dan menjejaliku dengan berbagai pesan moral lainnya. Namun, mereka sendiri ternyata dulu melakukan hal yang menjijikkan. Berpacaran sampai berzina, hingga akhirmya terpaksa menikah karena Mama terlanjur hamil.

Tiap diajak ngobrol, aku hanya diam. Kalaupun merespon, selalu ketus.

Setelah sekian lama, aku mulai bisa sedikit berdamai dengan hatiku. Rasa marahku pun mulai berkurang pada Mama. Aku sudah mulai bisa bersikap biasa.

Namun tidak pada Papa. Rasa benciku padanya justru makin menggunung. Aku merasa, bahwa kesalahan terbesar ada pada Papa. Karena, biasanya laki-laki lah yang agresif. Laki-laki yang terus menerus menggombali perempuan hingga akhinya terjadi zina.

Mungkin juga karena sesama perempuan, aku lebih bisa memaafkan Mama.

Dari hari ke hari sikap tak acuh serta ketusku pada Papa makin menjadi-jadi. Hatiku merutuknya sebagai orang yang bertanggung jawab menjadi penyebab aku terlahir ke dunia sebagai anak haram.

*****

Papa dan Mama menyadari perubahan sikapku itu. Ketika mereka tanya ada apa denganku, dengan enggan selalu kujawab tidak ada apa-apa.

Hingga suatu hari, semua memuncak. Karena terus-terusan ditanya, akhirnya aku tak tahan ingin bicara. Aku ingin menumpahkan semua kekesalan dan kegundahan hati. Ingin menghakimi kedua orang tuaku, terutama Papa.

Selesai makan malam, aku buka suara. Dengan emosional kuungkapkan semua. Kuberondong mereka sejadi-jadinya dengan kata-kata tajam. Aku lampiaskan segala rasa kecewa karena terlahir sebagai anak hasil perzinahan.

Setelah puas, aku pun menangis sesegukan.

Mama juga menangis. Sedangkan Papa hanya diam dan menunduk dalam-dalam.

Aku yakin Papa malu karena aibnya kuungkap semua. Kemunafikannya kukuliti habis-habisan.

Selang beberapa menit, aku masih sesegukan. Sementara Mama sudah terlihat sedikit tenang.

"Bicaralah, Pa..." ujar Mama pada Papa yang masih saja mematung dalam keadaan menekur. Kedua tangannya saling bertaut di pangkuan.

Papa bergeming. Aku semakin kesal. Jelas Papa tak akan bisa berkata-kata. Aku yakin Papa merasa tak berharga lagi di mataku. Bahkan untuk sekedar mengangkat wajahnyapun ia sudah tak sanggup.

"Bicaralah,Pa...." pinta Mama lagi.

Perlahan Papa mengangkat wajahnya.

"Papa nggak tega menceritakannya, Ma..."

Tiba-tiba aku merasa jijik mendengar suara Papa. Aku benci karena Papa masih saja sok berwibawa begitu. Padahal, sudah jelas dia bersalah. Dan, akibat kesalahannya itu aku lah yang harus menanggungnya seumur hidup.

"Sampaikan lah, Pa... sudah waktunya Nada tau semua." Mama terus berusaha meyakinkan Papa.

Papa menatapku sejenak, lalu kembali menunduk. Papa benar-benar bak seorang maling yang sedang diinterogasi polisi.

Beberapa saat diam. Aku penasaran dengan sikap Mama yang seolah menyimpan sesuatu.

"Nada, dengar Papa, Nak... kami tidak pernah menganggapmu anak haram." Akhinya Papa berkata-kata lirih.

"Papa masih mau menyangkal? Sudah jelas terbukti dari tanggal di buku nikah itu. Aku sudah ada dalam perut mama 2 atau 3 bulan ketika itu," gugatku sengit.

"Dengar dulu Papa, Nak. Kamu bukan anak Papa... Kamu--"

"Apa?! Maksud Papa?! Potongku.

"Begini, Nada ..." Mama ikut menimpali.

"Ketika itu Mama menjadi korban pemerkosaan. Ternyata kejadian itu menyebabkan Mama hamil. Tapi Papa Mu tetap mau menikahi Mama. Sementara, pemerkosa itu tidak diketahui siapa dan dimana keberadaannya sampai sekarang."

"Begitu tulus Papa. Secara hukum negara, dengan alasan tertentu kehamilan karena pemerkosaan sebenarnya bisa saja digugurkan. Tapi Papa tidak membolehkan. Papa bilang biarlah janin dalam perut mama itu terus tumbuh. Kelak akan ia sayangi layaknya darah daging sendiri. Janin itu suci, prilaku pemerkosa itu lah yang haram. Kami akhirnya menikah dua bulan setelah kejadian itu. Papa bersikeras ingin mama melahirkan dalam keadaan bersuami. Meskipun ada perbedaan pendapat secara agama mengenai boleh atau tidaknya pernikahan itu."

Dadaku sesak mendengar kata-kata Mama. Aku telah berprasangka buruk dan berkata-kata kasar pada Papa yang ternyata adalah laki-laki mulia. Laki-laki yang membiarkan aku tetap terlahir ke dunia meski ia punya pilihan untuk membunuhku ketika masih berupa seonggok janin dalam rahim Mama.

Papa juga telah menyayangiku dengan segenap jiwa raganya hingga detik ini. Tapi aku malah berprasangka keji padanya.

Begitu hinanya sikapku. Apakah ini karena aku adalah anak seorang pemerkosa?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun