Bab 7
"Kenapa, Yah?" tanya si sulung heran melihat aku tiba-tiba melepaskan kedua benda itu dari genggaman.
"Panas sekali. Awal-awal tadi tidak terasa. Ketika bunda mau membuka jendela, mulai terasa panas. Dan barusan sangat panas, tidak tertahankan," jawabku sambil meringis.
Kami kembali dilanda kebingungan. Jendela tidak bisa terbuka. Membuka pintu jelas tidak berani. Sementara, kedua jimat itu tiba-tiba seolah memperlihatkan tuahnya. Bagaimana cara membuangnya keluar mobil?
Si sulung kembali terdiam dan terlihat seperti sedang berpikir keras.
"Dek, bangun ...."
"Ayo, Dek, bangun ...."
Entah kenapa, tiba-tiba si sulung membangunkan anak kedua kami.
Si tengah membuka matanya dan langsung duduk seraya celingak celinguk.
Aku heran, kenapa si sulung malah membangunkan adiknya? Bukannya malah akan menambah masalah jika si tengah nantinya ketakutan?
Tapi akhirnya aku diam saja, karena si sulung sepertinya punya rencana. Sekarang aku sangat yakin padanya.
Sementara, kedua jimat tadi masih tergeletak di lantai dekat bangku baris kedua. Hampir terinjak oleh si tengah yang baru saja menurunkan kakinya dari jok.
"Ada, apa sih, Kak?" Udah sampai, ya?" tanya si tengah sambil menggeliat dan mengucek-ngucek mata.
"Belum, Dek. Sebentar lagi kita mau sahur. Ayo, bangun dulu. Biar segar nanti sahurnya," jawab si sulung.
"Oh, gitu. Ya, deh. Aku nggak tidur lagi."
Si tengah kembali mengedarkan pandangannya sekeliling. Sepertinya dia mulai merasakan suasana ganjil.
"Dek, tolong ambil sampah dekat kakimu itu, trus buang keluar ya."
Si sulung menunjuk dua jimat tadi.
Aku kaget mendengar instruksi si sulung pada adiknya itu. Baru saja aku akan melarang, istri langsung menyolek tanganku.
"Sstt..biarkan aja, Yah," bisik istri ke telingaku.
"Sampah yang mana, Kak? Yang ini?"
Tanpa menunggu jawaban, si tengah segera memungut dua benda itu.
Aku, istri, dan si sulung, mengamati saja dengan hati was-was.
Kemudian, si tengah memencet tombol power window. Kaca jendela terbuka perlahan.
Setelah jendela terbuka setengahnya, dua benda itu dia buang satu per satu ke luar mobil.
Kemudian dia ungkit tombol power window. Kaca jendelapun kembali tertutup rapat.
"Alhamdulillaah ...," serentak kami mengucap syukur.
"Masha Allah, Nak, darimana kamu tahu adikmu bisa membuang jimat itu dengan mudah? Kenapa tiba-tiba jendela tidak macet lagi?" tanyaku masih dalam keadaan heran bercampur takjub.
"Benda haram itu hanya bisa dengan gampang dibuang oleh orang shaleh atau orang suci, Yah. Oleh manusia yang selalu berusaha menjauhi dosa atau belum berdosa sama sekali. Nah, diantara kita, jelas, si dedeklah yang belum punya dosa, karena dia belum akil baligh. Hanya manusia suci yang pasti bisa menaklukkan alam ghaib," jelas si sulung.
"Allahu Akbar!" seruku dan istri hampir bersamaan.
"Bersyukur sekali ayah dan bunda menyekolahkanmu di pesantren, Nak," ujar Istri dengan mata berkaca-kaca haru.
Aku tersenyum lega, lalu mengusap-usap gemas kepala bocah itu, karena takjub dengan ketenangannya menganalisis situasi dalam keadaan genting.
Tiba-tiba guntur menggelegar dahsyat dua kali. Kilat menyambar-nyambar dan hujan turun dengan deras diiringi angin kencang.
Dan seperti tadi, hujan deras itu hanya terjadi sekitar 20 detik. Setelahnya langsung tiba-tiba reda.
Namun, beberapa saat kemudian, juga seperti tadi, di kejauhan kembali terlihat kabut putih tebal perlahan-lahan turun.
"Ayo, Bun. Segera jalankan mobil. Kita tidak punya waktu banyak. Sebelum kabut putih itu menyelubungi kita lagi, kita sudah harus keluar," teriak si sulung.
Istri tersentak. Dengan sigap dia injak kopling, mendorong tuas perseneling, lalu menginjak gas. Mobil pun melaju dengan lancar. Tidak ada lagi tabir yang menghalangi. Kami berhasil keluar dari alam antah berantah.
Kami kembali berada di rute perjalanan semula. Berada di jalanan yang kiri kanannya rimba belantara.
Selang lima belas menit, di kejauhan terlihat kelap-kelip lampu seperti kunang-kunang yang berterbangan.
"Ada apa di depan, tuh, Yah?" Tanya istri sambil sedikit memperlambat lari mobil.
"Belum terlihat jelas Bun. Tapi sepertinya cahaya senter. Ada beberapa. Kayaknya itu beberapa orang yang sedang berjalan dengan dipandu cahaya senter."
Semakin dekat, cahaya itu semakin jelas. Benar ternyata perkiraanku tadi. Ada beberapa orang yang sedang berjalan dengan penerangan senter.
Di batas pandangan juga terlihat kelap-kelip lampu. Sepertinya permukiman penduduk.
"Alhamdulillaah, Bun. Akhirnya kita menemukan permukiman."
Aku lirik jam di speedo meter, sudah pukul 03.00 dini hari. Sudah saatnya orang-orang santap sahur.
Kami berhenti beberapa meter sebelum berpapasan dengan beberapa orang berpenerangan senter tadi.
Melihat mobil kami berhenti, orang-orang itu juga berhenti. Aku turun dari mobil dan mendekati mereka.
"Assalammualaikum."
"Waalaikum salaam." Orang-orang itu menjawab bersamaan.
"Maaf, Bapak-Bapak, kami pemudik dari Bogor hendak menuju Padang. Semalaman kami tersesat. Berputar-putar di jalanan yang sangat sepi, entah dimana. Boleh kami tahu, di mana kami saat ini?"
"Subhannallaah, syukurlah Bapak sekeluarga bisa sampai ke sini. Sekarang Bapak berada tak jauh dari kota Prabumulih. Kira-kira tiga puluh - empat puluh menit lagi Bapak akan tiba di pusat kota."
"Ini sudah jam tiga, silahkan Bapak mampir saja dulu di mesjid kami. Istirahat sejenak sambil santap sahur. Setelah shalat Subuh nanti, baru Bapak lanjutkan perjalanan. Bapak sekeluarga pasti sangat lelah. Saran saya, beristirahat dulu yang cukup di Prabumulih."
Aku terima tawaran pria itu.
"Baiklah, Pak. Jika tidak merepotkan, izinkan kami mampir untuk santap sahur di Mesjid."
"Silahkan, Pak. Mesjid kami di depan sana. Ketemu pertigaan, belok ke kiri. Terus sampai ke ujung. Sampai ketemu nanti di Mesjid, ya," ujar pria itu ramah.
Orang-orang itupun kembali berjalan.
Aku balik ke mobil.
"Ayo Bun, kita ke mesjid dulu. Istirahat sejenak dan santap sahur."
"Alhamdulillaah. Kita telah selamat dari segala marabahaya," ujar istri sambil memandu mobil ke arah yang kutunjukkan tadi.
Si Sulung kembali tertidur karena kelelahan. Sementara si tengah asik memainkan hp. Sedangkan si bungsu, sama sekali tidak pernah terbangun sejak tadi.
Ketika sampai di mesjid, hp-ku berdering. Aku lihat layar, rupanya telpon masuk dari nomor yang tidak tersimpan.
"Halo, maaf, ini Pak Arfi? Perkenalkan, Saya Sudjiwa. Mantan pemilik mobil yang sekarang Bapak pakai. Saya dapat nomor telpon Bapak dari showroom."
"Maaf, Pak. Ada barang berharga saya yang masih ketinggalan di mobil itu. Saya mau mengambilnya lagi. Posisi Bapak di mana sekarang?"
Aku terdiam, kemudian langsung teringat dengan kedua jimat tadi.
-Bersambung-