Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Bocah Penyemir Sepatu

25 Juni 2021   13:12 Diperbarui: 25 Juni 2021   13:24 165 1

Suatu siang, usai shalat Jumat, di pelataran sebuah masjid terjadi keributan kecil antara seorang bapak dengan seorang bocah penyemir sepatu.

 

"Kamu gimana, sih? Kenapa sepatuku belum disemir? Aku buru-buru, nih!" omel si Bapak pada bocah berusia sekitar sebelas tahun itu.

 

"Maafkan saya, Pak. Saya selesaikan segera," jawab bocah itu dengan muka agak tegang sembari mempercepat pekerjaannya.

 

Buru-buru dia selesaikan sepatu yang sedang dikerjakan, lalu mengambil sepatu si Bapak yang barusan ngomel untuk segera disemir.

 

Baru saja dia mulai menyikat sepatu, pria paruh baya yang terlihat sudah sangat tidak sabaran itu kembali misuh-misuh.

 

"Ah, sudah, nggak usah disemir! Kelamaan! Aku buru-buru!" Dia renggut sepatu itu dari si bocah, lalu melemparkan pecahan lima ribuan yang sudah diremuk.

 

Uang mendarat di dekat beberapa pasang sepatu yang tersusun rapi di hadapan sang bocah. Dia pungut uang itu lalu memasukkannya ke saku bajunya yang lusuh.

 

Setelah bapak itu pergi, pemilik sepatu lainnya yang sudah antri, ikut-ikutan mengambil sepatu mereka masing-masing. Batal disemir karena juga tak mau menunggu lebih lama. Sang bocah cuma termangu melihat satu persatu alas kaki itu diambil pemiliknya.

 

Sejumlah uang dari upah menyemir yang sudah di depan mata pun batal dia peroleh siang itu. Kecuali lima ribu lecek yang di lempar bapak yang ngomel-ngomel tadi.

 

Aku yang sedang memasang sepatu tak jauh dari sana, mengamati semua kejadian barusan. Karena rutin jumatan di masjid ini, aku bisa memastikan bahwa si bocah baru pertama kali menyemir di sini. Aku hapal wajah anak-anak yang biasa menyemir di sini, dan dia belum pernah kulihat sebelumnya.

 

Setelah suasana agak sepi, aku dekati dia.

 

"Kamu baru, ya?" tanyaku ramah.

 

"Iya, Pak. Saya baru pertama kali ini nyoba menyemir. Bantu-bantu orang tua cari uang," jawabnya sopan dengan wajah riang namun lugu khas seorang bocah.

 

"Kenapa kamu telat menyelesaikan semiran? Sayangkan, rezeki yang sudah di depan mata jadi melayang begitu saja."

 

"Ah, gak pa pa, Pak. Itu bukan rezeki saya namanya. Kalau rezeki saya, ya pasti gak akan melayang," ujarnya polos sambil nyengir.

 

Aku juga nyengir mendengar jawaban itu. Dia benar, yang namanya rezeki itu memang sesuatu yang senyatanya kita terima. Tak akan hilang lagi jika memang itu ditetapkan Allah sebagai hak kita. Sebaliknya, jika bukan rezeki kita, yang sudah dalam genggaman pun bisa saja melayang karena berbagai sebab.

 

"Berarti, rezekimu cuma lima ribu itu, ya?" tanyaku lagi.

 

Bocah itu belum menjawab ketika seorang ibu peminta-minta mendekati kami. Lalu berdiri sedikit membungkuk persis di hadapan kami sambil menengadahkan tangan.

 

Bocah penyemir sepatu segera mengeluarkan lima ribuan yang dia peroleh tadi, sedikit merapikannya, lalu menyerahkannya ke tangan peminta-minta itu.

 

Setelah peminta-minta itu berlalu, aku bertanya dengan heran, "Loh, kok malah kamu kasih ke orang? Bukannya cuma itu rizki Mu hari ini?"

 

"Ini juga bukan rizki saya, Pak. Saya merasa tidak berhak menerimanya. Karena tidak bekerja apa-apa. Lagian, Bapak yang memberi uang itu tadi, sepertinya tidak ikhlas memberinya. Makanya saya sedekahkan saja." Bocah itu kembali menjawab dengan wajah polos namun tetap terlihat ceria.


Usai berkata-kata, dia pun beralu. Pergi meninggalkan aku yang masih terkesima karena takjub mendengar jawabannya barusan. Tak menyangka ada anak kecil bisa punya sikap dan pemikiran seperti itu.  Dia terlihat begitu tegar. Padahal, aku terenyuh melihatnya dimaki-maki tadi.

 

Menurutku, meski dia salah, tak sepantasnya dia diperlakukan begitu. Dia hanya seorang bocah kecil yang berusaha membantu orang tuanya. Dia jelas tak paham bagaimana bekerja dengan baik. Tak mengerti bagaimana melayani pelanggan agar tidak kecewa. Mustahil anak sekecil dia mengerti itu semua. Apalagi ini baru pertama kalinya dia menyemir.

 

Lebih terharu lagi rasanya mendapati bocah itu tadi malah menyedekahkan uang yang sudah dia peroleh. Dia seolah punya harga diri. Tak merasa berhak menerima upah jika tak mengerjakan apa-apa. Apa lagi, yang memberi memang terlihat tidak ikhlas, melempar uang sambil marah-marah.

 

Meski demikian, barusan dia pergi tetap dengan wajah yang riang. Seolah kejadian diomeli tadi tak mempengaruhi hatinya sama sekali. Justru aku yang prihatin dan iba melihatnya.

 

Setelah bocah itu pergi, satu pertanyaan masih menggelayut di benakku. Kenapa bocah itu tak bisa menyelesaikan pekerjaannya? Biasanya, bocah-bocah penyemir telah menuntaskan semua pekerjaannya begitu shalat Jumat selesai. Jamaah tinggal mengambil sepatunya, lalu membayar.

 

Biasanya pula, rata-rata jamaah sengaja membayar lebih besar dari "tarif" resminya yang hanya dua ribu rupiah. Ada yang membayar lima ribu bahkan sepuluh ribu. Hitung-hitung bersedekah, membantu anak-anak yang mau berusaha secara halal.

 

Lantas, kenapa bocah tadi tak seperti itu? Apa terlalu banyak sepatu yang harus dia semir?

 

*****

 

Karena penasaran pada si bocah, Jumat ini, aku sengaja datang lebih awal ke masjid. Ingin memperhatikan aktivitasnya sejak tiba di masjid.

 

Ketika aku sampai di pelataran masjid, rupanya dia sudah ada di sana. Posisinya persis di tempat ketika diomeli seorang bapak minggu lalu.

 

Rupanya dia sudah berhasil mendapatkan beberapa pasang sepatu untuk di semir. Dia pun terlihat sibuk menyemir. Cukup cekatan dia bekerja. Sementara dia menyemir, terlihat beberapa jamaah masih ada yang menitipkan sepatu padanya. Aku perhatikan, sekarang ada sekitar sepuluh pasang sepatu yang harus dia semir.

 

Jika satu orang membayar dua ribu saja, maka dia nanti akan memperoleh uang dua puluh ribu. Lumayan kalau tujuannya memang untuk membantu orang tuanya. Apalagi kalau pada membayar lebih, lima atau sepuluh ribu. Tentu akan jauh lebih banyak lagi uang yang akan dia peroleh.

 

Lalu aku berwudhu dan masuk masjid. Sengaja aku ambil posisi shaf belakang. Dari kaca jendela aku bisa terus mengamati si bocah yang sedang sibuk menyemir. Dia terlihat berusaha menyemir secepat mungkin. Sampai di situ, aku melihat semua normal-normal saja. Aku yakin, kali ini sepuluh pasang sepatu akan bisa diselesaikan si bocah sebelum shalat jumat usai. Dengan demikian, beberapa puluh ribu rupiah akan berhasil dia kantongi hari ini.

 

Namun, alangkah terkejutnya aku, ketika azan berkumandang, bocah itu berhenti bekerja. Sepatu yang sudah disemir maupun yang belum, dia susun rapi. Peralatan semir dia masukkan ke kaleng Khong Guan, lalu dia tinggalkan begitu saja. Kemudian dia terlihat bergegas ke tempat wudhu. Tak lama kemudian, dia sudah berada di dalam masjid. Memakai sarung dan baju koko warna coklat yang sudah agak pudar.

 

Dia duduk pada shaf yang tak jauh dari posisiku. Pertanyaanku pun terjawab sudah.

 

Jelas dia tidak bisa menyelesaikan menyemir semua sepatu. Karena, ternyata dia ikut shalat Jumat bahkan sejak khutbah dimulai. Tentu ketika shalat Jumat selesai dia tak punya cukup waktu lagi untuk menyemir semua sepatu yang tersisa.

 

Sementara, anak-anak penyemir lain, kuperhatikan semua masih menyemir. Mereka sepertinya tidak ikut shalat jumat. Atau setidaknya masih bekerja selama khutbah berlangsung.

 

Bocah ini beda. Dia rupanya mementingkan ikut shalat jumat. Termasuk mendengar khutbah dengan seksama. Karena mendengar khutbah dengan khidmat memang salah satu rukun shalat Jumat. Tidak sah shalat Jumat jika selama khutbah melakukan aktivitas lain. Bahkan, berbicara sepatah kata saja selama khutbah berlangsung sudah merusak kesempurnaan shalat Jumat.

 

Sungguh bocah yang luar biasa. Aku hanya bisa berdoa, semoga selesai shalat Jumat ini tak ada lagi jamaah yang mengomelinya karena sepatu mereka belum selesai di semir.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun